Bagian 3

2.2K 77 0
                                    

Selama seminggu ini, aku merasa apa yang ku ucapkan selalu bertolak belakang dengan apa yang aku lakukan. Aku selalu mengatakan tidak ingin menikah dengan Dion. Tapi, aku selalu menurut saat Dion menarikku ke sebuah butik untuk fitting baju penikahan dan ke Wedding organizer untuk mengurus segala keperluan pernikahan. Ada apa dengan diriku?

Dion juga sudah melamarku secara resmi kepada ibu, karena ayah sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Keluargaku menerima dan memberi restu kepada Dion, tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu. Awalnya aku kesal. Tapi lama kelamaan aku seakan menurut saja. Tidak ada perlawanan, padahal aku ingin memberontak.

Hari ini Dion mengabariku, sepulang siaran nanti aku disuruh menemuinya di sebuah toko perhiasan untuk memilih cincin pernikahan. Dan lagi, aku menurut dan mengiyakan permintaannya.

Suara dering ponsel menyadarkanku dari lamunan. Nama Dion tertera di layar ponsel sebagai pemanggil.

"Ney, lo udah selesai siaran?" Suara Dion terdengar dari sebrang telepon.

"Hm." Aku bergumam tidak jelas.

"Bentar lagi ojek online jemput lo di depan kantor, ya. Tadi sudah gue pesenin," beritahunya.

Keningku mengernyit. Ojek Online? Dion 'kan orang kaya, masa pesan taxi online aja tidak mampu?

"Pelit banget sih lo!" omelku.

"Maksudnya?"

"Lo pelit! Masa pesenin ojek online, katanya lo orang kaya. Pesenin taxi online kek! Sama calon istri aja pelit banget," gerutuku kesal.

"Coba ulangi kalimat terakhir lo, Ney," pintanya.

"Sama calon istri aja pelit banget," ucapku menuruti. Tuh 'kan aku menurut permintaan Dion lagi.

Dari sebrang telepon sana aku mendengar kekehan gelinya. "Makasih, Ney."

Lagi, aku mengernyit bingung. "Makasih buat apa?"

"Makasih sudah mengakui kalo lo calon istri gue," jawab Dion masih menyisakan kekehannya.

Seakan tersadar, aku mengetup bibir, rapat dan mataku membelalak. Astaga! Tadi aku ngomong apa sih? Buru-buru aku mematikan sambungan telepon. Aku malu. Sungguh.

Aku membenamkan wajah, di atas meja kerja. Jangan tanyakan, seberapa merah wajahku saat ini. Aku yakin, saat ini Dion pasti sangat senang mendengar pengakuanku barusan.

Setelah lima belas menit meredakan rasa malu dan rona merah, aku bergegas turun ke bawah. Mungkin saja, ojek online yang dipesan Dion, sudah sampai.

Sepatu kets putih saling bergesekan dengan lantai, mengiringi langkah kakiku. Setiba di depan gedung kantor, aku mengedarkan pandangan mencari si abang ojek online. Dua puluh menit lagi aku harus sampai di toko perhiasan. Itulah kira-kira sederet isi pesan dari Dion yang baru saja dikirim lelaki itu kepadaku.

"Neysa?"

Aku menoleh ke asal suara. Sekitar dua meter dari tempatku, lelaki dengan motor sport dan helm full face masih menutupi wajahnya, melambaikan tangan kearahku.

Keningku mengernyit. Apa itu abang ojek online yang di pesan Dion? Keren juga ya. Pikirku terkikik geli. Aku melangkah mendekati lelaki itu dengan senyuman mengembang. Baru saja aku membuka mulut ingin bertanya, lelaki itu terlebih dahulu membuka helm full facenya.

Seketika mataku membeliak melihat siapa lelaki di balik helm tersebut. Dia tersenyum kepadaku. Senyuman yang sama seperti beberapa tahun yang lalu.

"K---kak, Deo?"

Bersambung...

MUSUH TAPI MENIKAH (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang