Bab 19

2.2K 81 1
                                    

Happy reading

***

Arnold tidak bisa menutupi rasa bahagianya ketika mendengar jawaban sang pujaan hati. Semua orang tahu bahwa cinta adalah hal terindah yang pernah dirasakan oleh umat manusia di muka bumi ini. Karena dahsyatnya juga, banyak yang mengatakan bahwa dunia adalah surga. Begitu juga perasaan yang di alami Arnold saat ini. Meski sudah beberapa kali jatuh cinta, tapi rasa itu tetap sama. Bahagia dan membuatnya hampir gila tidak berhenti tersenyum. Rasa lelah di sekujur tubuhnya kini hilang begitu saja, karena mendengar kata iya.

"Akhirnyo aku punyo cewek, bertino Minang pulok,"

"Seneng nian aku punyo cewek cantik cak kau ni,"

Mince hanya bisa tersenyum, ketika ia sudah lama sendiri akhirnya ada yang menerima kekosongan di hati. Kini sudah ada pasangan yang menanti.

"Sayang,"

"Iyo,"

"Percayo samo abang, abang bakalan sayang samo adek,"

Mince lalu tertawa mendengar Arnold mengeluarkan bahasa-bahasa ibunya. Bahasa Minang dan Palembang memang tidak jauh berbeda, toh mereka berasal dari Sumatra.

"Jadi ...," Mince menyelipkan rambut di telinga.

"Yaudah kita jalanin aja," Arnold tersenyum penuh arti.

"Aku bahagia enggak jadian sama aku,"

Mince menahan tawa, "Iya lah,"

Arnold melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 22.30 menit, "Besok kamu kemana?," tanya Arnold.

"Ya di rumah aja, emang aku mau kemana lagi? Palingan ngurusin endrosmentnya si Putri. Kalau kamu kerja?,"

"Iya,"

"Pulang malam lagi?,"

"Aku pulang malam terus sih, enggak pernah sore. Biasa si Ibas ngajak ngopi dulu di Bar,"

Mince mengerutkab dahi, "Siapa Ibas?,"

"Executiv Housekeeper,"

"Bagian apa sih, keren gitu namanya,"

Arnold lalu tertawa, ia tidak ingin sang kekasih terlalu mendalami apa itu bagian management housekeeper. Bisa jadi kalau Mince lihat Ibas malah kecantol seberapa keren Ibas,

"Tukang bersih-bersih area hotel dan kamar,"

Alis Mince terangkat, "Kalau kamu ?,"

"Tukang bersih-bersih area kitchen,"

Mince lalu tertawa ia meninju bahu Arnold, itu bukanlah jawaban yang ingin ia dengar.

"Terus malam pulang jam berapa?," Mince mulai ingin tahu pekerjaan Arnold di hotel.

"Jam delapan atau setengah sembilan biasa udah pulang itu kalau enggak ada acara loh ya. Kalau ada acara ya bisa subuh, badan aku hampir remuk, beson paginya kerja lagi,"

"Kerja rodi dong,"

"Tapi kalau udah suka sama kerjaan, ya selelah apapun enggak terasa,"

Mince mengangguk mencoba memaklumi profesi Arnold,

"Yang kerja di hotel pasti cantik-cantik, emang enggak ada yang suka sama kamu ?,"

"Banyak sih, tapi kalau aku yang enggak suka gimana dong,"

"Kenapa? Kan cantik-cantik,"

"Cantik aja enggak cukup untuk jadi pasangan sayang. Aku tahu di mana hati aku harus berlabuh. Kalau hanya cantik, mungkin pacar aku udah ribuan,"

Mince lalu tertawa, ia melirik Arnold yang tersenyum menatapnya, "Terus, gimana masterchef kamu,"

"Bentar lagi eposidenya selesai, kontrak aku udah berakhir dan besok syuting terakhir,"

"Wah cepet bener,"

"Ya aku emang selingan aja, enggak terlalu ngarep juga jadi aktor. Aku nikmati kerjaan aku yang sekarang,"

"Hemmm, aku ngelamar kerja di hotel boleh?," setelah bercerita banyak tentang hotel yang di geluti oleh Arnold.

Arnold mengerutkan dahi, "Loh,"

"Aku kan pengen kerja juga, pengen sibuk juga kayak kamu, aku bosen nganggur nih,"

"Endrosment kamu gimana?,"

"Ya gitu deh, palingan posting-posting aja selesai,"

"Mau dong kerja di hotel juga, kamu bilangin sama HRD nya, bisa enggak ngelamar umur 27 tahun seperti aku. Bahasa inggris aku lancar, tinggi badan aku 163. Aku bisa komputer, aku bisa negosiasi, klien aku banyak, banyak deh yang aku bisa,"

Arnold menepuk jidat atas permintaan sang kekasih yang ingin kerja di hotel seperti dirinya, "Kamu jangan kerja di hotel,"

"Kenapa?," Mince semakin bingung.

"Nanti temen-temen aku, suka sama kamu, bahaya," Arnold tidak terima atas keputusan Mince untuk bekerja di hotel.

"Ih kok gitu,"

"Ya iyalah, secara kamu cantik dan lucu kayak gini,"

"Cantik dari mana, biasa aja kok,"

"Dengar sayang,"

"Apa,"

"Aku enggak mau kamu capek. Gaji aku udah lebih dari cukup untuk buat kamu belanja ke Matahari,"

"Ih kok gitu,"

"Jadi kamu enggak mau, aku ajak belanja di Matahari,"

"Mau kok, baju di sana kece-kece juga,"

"Kamu kan tau aku ini cuma chef, bukan pengusaha. Penghasilan aku cuma setiap bulan. Kalau belanja di butik-butik terkanal itu, gaji aku enggak cukup,"

"Siapa juga yang mau belanja di sana," dengus Mince.

"Aku juga enggak minta apa-apa dari kamu, cukup kamu sayang sama aku aja, itu udah cukup kok,"

Arnold tersenyum mendengar penuturan Mince, ia meraih jemari lentik itu, lalu mengecup punggung tangan sekilas. Dialah daya tarik utamanya saat ini.

"Sayang,"

"Hemmm,"

"Aku pulang ya,"

"Iya, kamu pasti capek banget ya," Mince memandang Arnold.

"Lumayan, tapi besok aku bakalan ke sini lagi," Arnold mengelus puncak kepala Mince.

Ada perasaan tenang ketika Arnold mengelus puncak kepalanya, "Yaudah, kamu hati-hati ya,"

"Iya,"

Arnold beranjak dari kursi begitu juga Mince, mereka berjalan menuju pagar, "Kamu pulang mandi dan langsung tidur ya,"

"Iya sayang, kamu jangan tidur malam-malam, oke,"

Arnold mengecup kening Mince, "Aku sayang kamu,"

"Aku juga," Mince tersenyum bahagia, karena apa yang di ucapkan Arnold terdengar begitu tulus.

***

Eat, Bread and Love (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang