Halte Bus

102 11 0
                                    

"Twinkle twinkle little star,
How I wonder what you are,
Up above the world so high,
Like a mommy in the sky."

Begitulah setelah sepulang sekolah, bersenandung sambil jalan kaki menuju halte bus. Seharusnya Renjun dijemput Jeno, namun pria Lee tersebut sedang sibuk dikantornya.

Renjun duduk dibangku kayu yang tersedia di halte, lumayan ramai. Ada ibu ibu, bapak bapak, anak sekolah menengah dan lansia.

"Tidak ada teman ngoblol, huh, ichung dijemput paman malk."

Bahu sempit Renjun merosot, rasanya sepi sekali. Ah, bukankah ini sudah biasa untuk Renjun?

"Lain kali aku nunggu bus di dekat sekolah aja."

Satu persatu dari mereka mulai menaiki bus dengan tujuan yang berbeda beda, hanya tersisa Renjun sendiri. Bus tujuannya belum datang, membuat anak itu berdecak kesal.

"Ih, lama banget!"

Sudah setengah jam, namun busnya belum datang juga.

"Kemana sih busnya!"

Kalau tau begini, Renjun lebih baik menunggu halte bus yang dekat sekolahnya saja. Karna disana bus yang melewati rumahnya mudah dicari. Atau tidak menerima tumpangan Ayah Jisung.

"Ish, aku haus kan."

Renjun mengambil botol minumnya, tapi ternyata sudah habis. Ada sedikit uang disaku celananya, mungkin cukup untuk membeli satu botol air mineral.

"Nah! Ada supelmalket!"

Mata Renjun berbinar binar ketika melihat supermarket disebrang sana, dan sekarang masalahnya adalah jalanan yang ramai. Sulit sekali, mobil dan motor melaju begitu cepat. Sementara disana Renjun sendirian.

Kepalanya celingak celinguk ke kanan dan kiri, setelah merasa benar benar aman kakinya dengan hati hati melangkah. Namun baru 15 langkah, sebuah truk besar dari arah kanan mengagetkan Renjun. Dan..

PRANGGGG!

Gelas yang dipegang Jeno terjatuh begitu saja dari tangannya, licin.

"Sajangnim, ada apa?"

Sekretarisnya masuk begitu mendengar suara gaduh dari ruangan bosnya, dan terkejut ketika melihat kepingan gelas yang berserakan dilantai.

"Apa sajangnim baik baik saja?"

"Ah, ya."

Jeno mendudukan tubuhnya ke kursi kerjanya, hatinya menjadi tidak karuan. Seperti sesuatu yang buruk sedang terjadi.

"Saya akan memanggil pelayan untuk membersihkan ini semua, permisi."

Jeno mengangguk lalu mengambil ponselnya, menekan beberapa nomor.

"..."

"Apa Lee Renjun sudah pulang?"

"..."

"Ah, baiklah. Terimakasih."

Tut. Sambungan terputus, namun hatinya belum juga tenang. Ia menghawatirkan Renjun, ia takut terjadi sesuatu kepada anak semata wayangnya.

Dengan langkah cepat ia keluar dari gedung Lee Corp, menancap gas menuju rumahnya. Ia harus memastikan kalau Renjun sudah berada dirumah.

"RENJUN! LEE RENJUN!"

Teriakan Jeno menggema dimana mana, tapi yang dipanggil belum juga muncul.

"RENJUN! KAU SUDAH PULANG?"

Jeno mengelilingi seluruh rumah, hingga yang terakhir adalah halaman belakang. Disana terdapat lukisan yang dibuat 2 hari yang lalu oleh dirinya dan Renjun, air matanya sudah tak terbendung. Ia harus menemukan anak itu, harus.

"Ada yang kecelakaan disini, tadi."

"Ini, tas korban. Masih kanak kanak, malang sekali."

Jeno mendengarkan racauan racauan tidak jelas itu sepanjang jalan, sepertinya telah terjadi kecelakaan disini. Jeno meringis ketika melihat darah yang berceceran dijalan, ah apakah kecelakaannya sesadis itu?

"Dimana kau, Renjun."

"Ah, aku tidak bisa membayangkannya."

"Uh, anak itu kasihan sekali."

Perasaan Jeno semakin tidak karuan setelah mendengar ucapan ucapan dari pejalan kaki yang melewati mobilnya, matanya berhenti ketika melihat tas bergambar moomin percis seperti milik Renjun.

"Hei! Maaf, boleh aku melihat tas itu? Itu seperti milik putraku."

"Oh, silahkan tuan. Itu milik korban kecelakaan tadi, sangat mengerikan. Tubuhnya terlempar, ah tidak, aku merinding kalau mengingatnya lagi."

Jeno membuka tasnya, dan, benar itu milik Renjun. Ia sangat hafal dengan sampul buku dan kotak bekalnya, kakinya lemas. Jantungnya seakan akan berhenti berdetak.

"Kau tau rumah sakit yang membawa korban kecelakaan tadi?"

"Setauku, di Asan Medical Center."

Tanpa ba bi bu, Jeno langsung melajukan mobilnya ke rumah sakit Asan Medical dengan kecepatan yang sangat tinggi. Tidak peduli dengan protes protes yang disampaikan pengendara lain kepadanya, yang terpenting ia bisa tepat waktu menemui Renjun.

"Dengar, apa disini ada pasien korban kecelakaan? Anak kecil, berusia sekitar 5 tahunan. Memakai seragam sekolah."

"Ada, di ruang operasi, sedang ditangani dokter."

"Terimakasih,"

Suster menatap Jeno dengan tatapan heran, dan segera melanjutkan tugasnya kembali yang tadi sempat terganggu.

Jeno menelan ludahnya, ia berdiri tepat dipintu ruangan operasi. Ia tidak terlalu yakin itu Renjun sebenarnya, namun hatinya mengatakan agar tetap menunggu disini.

6 Jam Kemudian...

Ini sudah malam, tapi pintunya belum juga terbuka.

"Maaf, dengan keluarga pasien?"

Teng! Akhirnya, dokter keluar dari ruangan dengan keringat yang membasahi seluruh tubuh. Jas putihnya kini berubah menjadi merah.

"Bagaimana keadaannya, dok?"

"Banyak luka sobek dibadannya, tulang keringnya patah. Menyebabkan lumpuh sementara."

"Boleh aku menemuinya?"

"Setelah dipindahkan ke ruang inap, tapi kondisinya masih kritis."

Jeno mengangguk dan menatap sendu kepergian dokter, ah bagaimana kalau itu benar Renjun?

"Maaf, Jaemin, maaf!"

Bagai disambar petir, itu benar benar Renjun. Putra semata wayangnya. Badannya seketika mati rasa, tangisnya memecah.

"Jaemin, m.. maaf, aku tidak bisa menjaga Renjun!"

Kenapa takdir begitu kejam? Kenapa tidak dirinya saja yang ditabrak? Kenapa harus Renjun anaknya? Apakah ini sebuah peringatan atau hukuman untuknya?

To Be Continue...

WholeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang