Diterima di Sintesa (b)

2.3K 175 5
                                    

Rania melambai ke arah Kalila yang langsung melaju begitu ia melompat dari boncengan. Sahabatnya itu memaksa mengantar. "Jangan coba-coba menolak kalau kamu enggak mau terlambat di hari pertamamu bekerja," ujar Kalila dengan mata melebar. Heh! Tebakan yang jitu. Rania memang ingin menolak. Apalagi saat membayangkan Kalila harus balik lagi ke belakang karena lokasi kantor mereka yang berlawanan arah.

Namun, insiden mati lampu yang mengakibatkan air juga ikut-ikutan mati sukses membuat rencana berangkat, yang seharusnya pukul enam menjadi pukul setengah tujuh. Fix meleset tiga puluh menit. Tidak bisa dipungkiri Rania pasti terlambat. Padahal ini hari pertamanya  mulai bekerja. Khawatir kehilangan pekerjaan bahkan sebelum dimulai membuat Rania memilih mengesampingkan perasaan tidak nyaman dan memutuskan menerima tawaran Kalila.

Disinilah ia sekarang. Berdiri sambil mengamati sebuah gedung bertuliskan Sintesa Advertising di bagian depannya. Bangunan berlantai dua itu masih tampak baru. Berlokasi di daerah Jamin Ginting Medan. Variasi warna-warna netral yang mendominasi membuat warna gedung tampak berbeda di antara bangunan-bangunan lain di sekitarnya. Meskipun warna abu-abu tampak mendominasi, kehadiran tanaman hias yang rimbun dan hijau menghasilkan suasana segar dan asri.

Setelah puas mengamati bagian luar gedung, Rania masuk. Sambil menunggu pihak HRD datang, ia duduk di sofa yang disediakan. Sepanjang duduk matanya tak henti-hentinya jelalatan ke sana kemari, mengagumi interior calon kantor barunya. Furniture keren dengan aksen kayu serba abu-abu mengisi ruangan. Sebuah foto mug berdesain unik dalam bingkai kayu berplitur menempati dinding sebelah kiri ruangan. Meski tampak begitu natural namun kehadiran tanaman montesera yang diletakkan di salah satu sudut menjadikan ruangan tampak sejuk. Gaya desain yang benar-benar mengekspresikan kederhanaan.

Seperti menyadari sesuatu tiba-tiba Rania tersentak. Kesan sederhana dan warna-warna yang mendominasi terasa begitu familiar. Tanpa bisa menolak, sebuah nama melintas begitu saja dalam benaknya. Nata. Ya, Nata memang begitu menggilai segala hal yang berhubungan dengan warna-warna netral itu. Alarm penuh peringatan sekilas berbunyi di kepalanya. Namun tak ingin merusak suasana hatinya yang sedang bahagia Rania cepat-cepat mengabaikan perasaan itu.

Tenang Ra! Ada begitu banyak orang yang menyukai warna abu-abu di dunia ini. Meskipun desainnya Nata banget belum tentu juga kantor ini milik Nata. Terus, kalau Sintesa Advertising ini memang benar-benar milik Nata, bagaimana? Sisi hatinya yang lain kembali menggaungkan peringatan.

Peringatan yang sukses membuat Rania mengedarkan pandangan, mencari-cari foto atau sejenis piagam penghargaan yang barangkali ditempel di dinding, yup! Seperti Havana, restoran tempatnya bekerja dulu. Tapi sayang, sepertinya pemilik perusahaan tempat Rania bekerja sekarang tidak sama dengan pemilik perusahaan lain. Tidak ada satupun petunjuk yang diharapkannya tampak menempel di dinding. Bahkan sampai tubuhnya berputar 360 tetap saja Rania menemukan yang ia cari. Malah perbuatan konyolnya itu sukses membuat kening pront office yang sedang bertugas berkerut heran.

"Sial! Kenapa gedung ini harus berwarna abu-abu, sih!" omel Rania pelan. "Kan aku jadi parno begini?"

"Pemilik utama kantor ini memang penyuka warna abu-abu, Mbak?" sebuah suara mengagetkan Rania. Melihat siapa yang muncul ia langsung berdiri.

"Selamat pagi, Bu," sapanya sambil tersenyum lalu menunduk hormat.

"Please, jangan panggil ibu. Saya langsung merasa tua mendadak," ucap perempuan tinggi dengan tubuh langsing dengan kulit sedikit hitam dan eksotis. "Panggil saja, Mbak. Seperti yang lain."

"Tapi...." Rania menatap ragu perempuan yang kemarin mewawancarainya dan memperkenalkan diri sebagai HRD Sintesa Advertising.

"Enggak apa-apa. Panggil saja Gwen atau Mbak. Di sini enggak terlalu formal-formal banget lah. kecuali pas ada pertemuan dengan klien." Wanita super seksi dan cantik itu menatap Rania sambil tersenyum. "Yuk, kamu saya antar ke atas sekalian kenalan sama tim yang lain. Kebetulan devisi kreatif lagi banyak banget proyek baru. Dijamin kamu langsung sibuk," ujar Gwen sambil melangkah ke arah lift diikuti Rania.

Berbeda dengan lantai satu yang tampak rapi, dengan orang-orang yang juga berpenampilan rapi, lantai dua terasa lebih ramai, urakan, dan sedikit lebih berantakan. Rania menempati salah satu kubikel bersebelahan dengan kubikel Ayu Nina, pegawai magang yang juga lolos saat tes kemarin.

Ada delapan orang yang menempati devisi kreatif saat ini. Sekarang menjadi sepuluh ditambah Rania dan Ayu Nina. Rania menduduki tim Udin Tampubolon, sang copywriter senior dan Sumi, seorang art director bertubuh mungil dan lemah lembut sedangkan Ayu Nina di bawah tim Andriana Ritonga.

"Selamat bergabung di kantor abu-abu ini, Rania. Kenalkan, saya Sumi. Panggil Sumi saja boleh. Pakai embel-embel, Mbak juga boleh. Asalkan jangan panggil pakai kata Mbok," ujar Sumi dengan suara lembut dan mendayu-dayu sambil mengedipkan mata. "Semoga kamu betah bergabung di tim ini."

Rania tertawa mendengar ucapan Sumi. "Makasih, Mbok. Eh, Mbak."

Sumi melotot lalu tertawa kemudian pamit meninggalkan Rania dan setumpuk gambar yang tadi ia perintahkan untuk di-scan. Tugas pertama Rania pagi ini. Namun, kehebohan yang terdengar membuat Rania menghentikan kegiatannya. Rasa ingin tahu membuatnya melongokkan kepala. Kedua bola matanya hampir saja keluar begitu melihat sumber kehebohan yang terjadi.

"Wah! Pak Bos. Tumben nih pagi-pagi muncul dengan pakaian lengkap begini. Bikin aku semakin terpesona saja." Adriana mencolek Sumi yang sedang meletakkan secangkir kopi yang baru ia seduh di meja bundar di sudut ruangan.

"Oh, my God! Bener-bener nih pemilik perusahaan memang laki-laki paling tampan seantero Sintesa. Calon suami idaman banget deh! Aduh, tisu mana tisu?!" tiba-tiba Sumi berteriak panik.

"Buat apa?"

"Untuk ngelap ences." JawabSumi dengan mimik serius, tak ayal Andriana langsung memukul bahunya keras.

Pak Bos? Pemilik perusahaan? Rania mulai bertanya-tanya. Tidak. Jangan bilang tempatnya bekerja sekarang adalah perusahaan Nata? Ya, Tuhan...

Kenapa sih dunia tiba-tiba berubah sempit akhir-akhir ini! Batin Rania. Diam-diam ia mencengkram kertas yang dipegangnya. Tubuhnya semakin lemas melihat Nata dan kedua pengawalnya semakin mendekat. Rania tiba-tiba merasa kecil dan... kusam, begitu postur tubuh tinggi dengan stelan jas berwarna gray dilengkapi dengan kemeja berwarna busa laut di dalamnya serta dasi berwarna biru gelap bintik-bintik putih kini berhenti tepat di depannya.

"Rania Dwi." Nata membaca tanda pengenal yang tersemat di saku kemeja Rania. "Pegawai magang," lanjutnya pelan dan penuh tekanan. Membuat Rania yang menunduk langsung mendongak menatap Nata yang juga sedang menatapnya tanpa senyum. Sekilas kilatan penuh amarah melintas di mata dengan tatapan dingin itu. Tak sanggup berlama-lama saling tatap, Rania memilih menunduk. Nata mendengus. Seringai penuh kemenangan mewarnai bibirnya sejenak melihat wajah Rania yang pucat pasi.

"Saya Ayu Nina, Pak." Ayu Nina langsung memperkenalkan diri begitu tatapan Nata beralih ke arahnya. Nata tersenyum sambil mengangguk. Setelah berbasa-basi sejenak dengan yang lain Nata meninggalkan devisi kreatif. Sementara Rania hanya bisa terduduk tak berdaya di kubikelnya.


Hai...

Jelas meleset ya dari jadwal yang dibuat. Rencananya Sabtu post eh, enggak tahunya molor sampai hari Senin. Yah, begitulah. Kita hanya bisa berencana. Tulisan ini sudah selesai di ketik sejak Sabtu kemari. Tinggal post tapi tiba-tiba aku drop dan baru bisa buka lap top sekarang. 

Selain itu ketik hapus-ketik hapus terus cukup mempengaruhi. Entah kenapa aku merasa bagian ini enggak terlalu greget. Dan aku juga merasa kurang sreg dengan hasilnya. Perasaan itu akhirnya memang mempengaruhi semangat menulisku.

Untuk kalian, monggo dibaca. Semoga suka.





Balas Dendam Mantan PacarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang