Bagian 2

2.7K 80 0
                                    

Aku kembali ke tempat kerjaku dengan rasa kesal yang sudah mencapai ubun-ubun. Sepanjang jalan aku menghentakkan kaki dengan kesal ke lantai dengan bibir terus menggerutu.

"Nyebelin banget, sih, tuh orang! Kesel! Kesel! Kesel!"

Aku meninju udara membayangkan dihadapanku ada sosok Dion yang ingin sekali aku beri bogeman keras. Teman-teman kantorku menatap heran dan aku tidak memperdulikannya.

"Mau latihan tinju, Ney?"

Aku menoleh ke empu suara. Annes, sahabatku yang modis ini menatapku dengan alis terangkat. Suara high heelsnya terdengar nyaring mendekati meja kerjanya yang ada di samping meja kerjaku.

"Kenapa lagi? Berantem sama Dion?" tebak Annes tepat sasaran. Jemari lentiknya menyisir rambut pirang bergelombangnya. Annes memang tahu masalahku dengan Dion.

Aku menghempaskan tubuh ke kursi kerjaku. Rasanya lelah sekali menghadapi spesies lelaki menyebalkan seperti Dion.

Kepalaku mengangguk menjawab pertanyaan Annes. Gadis modis itu menghela napas. Sudah biasa dia melihatku marah tidak jelas hanya karena seorang Prasetyo Dion Purnomo.

"Kalian tuh ya, udah kayak kucing sama tikus, kerjaannya beranteeem terus. Lama-lama jodoh lho kalian berdua," celetuk Annes sembari mamasang headphones yang berfungsi mendengarkan aktivitas yang sedang mengudara, ke telinga dan siap untuk memulai siaran siang hari ini.

Aku mendelik kesal kepada Annes. Jangan sampai Dion itu jodohku, ya Tuhan.. Aku dan Annes memang bekerja di salah satu stasiun radio di Jakarta. Tadi pagi aku sudah siaran dan siang ini giliran Annes. Aku membantunya menyusun playlist lagu yang akan disajikan untuk pendengar setia kami.

"Nes, lo percaya nggak kalau Dion baru aja ngelamar gue?" tanyaku pelan.

Annes yang sibuk menyiapkan keperluan siarannya, mengernyitkan dahi. "Apa?! Ngelamar lo?" Kagetnya.

Aku mengangguk. "Iya, Nes. Udah nggak waras 'kan dia? Masa ngelamar gue yang natobenya musuh dia sendiri." Aku kembali berdecak sebal mengingat lamaran Dion tadi.

"Trus, lo terima lamarannya?" tanya Annes antusias. Bahkan gadis itu memalingkan wajahnya dari layar komputer yang menyala.

Aku menggeleng kuat. "Enggaklah! Dia musuh gue. Mana mau gue nikah sama dia," jawabku ketus.

Annes mendorong keningku dengan telunjuknya, membuat kepalaku terhanyung kebelakang. "Harusnya lo terima aja, Ney," ucap Annes berdecak. Aku mengernyit bingung. "Lumayan 'kan kalo lo jadi istri Dion. Dia ganteng, tajir melipir, tipe-tipe imamable pokoknya." Lanjutnya heboh.

Kini giliran aku yang mendorong keningnya dengan telunjukku. Membuat Annes mengaduh lebay. "Mau dia ganteng kayak raja Arab kek, tajir melipir kek, gue tetap nggak mau jadi istrinya! Dia musuh gue. Dan gue nggak mau nikah sama orang yang gue benci!"

Annes berdecak. "Hati-hati sama rasa benci, Ney. Nanti lo kena karma malah jadi cinta sama Dion," ucapnya terkekeh geli dan kembali menekuni pekerjaannya.

"Nggak akan!" sahutku asal. Walau sebenarnya aku rada takut terkena karma karena terlalu membenci Dion. Tapi gimana aku tidak membencinya, dia selalu mengganggu hidupku.

Aku hanya berharap semoga Tuhan menjauhkanku dari karma mengerikan itu.

Bersambung...

MUSUH TAPI MENIKAH (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang