Jeno menatap lekat badan mungil yang sedang terlelap dihadapannya, tatapannya berubah menjadi sendu.
"Kenapa aku begitu membencimu?"
Matanya memanas, tanda air mata akan mengalir dipipinya.
"Kenapa kau harus menjadi alasan kematian orang yang kucintai?"
Jeno meremas ujung bajunya. Hidupnya terasa kosong, ingin rasanya ia menyusul seseorang ke atas sana. Iya, menyusul orang yang dicintainya.
Na Jaemin.
Lelaki manis yang telah mengisi hari hari Jeno selama beberapa tahun yang lalu, sebelum akhirnya Tuhan merenggut lelaki manis itu dari Jeno.
Jaemin meninggal setelah melahirkan putranya, Lee Renjun.
"Jaemin! Jaemin! Sayang, bangun, sayang, tidak, tidak mungkin!"
"Tuan Lee mohon bersabar, ini sudah kehendak Tuhan."
"Tidak, Jaemin! Jaem! Jaemin! Na Jaemin!"
Kematian Jaemin membuat Jeno membenci Renjun.
"Jeno, jangan larut dalam kesedihan. Putramu membutuhkanmu."
"Tidak, bu. Dia bukan anakku, dia seorang pembunuh!"
"Bayi ini tidak berdosa, Jeno!"
Namun akhirnya Jeno tetap merawat Renjun, meskipun Renjun tidak sepenuhnya merasakan kasih sayang Jeno.
"Daddy, aku mau belmain. Aku kesepian."
"Daddy, daddy, apa daddy mendengalkanku?"
"Mommy, daddy tidak sayang Injun."
Bohong, Jeno selalu menangis ketika Renjun mengadu pada Jaemin. Andai, Jaemin masih hidup mungkin mereka akan menjadi keluarga yang bahagia.
"Apakah aku bisa menyayangimu layaknya seorang ayah? Katakan, apa aku bisa?"
Jeno sudah menangis, mengebrakkan meja dengan pelan.
"Jaemin, katakan apa aku bisa, hah!"
Lelaki tampan itu mengacak acak rambutnya, ia frustasi. Sudah 5 tahun dia seperti ini, bayang bayang Jaemin masih ada dipikirannya. Ia sangat mencintai lelaki manis itu. Hingga sulit untuk melupakannya.
"Daddy, kenapa menangis?"
Renjun baru saja bangun, ia terkejut ketika melihat ayahnya yang duduk dihadapannya sambil menangis.
"Daddy, ingat mommy?"
Jeno terdiam. Sementara Renjun memeluk tubuhnya dengan erat, ini pertama kali Renjun memeluk Jeno. Pria Lee itu selalu enggan dipeluk oleh Renjun, yang merupakan darah dagingnya sendiri.
"Injun gamau liat daddy sedih."
Ah, siapa yang tidak meleleh diperlakukan seperti itu?
"Injun sayang daddy Jeno!"
"Aku senang melihat kalian seperti ini."
Sebuah suara mengejutkan mereka, mata Jeno sudah membulat sempurna. Ia tidak bisa percaya, dihadapannya berdiri seorang Na Jaemin dengan pakaian serba putih.
"Mommy? Ini benelan mommy?"
Jaemin tersenyum dan merentangkan tangannya, Renjun menghambur ke pelukan Jaemin. Ah, dia sangat senang bertemu dengan ibunya.
"Mommy, Injun kangen mommy."
"Mommy juga sangat merindukan Injun,"
"Mommy akan tetap disini belsama daddy dan Injun, kan?"
Senyum manis Jaemin berubah sendu, tangannya mengelus lembut surai hitam Renjun.
"Mommy akan melihatmu diatas sana,"
"Injun boleh ikut?"
"Tidak, tempat Injun disini bukan ditempat mommy."
Renjun mendecak sebal, tangannya masih enggan melepaskan pelukannya pada Jaemin. Lalu iris hitam legam Jaemin beralih kepada Jeno, kakinya membawa lelaki manis itu duduk disamping suaminya masih dengan Renjun dipelukan tangan kirinya.
"Jeno, tolong sayangi putra kita. Jangan buat dia menangis, berikan dia kasih sayangmu. Jangan salahkan Renjun terus menerus, dia tidak bersalah."
Air mata Jaemin tetes demi tetes jatuh dari pelupuk matanya.
"Kau bisa melakukan itu untukku, kan?"
Jeno terdiam lalu sedetik kemudian dia ikut memeluk Jaemin, aroma tubuh Jaemin yang masih sama. Ia sangat merindukan lelaki manis ini.
"Kalian harus akur. Renjun, jangan bantah perintah perintah ayahmu, baik? Dengarkan perkataannya, tidak boleh melawan, belajar terus agar dapat ranking pertama disekolah. Dan kau Jeno, aku hanya minta satu. Sayangilah Renjun, dia putra kita. Dia tidak bersalah, buat dia bahagia. Aku sayang kalian berdua."
Setelah mengatakan itu, tubuh Jaemin semakin menipis dan hilang. Renjun menghapus air matanya, lalu tersenyum. Ia tidak ingin membuat Jaemin merasa sedih, sementara Jeno, lelaki itu masih tidak bergeming. Apakah ini sudah saatnya? Menerima dan menyayangi Renjun sebagai putranya? Atau membuat Jaemin kecewa diatas sana?
To Be Continue...
