Tidak Mungkin itu dia!

4.7K 283 8
                                    

"Ketawa aja terus," ujar Rania cemberut sambil melemparkan handuk basah ke wajah Kalila, teman satu kontrakan yang juga sahabatnya sejak kuliah. Melihat pelototan kesal gadis di depannya, Kalila langsung menutup mulut dengan tangan sambil beranjak ke dapur masih dengan tawa meskipun tak sekeras tadi. Sepuluh menit kemudian, ia kembali ke ruang tamu membawa dua mangkuk mi dan beberapa bungkus kacang atom.

"Taraa... mi antisial telah tersaji. Silakan, Nona!" serunya sambil meletakkan mi tepat di depan Rania.

"Ish, mi doang. Delivery ayam geprek kek. Biar kerenan dikit."

Kalila melotot mendengar ucapan Rania. "Sini kalau nggak mau, biar kuhabisin sekalian," ujarnya galak.

"Galak banget sih, Kakak. Gitu aja ngambek." Rania menarik mangkuk yang tadi diambil Kalila. "Semoga segala kesialan pergi jauh-jauh dan keberuntungan segera menghampiri," Rania mengusapkan kedua tangan ke wajah lalu memasukkan sesendok besar mi ke mulut.

"Aamiin!" Kalila menyambut ucapan gadis di sampingnya itu.

"Tayangan TV sekarang makin nggak jelas aja, acara musik tapi yang ditampilin drama para host-nya, aneh," omel Kalila sambil menekan-nekan remote, mencoba mencari tayangan yang menurutnya menarik. "Mending nonton ini, acara bincang dengan tokoh," ujarnya sambil menyendok minya yang mulai mengembang.

"Setuju, mending nonton ginian daripada kamu ngomel-ngomel terus. Eh, siapa bintang tamunya malam ini?" tanya Rania sambil meletakkan mangkuk yang sudah kosong di meja.

"Na-ta. Ha-mo-nang-an," Kalila membaca pelan nama tokoh yang sedang diwawancarai Tulus, sang pembawa acara. Keningnya berkerut.

Rania membeku mendengar nama itu. Ditatapnya sosok di layar. Tidak mungkin! Tidak mungkin! Ini pasti salah. Perlahan didekatinya pesawat TV dengan kening berkerut dan mata menyipit.

"Nata Hamonangan direktur utama Sintesa Advertising." Pelan Rania membaca tulisan yang muncul di bagian bawah layar. Nata yang ia kenal memang bertubuh jangkung seperti sosok di layar ini, tetapi penampilannya? Jelas beda banget. Tapi, nama itu? Tidak, Rania tidak mungkin salah. Itu pasti Nata yang ia kenal. Tetapi kalau benar itu Nata, ke mana perginya penampilan culun dan tubuh bongsornya dulu?

Keraguan kembali melingkupi Rania saat melihat perubahan fisik yang mengubah penampilan laki-laki itu secara keseluruhan. Bahkan wajah yang dulunya berminyak dan dipenuhi jerawat batu kini tampak mulus. Demi memastikan Nata yang ia lihat di TV bukanlah Nata yang ia kenal, Rania semakin mendekatkan wajah ke layar.

Dan seluruh keraguan itu luruh saat melihat bekas luka kecil di atas alis kanan laki-laki tampan yang mengenakan kemeja slimfit biru yang semakin menunjukkan bentuk tubuhnya yang kekar. Bekas luka itu mau tak mau memaksa Rania harus percaya laki-laki itu memang Nata. Tanda itu, sampai kapan pun Rania takkan pernah lupa. Bahkan peristiwa yang melahirkan bekas luka itu pun ia masih ingat penyebabnya.

Semua karena angkot karatan yang mereka tumpangi sepulang dari mencari buku di Titi Gantung, pusat buku bekas di Medan.

"Kita naik angkot kosong lima aja ya, Ra. Nggak apa-apa nyambung dua kali. Aku mau ngajak kamu makan mi ayam jamur di Megawati," ujar Nata sambil menatap ke arah datangnya angkot. Tangan kirinya menggenggam erat tangan Rania, sementara tangan kanannya melambai begitu angkot yang mereka tunggu mendekat.

"Yuk, naik!" Didorongnya lembut tubuh Rania memasuki angkot. Setelahnya, Nata menyusul lalu duduk di sebelahnya. "Nanti kamu minta minggir ya kalau sudah sampai. Aku tidur dulu. Ngantuk banget."

"Memangnya tadi malam tidur jam berapa?" tanya Rania sambil menatap Nata yang mulai terpejam. Ia cemberut melihat tiga jari yang diacungkan Nata ke arahnya.

"Kebiasaan deh." Rania menggerutu sambil menggenggam tangan besar dan montok pacar tersayangnya itu. Dibiarkannya Nata tertidur sambil bersandar ke dinding angkot.

"Minggir, Bang!" teriak perempuan berseragam merah biru di sebelah Rania, membuat angkot yang melaju kencang mendadak berhenti. Seluruh penumpang spontan mengimpit tubuh Nata sehingga keningnya membentur pintu angkot di depannya.

"Pelan dikit, Bang!" teriak beberapa penumpang sambil bergeser kembali ke tempat semula.

"Kita turun di sini juga aja, Ra. Tinggal jalan dikit udah sampai. Minggir, Bang!" teriak Nata sebelum sopir berambut keriting itu menjalankan angkotnya lagi. Setelah menerima kembalian ongkos, Nata menghampiri Rania yang berdiri di trotoar. "Yuk, itu warungnya udah kelihatan," ajaknya sambil meraih tangan gadis itu.

Rania menarik tangannya, meminta Nata berhenti. "Bentar, aku lihat kening kamu dulu. Tadi kayaknya berdarah deh." Ia mendongak sambil memperhatikan kening cowok besar dan jangkung itu. "Nah, bener kan. Pasti tadi tergores pintu angkot. Ini harus segera diobati, ntar infeksi bahaya, lagi," ujar Rania. "Itu ada toko obat. Kamu tunggu bentar, ya." Ia berjalan menuju toko di seberang jalan.

"Ra, nggak usah! Ini hanya luka kecil."

Tapi Rania hanya melambai menyahuti teriakan Nata, lalu kembali lengkap dengan obat-obatan yang ia beli. Dibersihkannya luka Nata lalu ditutupnya dengan hansaplast. Luka gores itu memang sembuh, namun tetap meninggalkan bekas. 


Hai, Gaes...

Salam merdeka!

aku Up Date bab 2. Jumlah kata per bab-nya masih sama dengan cerita sebelumnya. minimal 500 kata saja. Kok dikit banget sih?  Yup. Pagi mengajar dan siang jaga toko potokopi sampai sore. Jadi, aku hanya bisa menulis malam. Itupun bisanya start nulis pukul sebelas malam. 

Oke Gaes, apapun itu aku menyukai kegiatan ini. 

Semoga kalian juga menyuaki cerita ini. 


Balas Dendam Mantan PacarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang