"Lo kenapa, sih, Ney? Gelisah amat dari tadi."
Annes mengangkat sebelah alisnya melihatku yang tampak gelisah menelepon seseorang. Siapa lagi yang membuatku gelisah seperti ini kalau bukan Dion? Lelaki itu sudah tiga hari ini menghilang tanpa kabar. Telepon dan pesan singkatku sama sekali diabaikannya.
Aku berdecak kesal dan melempar asal ponsel ke atas meja teras. Saat ini kami berada di teras depan rumahku. Karena hari ini hari libur, Annes datang ke rumah untuk menghiburku yang selama tiga hari ini terlihat uring-uringan.
"Dion masih belum bisa dihubungi?" tanya Annes penasaran. Aku memang sudah memberitahu Annes tentang Dion yang menghilang beberapa hari ini.
Anggukkan kepalaku menjawab pertanyaan Annes. Kemana sebenarnya lelaki itu? Masa iya tidak ada sinyal sampai berhari-hari?
"Bukannya bagus ya? Jadi lo enggak ada yang gangguin. Lo pernah bilang kalau Dion itu penganggu dan lo mau dia hilang dari muka bumi ini 'kan?"
Apa yang dikatakan Annes memang benar. Tapi saat ini justru aku berharap Dion berada disisiku. Entah kenapa aku merasa ada yang hilang. Aku kehilangan Dion yang setiap harinya menjahiliku hingga setiap kami bertemu selalu terjadi pertikaian kecil. Sebenarnya aku sedikit malu mengakuinya, jika saat ini aku mulai merindukan sosok Dion.
Dion belum pernah menghilang tanpa kabar seperti ini. Biasanya lelaki itu selalu muncul dihadapanku setiap hari. Walau ke hadiran Dion selalu membuat aku jengkel dan kesal. Tapi tanpa bisa aku pungkiri, aku sudah terbiasa dengan hadirnya Dion dalam hidupku.
"Apa jangan-jangan lo merasa kehilangan? Kalau iya, berarti lo sudah kena karma karena terlalu benci sama dia," oceh Annes tertawa mengejekku.
Aku mendelik kesal kepada Annes. Tissu yang aku buat gumpalan, dengan keras mendarat di wajah sahabat cerewetku ini.
Annes mengaduh, lebay. "Kok lo ngelemparin gue pakai tissu, sih? Ngeselin banget!" Annes merenggut kesal.
"Lo juga ngeselin! Dari tadi ngoceh mulu," gerutuku tidak kalah kesal.
Annes mencurutkan bibirnya dan mengerutu tidak jelas. Aku kembali mengotak-atik ponsel, tanpa memperdulikan Annes yang tengah menggerutu.
"Ney, lihat siapa yang ada di belakang lo! Ney? Neysa!" Annes kembali mengoceh setelah beberapa menit terjadi keheningan di antara kami.
"Enggak usah nakut-nakutin gue, Nes. Lo pasti mau bilang di belakang gue ada setan 'kan?" ucapku santai, masih memainkan ponsel.
Annes memang sering menakut-nakutiku seperti itu.
"Jadi lo anggap gue setan, Ney? Gue 'kan calon suami lo."
Suara seseorang yang aku tunggu kabarnya masuk kedalam indera pendengaranku. Buru-buru aku menoleh ke asal suara. Benar, Dion berdiri tepat tiga langkah dibelakangku dengan kedua tangan masuk kedalam saku jeansnya.
Mataku membola. Yang ada dibelakangku ini Dion 'kan? Astaga! Kenapa dia terlihat semakin tampan? Kemana saja aku selama ini? Mengapa aku baru menyadari jika Dion memang sangat tampan, apa lagi saat menggunakan pakaian santai seperti ini.
Tanpa aku sadari kedua sudut bibirku terangkat menampilkan senyuman. Dion membalas senyumku. Senyuman yang cukup menawan walau tanpa ada lesung pipit seperti Deo.
Aku beranjak dari duduk dan melangkah mendekati Dion. Manik mataku menelusuri setiap ruas wajah tampannya. Lelaki ini yang membuat hidupku uring-uringan selama tiga hari ini.
Mengingat hal itu, senyumku lenyap. Yang tinggal hanya kekesalan karena Dion, aku menjalani tiga hariku menjadi tidak tenang.
Dion mengernyit bingung melihat senyumku lenyap secepat kilat. Aku menarik tangannya menuju gerbang dan mendorong tubuh tegap Dion keluar gerbang.
KAMU SEDANG MEMBACA
MUSUH TAPI MENIKAH (End)
Short Story"Katanya benci, tapi akhirnya cinta. katanya musuh, tapi akhirnya menikah. dasar aneh tapi nyata." "Diam aja yang jomblo." Ini kisah ku bersama Prasetyo Dion Prunomo, si musuh yang membuatku perlahan mencintainya.. ** Gambar Cover boleh ambil dari...