Tiga Tahun Kemerdekaan Indonesia
Arti Republik Indonesia Bagi Perdjuangan
Kemerdekaan Nasional
Dari Proklamasi ke Linggardjati Sampai Renville
Begitulah judul berita yang dimuat harian Merdeka pada tanggal 16 Agustus 1948. Setelah kemerdekaan di tahun 1945, masih banyak pihak yang mengatakan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia adalah buatan bangsa Jepang. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah pernyataan kehendak semurni-murninya dari bangsa kita untuk hidup bebas, hidup merdeka, dan tidak dibelenggunya lagi oleh penjajahan. Kemerdekaan ini sama seperti Kemerdekaan bangsa Amerika yang berasal dari hasil revolusi terhadap penjajahan Inggris, dan sama seperti Kemerdekaan Belanda adalah hasil dari revolusi terhadap kekuasaan Philips II dari Spanyol. Dan kemerdekaan Indonesia adalah proses revolusi terhadap kekuasaan penjajahan pula terhadap fasisme Jepang.
Sejak diproklamasikan Kemerdekaan Indonesia terus menemui hadangan. Pokok masalahnya adalah oleh karena hak dasar dari bangsa Indonesia untuk hidup sebagai bangsa merdeka, sebagai bangsa yang berdaulat penuh sebagaimana dijanjikan oleh Charter Atlantic dan Piagam PBB tidak diakui oleh Belanda. Masalah ini tak kunjung selesai baik dari jalan Damai ataupun jalan kekerasan.
Sudah beberapa hari semenjak Ara memutuskan untuk pergi dan sampai saat ini gua juga belum dapat menyakinkan dia agar mau kembali dalam hubungan ini. Gua adalah orang yang sangat mudah terganggu konsentrasinya jika sedang mengalami hal yang tidak mengenakan. Pekerjaan memang dapat terus berjalan dengan baik, namun tatapan mata gua gak bisa berbohong, ada harapan yang begitu besar agar Ara segera kembali.
Hari ini gua kembali berkunjung ke sebuah perpustakaan. Buku mungkin adalah pelarian yang tepat untuk menghilangkan rasa sakit di hati ini. Ada banyak sekali koleksi di perpustakaan ini. Paling banyak memang buku-buku tentang Hukum, namun koleksi buku-buku sejarahnya juga tak kalah banyak. Belum lama ada riset yang menyatakan bahwa jumlah perpustakaan di Indonesia merupakan terbanyak nomor dua di dunia. Di sisi lain sebuah riset juga menyatakan bahwa budaya baca di negeri ini sangatlah buruk dan menempati urutan kedua dari bawah. Banyak upaya untuk memajukan minat baca masyarakat, ada yang mendirikan perpustakaan di tengah-tengah lingkungan masyarakat dan bahkan ada yang tergerak hatinya untuk berkeliling sambil menjajakan buku-buku gratis untuk dibaca oleh masyarakat. Tentu upaya-upaya tersebut memang belum terlihat hasilnya, namun hal ini harus diapresiasi karena merupakan terobosan yang menarik di agar masyarakat kita terbiasa membaca.
Namun di tengah itu semua kini kita juga menghadapi sebuah kekuasaan yang anti terhadap buku-buku kiri. Razia buku kiri bukan lagi dilakukan oleh pihak berwajib saja tapi juga dilakukan oleh organisasi-organisasi umat beragama. Anehnya tindakan sewenang-wenang tersebut tidak mendapatkan tindakan yang tegas dari pemerintah dan bahkan cenderung melakukan pembiaran.
Apa yang paling menyedihkan dari razia buku kiri yang dilakukan oleh kelompok umat beragama? Yaitu salah alamatnya mereka terhadap buku-buku yang mereka tarik dari toko-toko buku. Salah satunya adalah buku "Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revosionisme". Sejatinya buku tersebut adalah bentuk kritik sang penulisnya terhadap pemikiran Karl Marx. Artinya kelompok yang melakukan razia tersebut sangatlah minim pengetahuannya. Dan hal itulah yang semakin menyakinkan gua kalau pemerintah kerap kali kalah oleh kelompok-kelompok umat beragama dan malah sering kali melakukan kompromi politik dengan mereka guna memuluskan hasrat politiknya.
Sejatinya buku-buku kiri adalah buku yang menawarkan ide-ide kritis. Yang paling penting menurut gua buku kiri adalah buku yang melawan tindak kolonialisme dan imperialisme. Bahkan merujuk kepada harian IndoProgrres Bung Karno dalam pidatonya tanggal 28 Februari 1966, dirinya mengatakan "Aku tegaskan tanpa tedeng aling-aling, ya, aku Marxis", begitu ucapnya. Jauh sebelum itu, Bung Karno pernah menerbitkan tulisannya dalam Indonesia Muda: "Nasionalisme, Islam dan Marxisme". Bagi Bung Karno pada saat itu tiga hal yang paling memiliki kekuatan untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia ialah dengan kekuatan Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Karena ketiga hal tersebutlah yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia.
Kemelut di pikiran gua ini akhirnya hanya sebentar dalam mengalihkan kepedihan hati ini yang ditinggal pergi Ara. Gua akan terus berusaha untuk mengupayakan dia kembali. Perjuangan gua memang tak seberapa dibanding dengan perjuangan para pendiri bangsa dalam proses kemerdekaan bangsa ini. Gua harus mengambil hikmahnya bahwa sehabis masalah ini reda gua akan selalu menepati janji gua ke Ara.
"Kamu tau gak apa yang paling penting dari seorang lelaki?", kata Ara waktu itu di tengah asiknya kami berbicara melalui sambungan telepon. Gua belum sempet menjawabnya kemudian dia kembali berucap, "Yang paling penting dari lelaki adalah sejauh mana dia bisa menepati ucapannya". Dan mungkin inilah alasan dia pergi, karena gua gagal menjaga ucapan gua kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
le coup de foudre
عاطفيةsebuah perjalanan untuk menemukan titik terakhir dalam kehidupan