Mesin Waktu | 4

452 68 9
                                    

Akar punya satu nama panggilan khusus untukku.

Dulu, aku paling nggak suka kalau Akar sudah mulai menggunakan nama panggilan itu untuk memanggilku karena kesannya sangat kekanak-kanakan. Tapi ketika Akar pergi, lama-lama aku jadi kangen dengan nama panggilan darinya. Bagi orang lain, aku hanya 'Divya'. Namun di depan Akar, entah kenapa aku merasa lebih spesial. Karena untuk Akar, aku adalah si 'bayi'.

Panggilan itu muncul ketika kami masih SD, aku lupa antara kelas 5 atau kelas 6. Yang jelas, saat itu Akar belum lama kembali ke Jakarta dari Beijing. Dan karena rumah kami berseberangan, kami selalu pulang naik mobil jemputan yang sama dan selalu jadi yang paling terakhir diantarkan. 

Suatu hari, gantungan kunci Mickey Mouse kesukaanku putus karena tersangkut di pintu mobil jemputan. Gantungan kunci itu adalah salah satu dari sedikit barang pemberian Papa untukku sebelum kedua orang tuaku pisah rumah dan kemudian bercerai. Sepanjang jalan pulang ke rumah, aku mencoba menahan diri agar tidak menangis. Namun ketika yang tersisa di mobil hanya tinggal aku dan Akar, air mataku tidak bisa ku bendung lagi. 

Dengan wajah kebingungan, Akar yang duduk di sebelahku mencoba menghibur dengan mengutarakan lelucon-lelucon garing yang sayangnya nggak membantu sama sekali. Aku malah jadi semakin kesal dan akhirnya memilih untuk buang muka menghadap ke jendela mobil.

Dari sudut mataku, aku bisa melihat Akar kemudian sibuk melakukan sesuatu dengan tas ranselnya. Tidak lama, Akar menarik tanganku dan menaruh sesuatu di dalam telapak tanganku. 

"Ini apa, Kar?" Aku ingat aku bertanya dengan kebingungan saat melihat gantungan kunci Donatello dari Teenage Mutant Ninja Turtle yang teronggok di tangan. 

"Gantungan kunci."

"Iya, tahu. Tapi ini kan punya kamu." Aku melirik ke arah ranselnya Akar dan menemukan bahwa gantungan kunci Kura-Kura Ninja favoritnya sudah tidak lagi menggantung dari retsleting tasnya.

"Buat kamu." Akar menjawab tanpa menoleh. Ekspresi wajahnya datar, seperti ingin menunjukkan bahwa gestur ini tidak berarti apa-apa. 

Aku hanya menatap Akar dengan mata basah dan tidak menjawab. Tapi tangisku berhenti. 

"Nggak usah nangis. Kayak bayi."

Setelah itu, giliran Akar yang buang muka. Dan sepanjang perjalanan pulang dari sekolah sampai di rumah kami habiskan dengan saling diam. 

***

"BAYIIII...!!"

Sudah lama sekali aku nggak mendengar suara itu memanggil dari lantai bawah rumah ini. Dari kamarku di lantai 2, aku bisa merasakan senyumku mengembang. Dengan cepat aku menoleh ke arah pintu kamar, sambil berdebar-debar menanti Akar muncul dari balik pintu.

Ih.. apaan sih sok deg-degan. Nggak usah macem-macem deh, Div.

Aku menggelengkan kepala, berusaha menjauhkan diri dari perasaan-peraasaan aneh yang satu per satu berdatangan sejak aku tahu Akar sudah kembali lagi ke Jakarta sebulan lalu. 

"BAYIII..!!"

Suaranya mendekat, tanda bahwa dia sudah naik atas izin Bik Sum yang pasti sedang menonton sinetron Turki favoritnya di ruang TV. Aku bisa mendengar langkah kakinya berhenti di depan pintu kamarku yang tertutup. Sesaat ia terdiam dan membuatku bertanya-tanya, ngapain dia berdiri mematung di depan pintu seperti itu?

"Aneh banget." Aku menggeleng heran. Senyumku tanpa sadar meredup. Bukan kebiasaan Akar seperti ini. Sebelum-sebelumnya dia akan langsung membuka pintu dan menyeruak masuk seolah-olah ini adalah kamarnya sendiri. Kemudian dia akan ikut tidur selonjoran di kasurku dan - ini aku benci banget - membuat spreinya kusut dan jadi bau matahari setiap dia mampir setelah kami selesai main sepeda keliling komplek.

Mesin Waktu (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang