Nata tahu, pasti ada yang salah dengan dirinya ketika seharusnya ia membiarkan Pak Gunawan mendepak Rania, tetapi malah meminta untuk tidak terlalu keras menegur gadis itu. Bahkan ia menolak voucher makan malam dengan menu terbaik restoran itu. Gila bener. Entah apa yang ia cari sehingga merasa perlu beraksi bak pahlawan begitu. Heh! Sepertinya Nata perlu mengguyur kepalanya dengan air super dingin dari shower di kamar mandi untuk mengembalikan kewarasannya lagi.
Tak bertemu selama lima tahun seharusnya mampu membuatnya tak memikirkan Rania lagi. Bahkan ia bisa bersikap layaknya pengunjung yang keberatan atas sikap ceroboh sang pelayan. Marah-marah atau apalah, tapi memang dasar Nata, mana pernah ia bisa pura-pura tak peduli. Permohonan maaf berulang-ulang yang diucapkan Rania dengan tubuh membungkuk hormat ke arahnya, tidak bisa berhenti berputar di kepalanya seperti CD rusak.
Tiba-tiba ia merasa bodoh sendiri karena membiarkan Rania selamat dari amukan sang bos. Kesal membuatnya tak berhenti mendesah, lagi dan lagi. Ia benar-benar tidak pernah menduga akan bertemu Rania dalam kondisi kacau begitu. Wajah lelah dan pucat ditambah lagi lingkaran hitam di bawah mata, membuatnya bertanya-tanya, kehidupan seperti apa yang telah dijalani gadis itu setelah mereka putus.
Monang yang sedang fokus menyetir sampai beberapa kali berpaling dari kepadatan jalan raya, karena saking herannya melihat Nata yang terus saja bergerak gelisah sejak memasuki mobil. Namun sebuah pehaman baru tiba-tiba muncul saat kejadian di Havana melintas.
"Apa?" tanya Nata sangar melihat senyum penuh cemeeh Monang ketika tatapan mereka bersirobok.
"Nggak apa-apa," jawab Monang santai. "Lampu merah," ujarnya sambil menunjuk rambu di depan. Sambil bersenandung lagi-lagi ia melirik Nata.
"Apa Lagi?!" Nata mulai geram melihat ulah menyebalkan laki-laki di sebelahnya itu.
"Nggak ada."
"Terus ngapain ngelirik sambil senyum-senyum begitu?"
"Pelayan itu..., apakah dia gadis yang selalu berhasil membuatmu mengertakkan gigi?" tanya Monang kali ini dengan ekspresi serius sambil menjalankan mobil karena lampu sudah berganti hijau. Nata hanya mendesah, tak berniat menjawab pertanyaan Monang, ia memilih memejamkan mata sambil merebahkan tubuh ke sandaran mobil. Monang mengangkat kedua bahunya melihat ulah Nata lalu kembali fokus menatap jalanan yang semakin padat.
Sejak membaca nama di ID Card yang terpasang di seragam gadis itu, ditambah perubahan ekspresi Nata, Monang langsung tahu bahwa pelayan itu adalah seseorang dari masa lalu yang selalu berhasil membuat Nata seperti kehilangan kendali. Ia memang tak pernah bertemu Rania sebelumnya, tetapi ia mengingat betul nama gadis itu.
Bermula saat ia mendatangi kios kecil milik Nata untuk mengambil stempel panitia kegiatan, yang telah ia tempahkan dua minggu sebelumnya.Monang tidak akan pernah lupa, bagaimana kacaunya kondisi Nata saat itu. Gagang-gagang stempel dari kayu dan plastik berserakan di lantai. Botol-botol berisi tinta yang biasanya tersusun rapi di senta kios berhamburan, sebagian mengenai kertas desain, sebagian lagi menempel di meja.
Sementara pemiliknya duduk di pojok ruangan, menyandar di dinding dengan mata memerah sarat amarah. Rambut ikalnya menjuntai di kening hampir menutup mata. Kedua tangan melingkar di kedua lututnya yang tertekuk. Hampir satu jam lebih, Nata dalam kondisi seperti itu. Sama sekali tak menghiraukan kehadiran Monang, yang entah kenapa tak ingin beranjak dari tempat itu. Sampai akhirnya Nata melesakkan tinjunya ke triplek setengah lapuk sambil berteriak menyebutkan sebuah nama, RANIA.
Sejak sore itu, persahabatan mereka dimulai. Seperti ingin membuktikan sesuatu, Nata tak berhenti bekerja dan bekerja. Memulai bisnis kecil-kecilan dengan menjual mug, banner, dan stiker berdesain unik hasil cetusan ide briliant-nya. Monang membantu Nata mempromosikan lewat media sosial miliknya. Perlahan-lahan bisnis Nata mulai berkembang. Kesempatan bergerak di bidang Advertising yang lebih besar muncul ketika tanpa sengaja mereka bertemu Gwen, salah satu teman SMA Nata yang ternyata berasal dari keluarga kaya. Perlahan tapi pasti, berkat ide-ide cemerlang Nata dan suntikan dana dari Papa Gwen serta kelihaian Monang sebagai marketing, membuat perusahaan yang mereka rintis melesat pesat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balas Dendam Mantan Pacar
ChickLit[Tamat] Rania dan Nata adalah sepasang kekasih yang saling mencintai lima tahun yang lalu. Namun karena sesuatu hal hubungan keduanya harus bubar meninggalkan dendam dan luka yang mendalam. Padahal saat berpacaran keduanya merasa sudah berkorban hab...