Mesin Waktu | 3

629 76 7
                                    

"Kalian pernah pacaran ya?" Begitu tadi tanya Lulu, teman sekelas Divya yang akhirnya jadi teman baru gue di sekolah ini. 

Detik itu gue berani bersumpah kalau gue melihat Divya langsung salah tingkah. Ekspresi terkejut di wajahnya bisa dengan cepat ia ubah menjadi sedatar mungkin. Tapi gue kenal dia bahkan sejak sebelum kami bisa pipis sendiri di toilet. Salah tingkahnya barusan tidak bisa dia sembunyikan dari gue.

Mungkin dia teringat dulu, ketika dia naksir gue waktu kami masih kelas 1 SMP.

Iya, gue tahu soal itu. Jangan bilang-bilang Divya ya, tapi dulu gue pernah nggak sengaja membaca buku hariannya yang tergeletak terbuka di meja belajar. Waktu itu gua mau mengambil kaset album terbaru Travis punya gue yang dia pinjem.

"Di meja belajar, Kar. Ambil aja. Gue mau pipis dulu," ujar Divya waktu itu sambil ngeloyor pergi keluar kamar.

Yang gue temukan di atas meja belajar malam itu bukan hanya kaset The Invisible Band yang masih berantakan karena cover-nya terbuka dan isi kasetnya masih di dalam walkman, tapi juga sebuah diary berisi tulisan tangan Divya yang rapinya mirip ketikan komputer. Halaman yang terbuka bertuliskan tanggal kemarin. Dan apa yang dia tuliskan di buku itu pun masih gua ingat sampai hari ini, 

'Aku harus gimana ya? Aku sayang banget sama Akar. Tapi dia bulan depan mau pindah ke Seoul. Kalau dia pindah, aku pasti kangen.

Jangan bilang ke Akar kalau aku suka sama dia ya, diary. Aku takut nanti dia nggak mau temenan lagi sama aku.'

Waktu pertama kali baca tulisan itu, jujur gue bingung. Gue merasakan rasa takut kehilangan yang sama, tapi gue belum bisa mencerna bahwa perasaan yang gue rasakan itu ternyata punya nama lain. Baru setelah sampai di Seoul dan berada jauh dari Divya gua sadar bahwa ternyata gue juga sayang sama dia.

Awalnya gue pikir apa yang gue rasakan ini hanya sekedar rasa sayang sebagai teman, tidak lebih. Gue sudah terlalu lama mengenal Divya, dan karena usianya yang lebih muda 4 bulan dari gue, gue menganggapnya seperti adik gue sendiri. Tapi ternyata, semakin lama gue meninggalkan Jakarta, semakin gue mengerti bahwa ada rasa sayang dalam kategori lain yang gue punya untuk Divya. Rasa sayang yang melebihi hubungan adik dan kakak. Rasa sayang yang membuat gue cemburu ketika pada suatu hari gue menemukan akun Friendster-nya Divya dan melihat dia foto berdua dengan seorang cowok di sebuah acara yang tampak seperti acara graduation party SMP kami. 

Cowok itu melingkarkan tangannya di bahu Divya yang malam itu mengenakan terusan selutut tanpa lengan berwarna pink muda. Wajahnya manis dengan riasan sederhana. Rambutnya yang saat itu masih panjang ia biarkan tergerai dan hanya diberi bando berpita sebagai hiasan. Mereka berdua tersenyum lebar masing-masing sambil mengenakan slayer bertuliskan 'Best Couple'. 

Waktu itu masih musim panas di Seoul. Matahari masih baru akan terbenam pada pukul 7 malam. Tapi matahari di dunia gua seperti sudah menghilang sejak lama. Untuk pertama kalinya, ada rasa ingin memiliki dalam diri gua yang tergelitik. Dan pada momen itu gue baru menyadari bahwa gue sudah tidak lagi memandang Divya seperti seorang 'adik'. Di mata gue, dia sudah berubah menjadi seorang perempuan seutuhnya.

Makanya ketika gue tahu bahwa masa tugas Bapak di KBRI Seoul sudah selesai, gue bersikeras meminta supaya bisa pindah ke sekolahnya Divya di Jakarta hanya agar bisa ketemu dia lagi. Untung nilai-nilai gue selama di Seoul bisa disamaratakan di sekolah ini dan kebetulan sekolah ini juga masih menerima murid baru sehingga gue bisa masuk. 

Dan di sinilah gue sekarang, berusaha mengambil kembali kesempatan yang bertahun-tahun lalu gue lewatkan.

"Kar.." Lamunan gua terhenti karena suara Divya dan merasakan Divya beringsut tidak nyaman di dalam rangkulan gue, "Ini mau sampai kapan kayak begini?"

Mesin Waktu (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang