Tekad itu Bernama Luka

3.3K 229 2
                                    

"Satu pertanyaan terakhir, Mas Nata," ujar Tulus sambil menatap Nata serius. "Jika diberi kesempatan untuk memilih, sosok yang paling ingin anda temui dan ucapkan terimakasih saat ini karena begitu berpengaruh mengantarkan anda sampai sesukses sekarang, siapa dia?"

Nata menatap sang reporter sejenak. Diam-diam ia menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Meski sudah berkali-kali melakukannya, tetap saja dadanya terasa sesak. Seolah ada sesuatu yang menyumbat tenggorokannya sehingga sulit rasanya mengeluarkan suara untuk menjawab pertanyaan laki-laki berpakaian rapi di depannya.

Tidak ada yang aneh dengan pertanyaan itu. Diucapkan juga dengan cara yang wajar oleh sang reporter. Kalau tokoh lain yang ditanya, pasti dengan senang hati dan senyum bangga akan menyebutkan sebuah nama. Berbeda dengan Nata. Ia benci pertanyaan itu. Benci karena jawabannya melibatkan sebuah nama. Nama yang selalu mampu membuat ia menggeram dan ingin mengeluarkan umpatan kasar. Tanpa sadar sekali ladi Nata menarik napas namun kali ini lebih kasar dan berat dari tarikan sebelumnya. Ditatapnya kamera dengan pandangan menerawang. Perlahan rahangnya mengetat seketika, saat bayangan sosok yang paling ia benci di muka bumi ini tiba-tiba melintas.

Dasar reporter sialan! Kalau tak mengingat acara itu disiarkan secara langsung, ingin rasanya ia meninggalkan studio saat itu juga. Tapi, tentu saja ia tak bisa melakukannya. Itu sama saja menghancurkan reputasinya sebagai pengusaha muda yang sukses namun tetap baik, rendah hati, dan membumi. Dan ia tidak mau itu terjadi. Setengah mampus rasanya untuk bisa sampai pada posisi sekarang ini. Bodoh sekali kalau semua pencapaian itu harus hancur hanya karena pertanyaan sialan itu.

"Jadi gimana, Mas Nata. Saya pikir semua pemirsah yang sedang menonton acara ini pasti penasaran mendengar jawaban anda." Lagi-lagi tulus memaksa Nata untuk menyebutkan sebuah nama.

Nata menatap Tulus. Ditariknya sudut-sudut bibirnya yang mendadak kaku membentuk sebuah senyum. Meski tidak sesempurna tadi saat sebelum reporter berkulit putih itu menyampaikan pertanyaan terakhirnya. Setelah menarik napas sekali lagi, akhirnya Nata menjawab.

"Setiap orang pasti memiliki seseorang yang begitu berpengaruh dalam setiap pencapaiannya. Dan tentu saja ingin sekali mengucapkan terima kasih secara khusus dalam sebuah kesempatan. Saya juga. Ada seseorang yang sudah berhasil membuat saya bertekat untuk sukses. Yah, meskipun sudah lama sekali kami tidak bertemu." Nata berhenti bicara sejenak sebelum akhirnya melanjutkan ucapannya.

"Karena tanpa ucapan dan perbuatan orang ini, mungkin saya tidak akan sesukses sekarang. Suatu saat, ya suatu saat, dalam sebuah kesempatan yang akan mempertemukan kami, saya akan mengucapkan terima kasih." Dan akan kubuat perempuan brengsek itu menyesali perbuatannya! Tanpa sadar Nata mengepalkan kedua tangannya dengan tatapan penuh dendam. Tak perduli perbuatannya membuat Monang, sahabat sekaligus rekannya dalam mengelola Sintesa Advertising dan beberapa kru saling berpandangan, heran dengan sikap Nata yang tiba-tiba seperti orang sedang marah.

"Baiklah, seperti yang saya janjikan tadi. Jawaban Mas Nata akan menjadi penutup bincang-bincang kita kali ini. Semoga waktu dan kesempatan mengijinkan Mas Nata bertemu seseorang yang telah begitu berjasa dalam mencapai kesuksesannya hari ini. Sampai jumpa minggu depan dengan tokoh yang lain," ujar Tulus sambil bertepuk tangan. Disalaminya Nata yang sedang sibuk melepaskan mik dari bajunya.

***

Nata menurunkan kaca mobil. Diambilnya rokok Monang yang terletak di dasbor lalu menyalakan pemantik. Diisapnya dalam-dalam asap beracun itu sebelum akhirnya menghembuskannya perlahan. Sambil terus menyetir Monang diam-diam melirik bos sekaligus sahabatnya itu. Ia tahu, Nata bukan pecandu rokok, namun sepertinya saat ini laki-laki yang sudah lima tahun ia kenal itu sedang butuh sesuatu untuk menenangkan perasaanya. Tapi saat melihat wajah Nata yang tetap tegang dan penuh emosi, nikotin sepertinya tidak cukup ampuh membuatnya tenang kembali. Tak ingin mengganggu, Monang kembali menatap jalanan dan membiarkan Nata dengan pikirannya sendiri.

Nata mengembuskan asap rokok dengan kasar. Melupakan ingatan yang masih teramat nyata dan menyakitkan ternyata sangat sulit. Ya, Nata tidak akan pernah lupa. Bahkan setiap detil kata yang diucapkan Rania, Nata masih ingat. Ya, nama sosok yang telah berhasil membuat ia sampai pada pencapaiannya sekarang adalah Rania.

"Putus! Maksudnya... kita udahan, gitu?" Nata bertanya tak percaya.

"Iya. PUTUS! SELESAI!" Rania menegaskan uacapannya dengan menekan suara pada kata putus.

Nata syok mendengar ucapan tegas Rania. Bulan berapa sih sekarang? Bukankah April Mop adanya di bulan empat? Dan sekarang sudah masuk bulan Juni, bukan? Setelah berhasil menguasai perasaannya, Nata menarik bahu Rania yang sejak tadi membelakanginya.

"Ra...," panggilnya lembut sambil merangkum wajah gadis cantik itu dengan kedua tangannya. "Aku ngerti kok, kalau kamu sedang sedih karena kepergian Ayah. Tapi, kumohon kata-kata itu jangan diucapin lagi ya, Ra."

"Siapa yang sedang bercanda? Aku serius!" teriak Rania sambil berusaha melepaskan rangkuman tangan besar di wajahnya.

Nata menatap mata yang selalu menghindar sejak tadi. Tak ada tanda-tanda bercanda di sana. Yang tampak malah tatapan penuh keyakinan terhadap keputusan yang telah ia buat. Jangan, Ra. Please! Aku tidak akan bisa berpisah dari kamu. Teriak Nata dalam hati sambil mengatur pernapasan dan perasaannya yang berkecamuk sebelum akhirnya bertanya sambil menempelkan keningnya di kening gadisnya itu.

"Kenapa? Kenapa Ra? Bukankah selama ini kita baik-baik saja?"

Nata menatap Rania. Gadis itu membalas tatapan Nata sebelum akhirnya melepaskan keningnya lalu berbalik dan membelakanginya yang sedang kebingungan.

"Karena kamu miskin dan tidak memiliki pekerjaan apalagi penghasilan tetap. Bagaimana caranya kamu menghidupiku kelak. Aku nggak mau hidupku melarat dan susah." Jawab Rania dengan posisi tubuh tetap membelakangi Nata.

Tuhan! Mimpi apa aku semalam. Batin Nata sambil menyisirkan tangan ke rambutnya yang bergelombang dan berantakan. Sejak melangkahkan kaki menuju kontrakan Kalila karena tak menemukan keberadaan Rania di kontrakannya, ia hanya ingin menemui gadisnya itu dan mengucapkan turut berduka atas kepergian ayahnya. Dan memohon maaf karena tak bisa mendampingi saat-saat tersulit hidup pacarnya itu. Namun, kenyataannya...

"Semuanya sudah cukup jelas. Jadi, silakan pergi. Aku mau istirahat. Dan jangan sekalipun berniat mencari apalagi menemuiku. Mulai detik ini hubungan kita selesai," lanjut Rania setelah terdiam cukup lama. "Terima kasih atas ucapan berdukanya. Tapi, aku tak membutuhkannya lagi." Kemudian masuk ke kontrakan Kalila sambil menghempaskan pintu.

Nata membatu mendengar kata-kata yang diucapkan dengan ringan bagaikan tanpa beban, yang keluar dari bibir tipis yang biasanya selalu mendukungnya dengan ucapan-ucapan meyakinkan dan penuh semangat. Tatapannya nanar melihat pintu kayu yang bergetar karena hempasan gadis cantik yang dulu begitu baik menerima dirinya lengkap dengan segala kekurangannya.

Tidak! Nata tidak pernah sanggup merima keputusan dan ucapan Rania yang melecehkan. Ia terluka dan terhina. Apalagi kata-kata itu keluar dari mulut seseorang yang begitu ia percayai. Pertanyaan mengapa, mengapa dan mengapa tidak pernah usai, berubah menjadi dendam dan keinginan untuk menunjukkan bahwa Rania salah dengan keputusannya. Keinginan itu membuat Nata berjuang tanpa kenal lelah sehingga perusahaan advertising miliknya sesukses sekarang.

Karena kamu miskin dan tidak memiliki pekerjaan apalagi penghasilan tetap. Bagaimana caranya kamu menghidupiku kelak. Aku nggak mau hidupku melarat dan susah. Kata-kata penuh hinaan itu selalu berdengung-dengung layaknya kaset rusak, berputar-putar memenuhi memorinya.

"Awas kau Rania! Suatu saat kau akan menyesali keputusanmu, lihat saja!" Teriak Nata sambil meninju kaca mobil di sampingnya. Napasnya menderu menahan perasaannya yang selalu bergejolak setiap kali mengingat ucapan penuh hinaan Rania.

Monang yang sedang fokus menyetir langsung menghentikan mobil yang sedang melaju dengan kecepatan lumayan tinggi. Suara klakson dan makian langsung terdengar dari belakang dan samping mobil.

"Kau mau mati, Nang!" teriak Nata sambil menatap sahabatnya itu kesal.

"Kalaupun kita mati, penyebab utamanya itu kamu. Ngapain tadi ninju-ninju pintu mobil, HAH!" teriak Monang kesal.

Tahu Monang pasti langsung memakinya begitu ia mengucapkan satu saja kata pembelaan, Nata memilih diam. Melihat itu, Monang menjalankan mobilnya kembali. 


Up Date lagi, Gaes.  Sila mampir...

Balas Dendam Mantan PacarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang