Halaman Terakhir

8 0 0
                                    

Terkadang banyak orang selalu menyiapkan satu lembar kosong untuk diisinya nanti di akhir perjalanan hidupnya. Gua sendiri selalu menyediakan satu lembar kosong dalam setiap percintaan yang gua jalani. Yang akan gua isi dengan cerita bahagia ataupun cerita tentang kegagalan dalam menjalani kisah cinta. Dan saat ini mungkin adalah halaman kosong yang gua akan tuliskan dengan cerita yang menyedihkan.
Pada bulan ini, tepatnya pada 7 September 2004, aktifis HAM (Hak Asasi Manusia) Munir menuliskan halaman terakhirnya dalam kehidupannya. Kepergiannya sampai saat ini masih meninggalkan tanda tanya besar siapa dibalik dalang pembunuhannya. Jika mengikuti rekam jejak aktifitas politiknya, hampir semua orang sependapat Munir pasti memiliki musuh politik yang jumlahnya banyak sekali, sebagian besar terutama para pejabat militer.
Kasus Munir memang tak asing lagi ditelinga masyarakat. Terlebih lagi ditelinga para mahasiswa dan kaum terpelajar lainnya. Dan gua baru-baru ini mencari data-data lebih banyak tentang sepak terjang beliau. Terlebih sejak kasus rasialisme yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya. Gua jadi lebih banyak mencari isu-isu HAM yang pernah terjadi. Khusus kasus Munir gua mendapatkan sebuah buku dalam bentuk pdf yang sangat menarik perhatian gua. "Bunuh Munir".
Dalam buku "Bunuh Munir", Buyah Syafii Maarif menuliskan mukadimah untuk buku tersebut. "Munir:  Duta Universitas Islam di Indonesia", dalam mukadimah tersebut Buyah Syafii menyampaikan kita sebagai orang Indonesia beruntung karena sempat memiliki Munir. Dalam hidupnya yang singkat, Munir seperti singgah dan membantu kita di saat dimana  kita membutuhkannya.  Di masa-masa mencekam saat rejim orde baru masih berkuasa, saat kebebasan dipasung dan segala aktifitas yang bersebrangan dengan negara diawasi secara ketat, Munir tak kenal takut untuk menyuarakan nasib kaum buruh, aktivis mahasiswa dan pemuda, serta kelompok-kelompok masyarakat lain yang mengalami penindasan.
Konsistensi dan persistensi, dua hal ini tampan jelas dalam kepribadian seorang Munir. Munir mengetahui betul resiko perjuangannya. Namun demikian, Munir tidak gentar dan mengambil sikap setia melawan. Munir tidak ingin mengambil sikap diam dan menyerah pada tekanan, tudingan, intrik, intimidasi kerap menimpanya. Dituduh 'PKI', 'Yahudi', 'Anti Islam', 'Provokator', Munir tak surut langkah. Keberanian dan kegigihannya mampu menepis hantaman-hantaman tersebut.
Dari situlah gua dapat memahami mengapa Munir sangat dimusuhi oleh penguasa dan juga kaum militer. Selanjutnya dalam bagian pertama buku "Bunuh Munir", sebagaimana dijelaskan bila mengikuti secara personal gerak politik Munir, ia tidak dikenal sebagai seorang pejuang HAM yang menempuh jalur intelektual yang selalu setia dengan prinsip dan norma HAM yang ketat. Baru di akhir hidupnya Munir menyadari dia perlu untuk meng-upgrade pengetahuannya tentang dunia HAM secara lebih ketat. Ini alasan mengapa Munir merasa perlu untuk kuliah S-2 di negeri Belanda.
Di tengah kondisi politik yang kritis, Munir tidak ketinggalan untuk terlibat di dalamnya. Hal ini diawali dari adanya laporan beberapa aktivis politik yang hilang. Dengan manuver politik yang signifikan, melalui advokasi politik KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), sebuah aliansi dan beberapa tokoh dan aktivis politik. Disini, sebuah kemustahilan menjadi mungkin oleh sepak terjang Munir dan KontraS-nya. Saat itu menjadi sebuah rahasia umum bila sebuah insiden politik tidak mungkin terungkap, namun untuk kasus penhilangan politik ini lain. Melalui strategi yang tidak lazim bagi sebuah advokasi LSM HAM saat itu, kasus ini sedikit demi sedikit bisa terkuak. Bahkan dari beberapa yang hilang bisa kembali. Untuk pertama kalinya sebuah institusi militer mendapat tantangan serius.
Dari sepak terjang Munir dari kasus tersebut berujung dengan dicopotnya tiga perwira penting militer Kopassus saat itu, yakni Letjen Prabowo Subianto, Mayjen Muchdi PR, dan Kolonel Chairawan dengan alasan terkait dengan kasus penculikan aktivis mahasiswa tersebut.
Sosok Munir seperti diceritakan dalam buku "Bunuh Munir", keberanian dan kegesitannya dalam berpolitik membuat banyak orang, terutama para korban menjadikannya tempat berpaling. Setelah itu arus deras tuntutan akan keadilan dari para korban selalu singgah dahulu ken pundak Munir sebelum diteruskan pada tuntutan tanggungjawab negara. KontraS dan YLBHI menjdi rumah pengaduan bagi para korban yang merasa perlu untuk terus mempertanyakan nasib mereka. Beberapa kasus "keras" segera menjadi agenda kerja KontraS setelah para korban berdatangan; Kasus penembakan mahasiswa di Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Tragedi Mei (1998), Kasus Tanjung Priok (1984), Kasus Talangsari (1989), dan lainnya.
Di luar itu Munir juga "menggarap" beberapa kasus keras lainnya seperti kasus Timor Timur pasca referendum 1999, kasus DOM di Aceh dan Papua, kerusuhan di Maluku, Kalimantan dan Poso. Hampir semua daftar kasus di atas bisa didefinisikan sebagai kasus "keras" karena melibatkan kalangan perwira tinggi militer.
Akhirnya pada hari Selasa 7 September 2004 sekitar pukul 13.00 WIB berita duka meninggalnya Munir tersiar. Munir meninggal dalam penerbangan pesawat Garuda GA-974 menuju Amsterdam. Sampai saat ini kasus meninggalnya Munir masih menjadi tanda tanya.
Joko Widodo pada 2014 lalu menjanjikan penyelesaian kasus tersebut saat berkampanye guna meraih simpati dari masyarakat luas, namun sampai menjelang akhir kekuasaannya dirinya tak mampu menyelesaikan kasus tersebut untuk mengungkapkan dalangnya tak pernah terjawab.
Munir mengisi halaman kosong di akhir hidupnya dengan berpulang kehadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Kini giliran gua kembali menuliskan halaman terakhir kisah cinta kepada Ara. Kemarin dia datang kembali, membawa sebuah kabar bahwa dirinya akan segera dilamar oleh mantan kekasihnya. Gua berpikir ini terlalu cepat, namun bagi Ara itu adalah keputusan yang tepat. Memang mantan kekasihnya tersebut bukanlah orang baru dalam hidupnya, tetapi bukankah dengan dia juga Ara pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan.
"Sudah kamu tak usah memikirkan aku lagi", katanya saat gua mencoba mengingatkannya kembali kenangan dengan mantan kekasihnya tersebut. Gua hanya diam. Jauh-jauh datang ke Jakarta hanya untuk mengabari hal tersebut.
"Boleh aku memeluk kamu untuk terakhir kalinya", tak ada penolakan darinya. Kami pun berpelukan. Sangat lama dan sangat hangat. Air matanya membasahi kaos bagian dada gua. Air mata gua membasahi rambut di kepalanya. Banyak orang melihat ke arah kami berdua. Entah siapa yang mulai menggerakkan hatinya, akhirnya kaki kami melangkah ke sebuah hotel untuk melanjutkan hal tersebut. Dosa terakhir untuk sepasang kekasih yang akan berpisah. Kami bercinta seolah tak ada jeda dan tak pernah reda. Banyak sisa kecupan merah di bagian leher dan dada kami berdua. Sebuah perpisahan yang tak diinginkan.
Halaman terakhir kisah cinta gua kepadanya telah terisi. Tentang perihnya perpisahan.

le coup de foudreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang