TAKDIR Part 7

86 7 0
                                    

TAKDIR
EPS. 7
Liburan. Adalah hal yang paling ditunggu-tunggu oleh setiap santri yang mukim di pondok manapun itu. Tak terkecuali di Pondok Pesantren Al-Amanah Sumenep Madura. Pagi-pagi sekali, setelah acara salam-salaman dengan para nyai, semua santriwati bergegas untuk mengeluarkan semua barang-barang yang akan mereka bawa pulang dari asrama masing-masing.
Begitu pula Alya. Meskipun sebenarnya Zul agak bingung bagaimana cara pulang, akhirnya, setelah ia sok sok-an bertanya kepada teman-temannya, akhirnya dia mendapatkan jawaban bahwasanya si Alya Haidar pasti dijemput oleh Mamanya dengan menggunakan mobil Jazz berwarna silver, keluaran baru. Pastinya.
"Nah, mungkin itu...."Kata Zul setelah mendapati seorang wanita paruh baya menggunakan jubah berwarna kuning emas keluar dari mobil jazz silver dengan high heels yang cukup tinggi. Ya, Zul, tahu wajah ibu Alya, soalnya dia sempat melihat foto beliau di diary Alya.
"Assalamu'alaikum...Bu..."Sapa Zul dengan sopan
Ibu Anandhi tersenyum geli.
"Hehe... sejak kapan kamu manggil mama dengan sebutan ibu... Hahah... ada-ada saja.... ayo masuk...."Kata ibu Anandhi terheran-heran.
Zul tersenyum sopan. Ia pun masuk mobil. Di dalam mobil, Zul tidak berbicara apa-apa. Hal ini membuat Ibu Anandhi bingung.
"Kamu kenapa Alya? Biasanya kamu ngomel-ngomel gara-gara mama telat jemputnya... kok diem aja?"Tanya Ibu Anandhi.
"Ah... tidak apa-apa bu... eh ma...."Kata Zul, keceplosan.
Sesampainya di Bandara Juanda, mereka berdua terus meluncur terbang menggunakan pesawat Jet pribadi milik keluarga Haidar. Tak butuh waktu lama, sekitar satu jam mereka sudah sampai di Bandara Soekarno Hatta. Akhirnya, mobil jemputan keluarga Haidar, mobil Pajero hitam, menjemput Alya dan mamanya. Menuju istana Haidar. Bogor.
Tak lama, Mobil Pajero itu memasuki kawasan rumah elit Haidar, yaitu halaman dengan luas satu hektar. Zul terpana. Dia pikir dia sedang memasuki lapangan terbang lain. Mulutnya tak terkatup. Takjub.
"Sudah sampai... ayok turun Al..."Ajak Nyonya Haidar melihat putrinya, masih tertegun di tempat duduknya.
"Oh... ii... iya.."
Zul keluar rumah, dan berjalan di belakang Ibu Anandhi. Dengan menggunakan pemindai sidik jari Nyonya Haidar, pintu utama tiba-tiba terbuka, kedatangan mereka berdua disambut oleh deretan pelayan yang menggunakan seragam serupa berwarna hitam berenda putih. Menyambut. Dengan senyuman yang merekah.
Sekali lagi, Zul terpana. Memasuki ruangan ber-AC dan menginjakkan kakinya di atas lantai marmer berwarna krem muda tersebut merupakan hal yang baru pertama kali dia alami selama hidupnya. Matanya dua kali lagi, terpana melihat pemandangan di dalam istana. Lampu gantung yang menawan, lukisan kaligrafi dan foto permata dimana-mana, dinding berkaca, kursi sofa yang mewah, meja berkaca, guci guci besar dengan hiasan bunga-bunga kasturi dan sakura di pojok ruangan. Beh... benar-benar menakjubkan. Luas subhanallah. Bertingkat lima. Ya Allah, ini rumah apa mall yak...???
Dengan sigap, para pelayan langsung membawakan barang-barang bawaan Zul. Dan mengantarnya menuju lantai empat. Tempat kamar Alya bertengger.
"Lewat sini, non..."Ajak salah seorang pelayan mengarahkan Zul yang nampak kebingungan. Parah. Bingung di rumah sendiri. Pelayan tersebut menuju sebuah ruangan dengan banyak tombol di luarnya.
"Kita mau kemana?"Tanya Zul, polos.
"Kita akan ke kamar nyonya.... di atas..."Jawab pelayan itu lembut.
Pelayan tersebut, menekan tombol, tiba-tiba pintu terbuka. Sreetttt.....
"Weehh....What...? i...iinni... Lift? Ya Allah.. ini rumah apa hotel sih? Ada lift nya segala..."Zul tidak henti-hentinya berdecak kagum. Ia pun mengikuti saja, kemana pelayan itu mengantarnya. Sampai ketika mereka berada di depan sebuah pintu kamar.
"Silahkan nyonya, kalau ada apa-apa, tinggal pencet tombol di atas meja belajar anda seperti biasanya nyonya...mari..."Kata pelayan tersebut lalu berlalu. Penasaran, keajaiban apa lagi yang akan menyambutnya, Zul segera membuka pintu kamarnya.
Subhanallah, kembali, zul mengucapkan kalimat tasbih. Tak percaya atas apa yang ada di hadapannya. Kamar seluas aula di pondok Al-Amanah ini, adalah kamar pribadinya. Semua arsitektur begitu manis, semuanya berwarna merah muda. Sangat girly. Zul merebahkan tubuhnya di atas kasur spring bed. Ah... nikmatnya... Zul sangat senang. Senang luar biasa. Dia pun melompat kegirangan di atas kasur yang sangat lembut itu. Namun tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ya... Alya. Bagaimana kabar Alya? Apa Alya mukim di pondok? Apa dia liburan ke Bluto, tanah air Zul?
"Maafkan aku Alya..."Kata Zul lirih. Memikirkan nasib Alya dalam tubuh Zul.
Berbeda dengan apa yang difikirkan Zul, Alya ternyata tidak begitu mengenaskan. Kini Alya berada dalam satu mobil dengan Zain. Hello? Zain yang nyetir sendiri woy... Orang tuanya, KH. Abdullah mengirim mobil untuknya agar dia bisa pulang sendiri. Dan so pasti, Zain mengajak Zul. Karena letak rumah Zul yang di Bluto searah dengan rumah Zain, yaitu di Sumenep kota.
*Backsong
Diwana Hai ye men...
Kyu Pagal he darkhan...
he.. mujhse mujhe pyaar.... Ha... Ya hain...
Ye masaam kyu cuke... ye payal kyu bare..
Ye kesha hu maan... Ha.... Ya hain..
Begitu indah rasanya perjalanan bersama Zain. Alya tak henti-hentinya menatap Zain yang tengah mengenakan kaos putih dan outer berwarna coklat. Uh... keren abis.
Mobil Mercedes berwarna merah tersebut melewati jalanan kecil dengan pohon daun kelor yang tumbuh di sepanjang jalan kecamatan Bluto. Hingga pada akhirnya, mobil yang dikemudikan Zain, berhenti di depan sebuah rumah kumuh nan tua. Dan Alya tak menyadari itu.
"Sudah sampai...."Kata Zain lalu menatap Zul yang tampak tidak sadar, terus senyum-senyum ke arahnya.
"Hey,.. sudah sampai Zul..."
Alya terperanjat. Ia baru sadar. Terbangun dari dunia khayalannya. Dia pikir dia sedang berada di situasi perjalanan dalam mobil seperti kisah Salman Khan sebagai Raj dan Rani Mukherjee sebagai Pooja saat berlibur ke Swiss dalam film Chori chori chupke chupke.
"Oh... sudah sampai.."Kata Alya lalu membuang muka ke arah rumah yang berada di luar mobil.
"Iii...ni ..??? Disini...?"Tanya Alya tak percaya.
Zain mengangguk.
"Nanti kalau ada apa-apa call ok...!"Kata Zain.
Alya mengangguk. Berat. Ia pun turun. Dan akhirnya menatap mobil Zain yang lama kelamaan menjauh meninggalkan dia sebatang kara. Alya berbalik. Di hadapanannya kini bertengger bangunan kecil, tua nan kumuh. Tak terawat pula. Di sebelah rumahnya terdapat bangunan serupa namu agak lebih bersih dan berpenghuni.
"Ini rumah apa rumah hantu yaa...? sepertinya angker..."Dengus Alya. Bergidik. Ngeri.
Pelan, ia berjalan menuju pintu rumah. Lantai rumah tersebut sangat kotor. Tak pernah disapu. Kotoran ayam dimana-mana. Alya meringis jijik. Ia mulai mencoba membuka pintu, namun ternyata terkunci. Tiba-tiba, Alya merasakan kehangatan, telapak tangan nan hangat menyentuh bahunya. Alya tak bernafas, ketakutan. Ia pun berteriak. Kaget.
"Aaaa...."
Ia berbalik, ternyata seorang ibu-ibu tua memakai daster berada di hadapannya. Rambutnya sudah beruban. Kulitnya keriput. Sudah tua pokoknya.
"Nak Zul... ka...kamu sudah pulang... i..ini kunci rumahmu..."Kata nenek tua lalu menyerahkan sebuah kunci. Kemudian nenek itu berlalu meninggalkan Alya.
Sembari mengelus dadanya, efek kaget, Alya memasuki rumah kecil itu.
"Ugghh ...ughkk..."
Karena debu dimana-mana Alya batuk. Debunya terlalu tebal. Di bagian utama ruangan, tidak ada apa-apa, hanya tikar rotan yang sudah rapuh. Kemudian ia berjalan menuju sebuah lemari yang menjadi batas antara ruang utama dan kedua. Di ruang kedua, ada seperti meja makan dengan hanya dua kursi kayu. Lalu dia mulai membuka sebuah ruangan yang ditutupi korden berdebu. Nah, yang ini pasti kamar. Ia benar. Ini sebuah kamar. Di dalam kamar, ada sebuah lemari baju kecil, laci buku dan sebuah kasur lipat. Sangatt berdebu.
Alya menghela nafas. Betapa miskinnya si Zul ini... tak mau banyak mengeluh dan meratapi nasib, Alya mulai tergerak untuk membersihkan sudut sudut rumah. Ia mulai mengambil kemucing yang terdapat di atas lemari, lalu mulai membersihkan debu-debu. Tiba-tiba, kakinya tergerak untuk menuju sebuah figora besar yang sengaja ditutupi kain. Alya menarik kain tersebut. dan menatap nanar sebuah foto yang terpejeng di figora tersebut. Alya terpelanting. Ia terjatuh. Nafasnya tak beraturan.
"Tidak mungkin.... tidak mungkin....."Kata Alya ketakutan lalu berlari keluar rumah.
Alya menangis, ia gemetar. Bingung. Mulutnya terus komat kamit melafalkan, "Tidak mungkin... tidak mungkin..." ia pun pingsan.
2 jam kemudian.
Pelan. Mata Alya terbuka. Ditatapnya nenek tua yang ada dihadapannya. Sedang duduk disisinya.
"Ka...kamu sudah sadar nak Zul...?"
Alya memaksa duduk. Dan mengangguk.
Tiba-tiba nenek itu mulai bersenandung.
"Janedel main kabse hai tu... Jabse me hoon tab se hai tu... mujhko mere rab ki kasam... ya rarap se pehle hain tu.... Ibumu sudah meninggal... kamu pasti teringat ibumu ya nak...?"
Alya menelan ludah. Jadi foto yang dia lihat tadi, adalah ibu Zul???
"Malang nian nasibmu Zul, padahal ibumu adalah hartamu satu-satunya... entah siapa yang telah tega menabrak ibumu dan tak bertanggung jawab atas kematiannya waktu ibumu bekerja di Bogor..."
Cetttarrrrr..... bagaikan disambar petir. Wajah Alya memucat. Kepalanya tiba-tiba pening. Otaknya kini memutar memori beberapa tahun yang lalu. Kejadian kelam di malam itu.
"Apa...??? ja..jadi .. akulah yang menyebabkan kematian Ibunya Zul... aku pembunuh...?"Kata Alya lirih. Lalu bulir bulir air matanya pun menetes. Merasa bersalah. Menyesal. Betapa hinanya dirinya, tega memisahkan hubungan antara ibu dan anak. Betapa jahatnya dia, tidak bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan saat itu. Oh tidak... sungguh Alya sudah tidak kuat akhirnya dia memilih untuk kembali ke pondok dan mukim disana.
Bersambung.....

TAKDIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang