Bagian 4

2.2K 76 0
                                    

Manik mataku betah berlama-lama memandang sosok tampan yang berhadapan denganku saat ini. Senyumku terus mengembang layaknya diberi baking powder. Bahkan aku sampai melupakan Dion, apakah dia menungguku di toko perhiasan atau tidak. Aku tidak begitu memperdulikannya. Yang jelas saat ini aku lebih mementingkan Deo dari pada Dion.

Yah, Deo Febrian. Dia cinta pertamaku. Aku menyukai keramahan dan kehangatannya. Dia sosok yang sangat aku kagumi, juga dikagumi oleh siswi-siswi saat sekolah dulu. Pesona Deo memang begitu memikat. Dion lah yang bisa menandingi pesona Deo. Mereka memang bersepupu, makanya tidak heran mereka menjadi incaran.

Deo orang yang bersahabat, dulu aku sering berusaha mendekatinya. Namun, Dion selalu berhasil membuat pdkt ku dengan Deo berantakan. Lelaki yang sudah aku cap sebagai musuh itu, selalu menjelek-jelekanku di hadapan Deo. Entah dia mengatakan aku ini tukang kentutlah, tukang ngilerlah, suka ngorok kalau tidur. Padahal semua itu tidak benar. Kejengkelanku semakin bertambah melihat kejahilan Dion. Dion juga pernah menghilangkan kalung liontin pemberian ayah yang sangat berarti bagiku. Mulai dari situ aku membenci dan mengecapnya sebagai musuh. Untung saja saat itu Deo bisa menemukan kalung liontinku.

"Kamu apa kabar?"

Pertanyaan Deo masuk kedalam indera pendengaran, membuat aku tersadar dari lamunan. Saat ini kami berada di angkiran yang terletak tidak jauh dari kantor.

"Alhamdulillah baik. Kakak apa kabar?" tanyaku balik.

"Baik juga. Sudah lama rasanya kita enggak ketemu, ya."

Deo tersenyum dan aku pun membalasnya. Senyuman Deo tercetak jelas menampilkan lesung pipit di pipi kirinya membuat senyuman lelaki itu terlihat semakin manis. Lama-lama aku bisa diabetes melihatnya.

"Iya, kita sudah lama banget enggak ketemu. Kira-kira, Semenjak kakak lulus sekolah."

Deo satu tahun lebih tua dari ku dan Dion. Setelah lulus sekolah, Deo melanjutkan kuliah di Kota apel, Malang.

Lagi, Deo tersenyum menampilkan lesung pipit. Aku melihat Deo merogoh sesuatu dari dalam saku celana jeansnya.

Dulu, saat kalungku hilang, aku sempat berjanji akan memberikan satu dari dua kalungku yang hilang kepada seseorang yang menemukannya. Dan Deo lah seseorang itu. Aku juga berharap Deo yang menjadi jodohku nanti.

Kini kalung itu berada di tangan Deo, membuat sudut bibirku terangkat. Setidaknya dia masih menyimpan kalung pemberianku.

Deo menghela napas, pelan. "Sebenarnya, aku ke sini mau kembalikan kalung ini, Ney," ucapnya pelan, menaruh kalung silver ke telapak tanganku.

Aku menatapnya bingung. "Kenapa dikembalikan? Kalung ini sudah jadi milik kakak, karena kakak sudah membantu aku menemukannya."

"Bukan aku yang menemukan kalung ini," ucap Deo pelan menatapku dengan tatapan bersalah.

Kalau bukan Deo yang menemukannya, lalu siapa? Aku ingat betul saat itu aku menitipkan kalung kepada Deo dan di situ ada Dion. Saat kalungku hilang, hanya ada Deo dan Dion di tempat hilangnya kalung itu. Apa jangan-jangan....

"Dion yang menemukan kalung kamu," jawab Deo seakan tahu apa yang aku pikirkan. "Dan aku yang menghilangkannya." Lanjut Deo menunduk, merasa bersalah.

Aku menganga tidak percaya. Kenapa harus Dion?

"Dion bilang kamu akan marah besar jika tahu siapa yang menghilangkan kalung itu. Awalnya aku mau mengakui kesalahanku yang yang telah menghilangkan kalung kamu. Tapi, Dion melarangku," jelas Deo. Aku semakin menggeleng tidak percaya. "Dion yang menemukan kalung itu. Tapi dia malah menyuruhku mengatakan jika aku yang menemukannya. Maaf Ney, aku baru jujur sekarang. Kamu boleh marah sama aku, tapi tolong jangan benci Dion. Dia enggak bersalah." Deo mengenggam tanganku, erat. Seakan memohon kepadaku.

Jadi selama ini aku memusuhi seseorang yang telah menemukan kalungku? Kalung liontin itu memang sangat berarti bagiku. Dulu ayah pernah berpesan kepadaku untuk menjaga kalung pemberiannya dan memberi salah satu kalung itu kepada lelaki yang bisa menjagaku selayaknya seperti ayah menjagaku. Mengapa Dion tidak mengatakan yang sebenarnnya? Mengapa pula dia berpura-pura menghilangkan kalungku, hingga membuatku membenci dan mengecapnya sebagai musuh?

Aku masih terdiam, menerka-nerka apa alasan Dion berbohong kepadaku.

Bersambung....

MUSUH TAPI MENIKAH (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang