Perasaan baru kemaren ponakan gua lahir. Sekarang umurnya sudah empat tahun lewat. Dua minggu lalu dia baru saja dimasukan Taman Pendidik Al-Quran oleh orang tuanya. Gua masih inget setelah beberapa hari dia sekolah gua bikin video buat Ara.
Ketika ponakan gua akan pertama kali masuk sekolah, walau sekedar Taman Pendidikan Al-Qur'an hati gua sangat berdebar. Banyak pikiran-pikiran yang melintas di kepala. Akankah dia bisa menyesuaikan dengan lingkungan barunya? Akankah teman-teman barunya bisa diajak berteman dengan baik atau enggak? Dan segala macam pikiran lainnya dengan begitu saja memasuki kepala gua. Untungnya Ataya mampu menyesuaikan dirinya dengan baik. Sudah memiliki teman akrab. Dan tentunya dengan usianya yang masih balita dia berani masuk kelas sendiri tanpa meminta ditemani oleh bundanya. Hingga sampai hari itu kala gua berniat merekamnya untuk menyapa Ara yang sedang kerja dengan sebuah video.
"Halooo kak Ara", begitulah isi video yang sangat singkat tersebut isinya. Ara pun senang sekali waktu liat videonya. Tak lama kami pun video call bersama. Ada Ataya juga ponakan gue. Ara antusias banget ngobrol sama dia. Ya walaupun obrolannya absurd karena ponakan gua lagi pinter-pinternya bicara. Sayangnya obrolan mereka harus terputus karena Ataya sudah harus berangkat. Tinggallah gua dan Ara ngobrol berdua. Dengan gerak cepat gua pindah ke kamar dan Ara tetep di ruang kerjanya yang sepi karena yang lainnya sedang meninjau lapangan.
Ara selalu iseng kalau kita sedang melakukan video call. Ada saja yang dia perbuat dengan konyol. Seperti yang dia lakukan waktu itu, "yank sepi nih", katanya sambil mencoba melepas kancing atas kemejanya. Mata gua pun langsung melotot agar dia membatalkan tindakannya. Eh dia malah melanjutkan perbuatannya. Dua kancing atasnya sudah terbuka, dengan cepat gua larang, "sayang stop", kata gua. "Lah kok distop sih yank, itu mata kamu melotot loh ngeliatinnya", balasnya dengan nada menggoda. "Sayaang ini melotot marah bukan melotot nafsu buruan kencingin lagi", pinta gua. Dia malah ketawa dan menggoda gua. Ya walaupun gua selalu suka momen-momen seperti ini karena Ara memiliki tubuh yang indah banget dan terawat tapi untuk kali ini gua harus tolak. "Hahaha kamu mah yank lucu", dia malah berkata seperti itu. Gua hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahnya kala itu.
Kembali pada hari ini, pemberitaan menyangkan demonstrasi warga Papua yang terus berlanjut untuk melawan tindakan diskriminatif terhadap rakyat mereka baik yang berada di Papua maupun terhadap yang berada di luar Papua. Tindakan Rasis yang terjadi beberapa waktu lalu rupanya berbuntut panjang. Tindakan pemerintah yang lambat dalam mengusut kasus tersebut dan malah menambah pasukan keamanan di Papua dan memutus jaringan komunikasi di sana justru malah membuat rakyat Papua semakin marah dan semangat untuk memisahkan diri dari Republik ini semakin kuat.
Pada tanggal 30 Agustus 2019, Tirto.id melaporkan bahwa telah jatuh korban jiwa atas demonstrasi menolak tindakan rasisme di Deiyai. Ada tujuh korban sipil yang tewas akibat demonstrasi tersebut. Keterangan tersebut berdasarkan laporan dari Yones Douwes, ketua departemen keadilan dan perdamaian Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua.
Rentetan kejadian ini tentu bukanlah hal yang mengenakan bagi pemerintahan Joko Widodo. Terlebih lagi bagi warga Papua yang sudah sejak lama mengalami penindasan dan pelanggaran HAM yang justru dilakukan oleh pihak penguasa.
Masuknya Papua ke tangan pemerintahan Indonesia pun masih menyisakan banyak tanda tanya. Warga Papua sejak sebelum dilakukannya Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) menginginkan dijalankannya New York Agreement dengan one man one vote ditolak oleh pemerintah. Yang terpenting dari New York Agreement adalah "hak semua orang dewasa, laki-laki dan perempuan, bukan warga negara asing, untuk berpartisipasi dalam tindakan menentukan nasib sendiri yang dilaksanakan sesuai dengan praktik Internasional". Dalam buku "Masa Lalu Yang Tak Berlalu: Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua Sebelum dan Sesudah Reformasi" yang diterbitkan oleh ICTJ (International Center for Transitional Justice) menyatakan sebelum digelarnya Pepera pada tahun 1969, militer Indonesia mulai melakukan tekanan terhadap berbagai aksi politik di Papua. Selama berminggu-minggu sebelumnya, para pemimpin Papua ditangkap, dipenjarakan atau diasingkan. Alih-alih memberikan hak suara kepada seluruh rakyat Papua, pemerintah Indonesia hanya menunjuk 1026 orang yang dianggap mewakili wilayah Papua.
Kejadian Rasis yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya belum lama ini, telah membawa gua jauh ke dalam lubang keingintahuan tentang isu-isu Papua. Berbagai jurnal dan buku-buku, artikel-artikel sejarah gua kumpulkan agar mampu melihat Papua dari berbagai sudut bukan hanya dari pemberitaan yang disampaikan oleh media-media nasional ataupun pendapat pemerintah apalagi pendapat para pendukung Jokowi yang menurut gua sudah sangat tidak berimbang.
Saat ini gua rasa orang-orang yang memilih untuk menjadi Golput saat pilpres kemarin adalah orang-orang yang paling bahagia. Mereka bisa menjaga kewarasan berpikir, berimbang dan tidak memihak. Jika terjadi suatu masalah tidak menyalahkan lawan politiknya melainkan mencari akar permasalahannya. Tidak mendewakan Jokowi dan tidak mengkambinghitamkan pihak oposisi.
Semua yang terlintas di kepala gua tak menghilangkan sama sekali kerinduan gua kepada Ara. Hampir sebulan dia pergi. Sampai detik ini gua masih terus mencari akun-akun sosial medianya. Sambil berharap dia membuka block nya ke akun sosial media gua. Kopi di atas meja kerja ini gua minum perlahan. Merasakan sensasi saat pertama kali lidah dan kopi bertemu. Mata gua terpejam. Bayangan Ara melintas. Gua merasakan mulutnya begitu hangat saat bibir kami saling melumat. Satu kejadian yang pernah terjadi diantara ruang temu kami. Sebuah mimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
le coup de foudre
Romancesebuah perjalanan untuk menemukan titik terakhir dalam kehidupan