Please, jangan sebut namanya lagi

2.9K 188 3
                                    


"Ra...!"

Rania menghentikan kesibukannya menekan-nekan es berbalut serbet ke matanya di depan cermin besar di dinding kamar. Kalila mendekat dengan wajah segar dan tak peduli khas gadis itu. Rania melanjutkan kegiatannya tanpa memerdulikan kehadiran teman satu kontrakan, yang kini sedang sibuk mencari-cari entah apa di meja kecil samping tempat tidurnya.

"Minta celak ya, Ra," ujarnya berjalan ke arah cermin sambil mengacungkan pensil alis berwarna cokelatitu ke arah gadis yang seolah tak melihat kehadirannya. Namun melihat tampang kacau Rania, Kalila menurunkan tangannya, matanya menyipit ngeri melihat penampilan sosok di sampingnya, mata merah dan bengkak ditambah lingkaran hitam. Kalila menghela napas berat, ia benar-benar tak menyangka Rania bisa sehancur itu hanya dengan melihat Nata di layar kaca.

"Kamu istirahat saja dulu, nggak usah berangkat kerja." Kalila memberi saran.

Rania mendengus. "Bisa habis gajiku kalau aku libur lagi hari ini." Selain harus mengganti cangkir keramik yang tak sengaja dipecahkannya, bulan ini ia juga sudah libur tiga hari akibat flu yang menyerangnya karena memaksa menembus hujan sepulang kerja dua minggu yang lalu.

"Nggak usah lebay! Libur beberapa hari nggak bakalan membuat gajimu habis." Kalila menggerutu mendengar kata-kata Rania. Sebal karena sifat overthinking sahabatnya itu tiba-tiba muncul.

"Lah! kamu enak. Meski cuma TU di SD tapikan statusmu pegawai tetap. Libur dua- tiga hari nggak berarti apa-apa terhadap kelangsungan hidupmu." Rania merengut kesal. Hidup memang tidak pernah adil untuknya. Ia yang begitu menginginkan kehidupan seperti Kalila. Bekerja di instansi pemerintah, menerima gaji tiap awal bulan tanpa perlu khawatir bakalan dipecat, malah terdampar di sebuah restoran, jadi pelayan dengan bos superperfect yang selalu mengancam bakalan memotong gaji karyawannya setiap kali melihat sedikit saja kesalahan.

Nah, nah ini. Satu lagi sifat menyebalkan perempuan berdagu lancip di sampingnya ini kalau dalam mode sedih dan putus asa begini, selalu menganggap bekerja di instansi pemerintah itu lebih tenang, nyaman, dan bermasa depan cerah. Padahal pekerjaan terikat begitu ya sama nggak enaknya dengan pekerjaan yang sedang dilakoninya saat ini. Tak ingin melayani Rania yang sedang kumat rasa tak bersyukurnya, Kalila memilih mulai menggariskan pinsil alis pinjamannya.

"Pekerjaan yang enak itu ya kayak Nata. Jadi Bos di perusahaan sendiri. Tinggal nunjuk-nunjuk dan main perintah. Kalau kita mah sama saja. Sama-sama kacung orang." Kalila terus mengoceh tanpa sadar lirikan galak sosok di sampingnya.

"Nggak nyangka, Nata bisa sesukses sekarang. Kalau diingat-ingat dulu usaha stempelnya saja tutup, padahal masih seumur jagung. Hebat memang si Nata itu. Eh, Ra! Pernah nggak sih kamu membayangkan sekali saja, mantanmu itu bakal sesukses sekarang?"

Rania tak menjawab pertanyaan tak berperasaan gadis yang masih sibuk mengoceh tentang sosok yang tak ingin diingatnya lagi. Rania bertanya-tanya, Kalila itu temannya atau bukan sih, kok sejak tadi memuji-muji terus laki-laki brengsek itu. Dasar penghianat! Tak ingin semakin kesal terhadap Kalila, Rania memilih keluar sambil menghempaskan pintu.

Kalila yang tidak mengerti dengan sikap sahabatnya itu, hanya mengangkat bahu. Rania dan Nata dulu memang pacaran. Saling mendukung satu sama lain. Meskipun ia tahu Ranialah yang paling banyak berkorban untuk Nata. Mendukung tidak hanya dengan hati tetapi materi. Tapikan itu dulu. Lima tahun yang lalu. Jadi, kalau tiba-tiba Nata muncul dengan segala kesuksesannya, memangnya Rania berhak marah? Dasar si Rania ini pikirannya kadang-kadang dodol juga.

"Kamu masih marah karena Nata yang sekarang sukses dan keren nggak nyariin kamu?" tanya Kalila tajam begitu berada di hadapan gadis yang sedang menuang air putih ke gelas.

Dengan kasar Rania meletakkan gelas ke meja. Ditatapnya Kalila sama tajam. "Entah! Aku nggak tahu saat ini aku sedang marah kepada si brengsek itu atau kepada nasibku yang malang atau sama kamu yang sedari tadi ngoceh nggak jelas. Bisa nggak sih mulai detik ini kamu nggak usah nyebut-nyebut nama laki-laki sialan itu di hadapanku. Bikin mual, tauk!"

Kalila memutar bola matanya mendengar permintaan gadis tinggi di depannya. "Ck, kamu mah curang. Padahal Na... oke, oke, nggak usah ngamuk!" seru Kalila sambil mengangkat tangan melihat kilatan amarah yang langsung muncul begitu nama Nata terindikasi disebut Kalila.



Balas Dendam Mantan PacarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang