Mesin Waktu | 5

521 63 4
                                    

Sudah lebih dari sebulan gue kembali ke Jakarta. Awalnya memang butuh banyak penyesuaian. Selama di Seoul, gue adalah anak duta besar di KBRI. Sekolah di sekolah internasional, berteman dengan banyak anak-anak dari pejabat tinggi dan pengusaha lainnya, dan lebih daripada itu, kehidupan sehari-hari di Seoul juga jauh lebih nyaman daripada di Jakarta. 

Ketika pulang ke Indonesia, hampir semua privilege gue sebagai anak pejabat otomatis hilang. Walaupun Bapak masih punya jabatan di Kementerian Luar Negeri, tapi beliau sama sekali nggak mau memanjakan gue. Di Jakarta, gue hanyalah anak SMA biasa yang harus panas-panasan naik-turun bis kota tiap pulang sekolah. Anak SMA yang uang jajannya terbatas dan harus menabung jika mau beli sesuatu. 

Sebenernya waktu di Seoul juga begitu. Tapi entah kenapa semuanya jadi terasa 100 kali lebih berat saat di Jakarta. 

Satu-satunya hal yang membuat gue lebih bisa menikmati hari-hari gue di Jakarta adalah keberadaan Divya. Si kecil yang cerewetnya mengalahkan Ibu. Si bayi nggak bisa diem yang petakilannya bikin dia jadi mirip petasan banting. Kalau ada Divya, gue nggak pernah merasa kesepian. 

Well, sebenarnya bukan cuma Divya sih yang bikin gue betah di Jakarta. Kalau boleh jujur, sate padang dan pempek punya kasta yang lebih tinggi dibanding si anak bayi itu. Darah boleh Sunda-Jawa, tapi selera lidah - entah kenapa - Sumatera banget. Mungkin karena terlalu lama berteman dengan Divya yang setengah Minang. 

Ngomong-ngomong soal Divya, hari ini gue belum ketemu dia. Tadi pagi, Divya berangkat duluan diantar oleh ibunya karena dia ada latihan tambahan cheers. Mereka mau ikut lomba dan Divya terpilih jadi salah satu tim inti sehingga mau nggak mau harus ikut latihan ekstra. Selama jam istirahat, gue yang sibuk belajar di kelas karena ada kuis dan presentasi. Ketika pulang sekolah, Divya lagi-lagi latihan cheers sedangkan gue harus ke Senayan untuk latihan fisik ekskul pecinta alam. Hari ini kami berdua sibuk banget sehingga walaupun rumah berseberangan dan kelas sebelahan, kami sama sekali nggak bisa ketemu. 

"Jadi kangen..." Gue bergumam sendiri. 

Gitar yang tadinya gue peluk sambil genjreng-genjreng nggak jelas di kamar akhirnya gue turunkan sebentar untuk mencari handphone yang ternyata terselip di balik bantal. Setelah ketemu, gue lalu memutuskan untuk menghubungi Divya.

Calling Divya Bayi...

Dering pertama. Dering kedua. Dering ketiga. Namun telepon gue nggak kunjung diangkat. Gue lalu melirik ke arah jam di dinding kamar. Sudah jam 9 ternyata. Apa jangan-jangan dia kecapekan terus udah tidur ya?

Dering keempat. Dering kelima. Dan ketika gue sudah hampir menyerah, gue mendengar suara bantalnya Divya menjawab dari seberang. 

"Halo-" Suaranya terdengar berat dan lemas. Kayaknya Divya beneran sudah tidur.

"Div? Udah tidur ya?" 

"Hm?" Divya terdiam sebentar, "Akar ya?"

"Iya.. Lo udah tidur?"

"Ketiduran gue. Ini masih pakai seragam."

Gue tersenyum sendiri, membayangkan wajah lelah Divya yang berubah kesal karena tidurnya gue gangguin tapi masih harus bersih-bersih dulu sebelum dia bisa tidur lagi. Divya itu ratunya bersih-bersih. Kalau dia sampai bisa ketiduran tanpa ganti seragam dulu, dia pasti sudah sangat kelelahan.

"Ya udah, tidur lagi gih. Sorry ya gangguin."

Gue bisa mendengar Divya berdecak, "Ih, orang gila. Sendirinya nelepon tapi nggak ngomong apa-apa. Ada apaan sih?"

Suara Divya sudah terdengar lebih segar. 

"Nggak ada apa-apa. Pengen nelepon aja, kan hari ini kita nggak ketemu."

Mesin Waktu (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang