Ruang Temu

5 0 0
                                    

"Kak tidur yuk, kali aja ketemu di mimpi", ucapnya saat itu ketika kami berdua bicara melalui sambungan video call pada salah satu aplikasi chat. Gua hanya menatap wajahnya yang cantik dan periang. Bola matanya hijau daun anggur, yang kerap kali membuat gua terlena dan tak sadarkan diri seakan ingin tenggelam di dalamnya. Tak lama kemudian kami pun memutuskan sambungan video call, walau gue masih pengen bicara dengannya tapi melihat wajahnya yang begitu lelah gua pun harus mengerti. Selamat tidur Ara.
"Kak kenapa tukang koran itu kebanyakan cwo?", ucapnya sembari mengajak gua bermain tebak-tebakan. Gua kadang heran dia dapat tebakan-tebakan itu dari mana. Karena gua sebelumnya belum pernah mendapat tebakan seperti yang dia sampaikan. Ara ini memang pinter sekali mencari topik pembicaraan tentunya agar hubungan atau yang kita bicarain berdua bukan hanya soal perasaan masing-masing, yang lebih banyak rindunya.
"Mmm aku gatau kak", jawab gua jujur. Gua emang rada males mikir dan dia juga gak memaksa gua untuk memikirkannya. Dia tidak pernah bilang "Ah payah kakak mah gatau terus kalu aku tebakin", atau memasang raut wajah kecewa. Dia malah bahagia kalau gua gatau jawabannya.
"Nyerah nih jadinya?", gua pun hanya menganggukkan kepala. "Jawabannya adalah karena cwe gengsi ngasih kabar duluan", langsung disambut dengan tawanya yang begitu riang. Dan disitulah gua bahagia banget, bisa denger dan lihat dia tertawa lepas, wajahnya makin cantik, matanya semakin menawan menawarkan sebuah pelukan dan gua yakin pikirannya pun lepas oleh beban kerjanya yang lumayan menguras otak.
Selepas dia tertawa dia natap gua serius, tak sedetikpun gua lewati momen tersebut. Ketika ditatap olehnya gua sesegera mungkin menyelam jauh ke dalam dua bola matanya. Memasuki segala kehidupannya, menjadi teman berceritanya dan membersihkan luka yang ada di dalamnya. "Kak, peluk!", pintanya. Meski hanya melalui sambungan video call kami pun mencoba berpelukan, hangat dan tenang. Itulah yang dirasakan hati ketika kami berpelukan. Selanjutnya tidak ada percakapan. Perlahan matanya terpejam. Nafasnya mulai teratur. Bibirnya tersenyum manis. Semenit, dua menit, tiga menit dan sampai selamanya ingin gua menikmati momen tersebut. Namun hal itu tentu tak bisa dilakukan demi kenyamanan dia tertidur. Gua matikan, seraya mengucapkan "Selamat tidur Ara".
Pernah suatu ketika dia menyampaikan, "kak semalem aku mimpiin kamu, tapi aku gak liat wajah kamu tapi aku tahu bahwa itu kamu". Gua hanya bilang "kok kakak tau kalau itu aku". Jawaban darinya singkat dan sungguh manis, "hatiku kak yang memberi tahu". Seketika kita hening. Tak ada kata-kata. Hanya menikmati hati yang semakin membesar rasa saling menyanyangi diantara kami berdua. " I love you" ucap kami bersamaan.
Sekarang semua itu hanya tinggal kenangan. Ingatan itu selalu hadir tiap saat. Menjalar dari otak sampai keseluruh aliran darah diri ini. Hari ini 17 Agustus, artinya 74 tahun sudah Indonesia merdeka dan satu minggu sudah gua telah membuatnya pergi dari kehidupan ini. Jika terus diingat mungkin hanya akan menambah sedih dan penyesalan di hati. Mungkin menunggunya mau kembali itu kemungkinan sangat kecil hasilnya. Kesalahan yang pernah gua lakuin memang sangat fatal, membuka kembali rasa trauma masa lalunya. Sekarang gua hanya bisa mendoakan dirinya. Ibu gua selalu memperhatikan raut wajah gua belakangan ini. Beliau sadar anaknya seperti sedang menghadapi masalah dengan Ara. Kadang Ibu juga entah memang kangen dengan Ara atau hanya memancing gua, beliau selalu menanyakan Ara tiap harinya. Gimana Ara, dan sebagainya. Gua hanya menjawab, alhamdulillah Bu, Ara baik-baik saja.
Menyibukkan diri sepanjang matahari bersinar, berolahraga saat mentari mulai tenggelam sembari berharap malamnya gua kelelahan dan dapat tertidur nyenyak. Karena di sanalah harapan masih tersimpan, sebuah ruang temu antara gua dan dia. Di alam mimpi.

le coup de foudreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang