5 | I ran out, but boy, I like it

2.6K 148 5
                                    

Ain't got no tears in my body
I ran out, but boy, I like it

no tears left to cry, Ariana Grande

"Woah, Bro!" Neil meneliti perban pada kaki Agesa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Woah, Bro!" Neil meneliti perban pada kaki Agesa. "Parah lo! Kok bisa sampai jatuh dari motor? Untung kaki lo nggak sampai patah. Bisa nangis darah Adrian nyari pengganti lo," celetuk Neil yang mana langsung mendapat jitakan keras dari Adrian. "Woi! Why, Bro? Bener, kan?" Neil cemberut, membela diri.

Adrian memutar bola mata jemu, mengempaskan diri di samping Agesa. Tangannya terulur, mengalungi leher anggota timnya itu. Hal yang membuat Agesa langsung membeku di tempat. Tangan Adrian ... ada di lehernya. Hangat, kukuh, dan terasa melindungi.

Aish! Agesa menggeleng kecil, mengusir pemikiran itu dari kepalanya.

"It's okay, Sa!" Adrian merangkul Agesa akrab, tidak sadar kalau yang dirangkul hampir mati rasa karenanya. "Noah bisa gantiin lo buat sementara. Sementara ini, lo istirahat sampai lo ngerasa baikan. Oke?"

Agesa tersenyum kikuk, mengangguk kaku. Lagi-lagi, tim basket mendapat undangan untuk bertanding. Pertandingannya tidak terlalu besar, sih, tapi tetap saja Agesa merasa agak bersalah karena tidak bisa ikut bertanding untuk pertama kalinya. Saat meminta izin pada anggota yang lain kalau ia tidak akan ikut bermain pada pertandingan kali ini, semuanya maklum. Toh, andaikan Agesa memaksakan diri ikut berpartisipasi, anggota tim pasti menyuruhnya untuk menjauh dari lapangan basket. Bisa-bisa membuat repot yang lain nantinya, kata Neil yang mana langsung mendapat teguran dari Adrian. Agak menyinggung, tapi benar adanya. Sudah cukup Agesa membuat heboh anggota lain saat mereka bertanding di SMA Cendrawasih beberapa waktu lalu hanya karena maag Agesa kambuh di tengah pertandingan.

"Hei!" Adrian menowel bahu Agesa ketika anggota tim mulai bubar setelah Adrian mengatakan tidak ada lagi yang ingin ia sampaikan. "Gue boleh minta tolong?" tanya Adrian.

"Sure." Agesa mengangguk singkat, berusaha bersikap sesantai mungkin meski ia bisa merasakan kedua belah pipi mulai memanas. Semoga saja tidak rona merah di sana. Kalau pun ada, Agesa harap Adrian tidak menyadarinya. Fakta kalau hanya ada mereka berdua di ruang ekskul basket saat ini membuat Agesa tidak bisa mengendalikan lebih lama pikirannya yang mulai berkeliaran liar tentang Adrian.

"Bisa kasih ini ke Shahila?" Adrian merogoh sesuatu dari jas biru mudanya. Cokelat. Di tengah-tengah batang cokelat tersebut, ada pita berwarna putih dan sebuah kartu ucapan kecil yang entah apa isinya. "Ya, ya. Gue tau ini agak lebay. Maunya, sih, gue kasih sendiri. Tapi abis ini gue kudu ke tempat pendaftaran bareng Neil. Jadi, gue titip ke lo. Nggak apa-apa, kan?" Adrian tersenyum, menarik telapak tangan Agesa dan meletakkan cokelat tersebut di sana.

Agesa menggigit bibir bawahnya, merasa ada sesuatu yang bergejolak dalam dada. Sekilas, diliriknya cokelat yang dititipkan Adrian padanya. Cokelat kesukaannya. Namun, bukan untuk dirinya. Ah, kenapa pula ia berharap kalau Adrian salah sebut dan cokelat ini justru untuk Agesa? Jelas-jelas cowok itu bilang ini untuk Shahila, bukan untuknya: Agesa Nadrawinata.

Loving Unfairness [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang