"Pak Tara... handphone anda tertinggal di meja makan," Renita menyodorkan handphone sembari menyentuh bahu Tara.
Keplaaak, suara tangan Tara menepis tangan Renita dengan keras.
"Jangan pernah sesekali menyentuhku!"
Tara menatap tajam Renita, seolah hal yang telah dilakukannya merupakan suatu hal yang fatal.Renita tidak mengerti kenapa Tara bisa semarah itu, seolah semua yang dikerjakannya selalu salah dimatanya.
"Maaf, aku cuma mau membawakan handphone anda yang tertinggal."
"Ingatlah, ini kali terakhir kau menyentuh bahuku, jika kau melakukannya lagi, jangan salahkan aku jika kau terluka."
Tara memiliki trauma batin yang mendalam akibat pengalaman pahit yang dialaminya di masa kecil. Saat hidup di jalanan yang keras, Tara sering kali menjadi korban intimidasi dan kekerasan dari orang-orang di sekitarnya. Beberapa kali, ia dipukul dan dihajar hingga babak belur hanya karena masalah sepele. Pengalaman-pengalaman ini meninggalkan bekas yang mendalam pada dirinya, sehingga tanpa sadar, Tara menjadi sangat takut dan cemas setiap kali ada seseorang yang hendak menyentuh tubuhnya. Trauma ini mempengaruhi cara Tara berinteraksi dengan orang lain dan mempercayai mereka, membuatnya selalu waspada dan tertutup terhadap sentuhan fisik.
Hendri dan Ratna hanya bisa diam menyaksikan perlakuan kasar Tara yang berlebihan terhadap Renita. Renita hanya berniat baik untuk mengembalikan handphone Tara yang tertinggal di meja makan, namun Tara meresponsnya dengan kemarahan yang tidak proporsional.
Hendri, supir pribadi Tara, merupakan karyawan terlama yang ikut bekerja dengannya. Hendri sudah sangat mengerti sifat dan latar belakang bosnya tersebut. Hendri paham betul bahwa Tara memiliki sisi gelap yang terkadang muncul dalam bentuk amarah yang tidak terkendali.
Sementara itu, Ratna, asisten pribadi Tara yang sudah bekerja selama dua tahun, sering merasa bingung dengan sikap bosnya tersebut. Dia melihat dua sisi yang sangat berbeda dari Tara. Di satu sisi, Tara bisa sangat perduli, ramah, dan suka menolong orang lain. Namun di sisi lain, Tara bisa menjadi sangat kasar, pemarah, dan bahkan lebih mengejutkan lagi, Tara suka melampiaskan amarahnya melalui pertarungan, baik melalui pertarungan resmi maupun ilegal.
Ratna masih mencoba memahami kompleksitas kepribadian bosnya itu, sementara Hendri hanya bisa menerima semua itu sebagai bagian dari pekerjaan yang telah ia jalani bertahun-tahun.
"Sebaiknya kita segera pergi. Apa semuanya sudah siap?"
Tanya Tara lagi."Sudah, Tara. Semuanya sudah kusiapkan," sahut Ratna.
"Baiklah, sebaiknya kita langsung saja."
Dalam perjalanan menuju pameran, Tara merasa cemas melihat waktu yang semakin mendekati pukul sembilan. Pameran akan dimulai kurang dari 20 menit lagi, dan sialnya dia masih terjebak dalam kemacetan yang parah. Kendaraan di depannya bergerak lambat, seolah-olah tak ada akhir dari barisan mobil yang terhenti ini.
Sambil memandang keluar jendela, tiba-tiba perhatian Tara tertuju pada seorang pria tua di pinggir jalan. Pria tersebut tampak kesulitan, dengan satu kakinya yang telah buntung, pria itu berusaha mengambil rongsokan dari dalam got. Pemandangan itu membuat hati Tara tersentuh. Tanpa pikir panjang, ia menyuruh Hendri, sopirnya, untuk menghentikan mobil.
"Hendri, tolong berhenti sebentar," Tegas Tara.
"Baik, pak Tara," sahut Hendri sambil mengangguk.
Tara lalu menghampiri pria tua tersebut dan mengajaknya bicara.
"Bapak sedang apa di sini?" tanya Tara sambil berjongkok menatap pria tua tersebut.
"Oh, saya sedang mengumpulkan botol plastik di sini, Aden," balas si pria tua dengan senyumnya yang manis.
Bapak tua tersebut memanggil Tara Aden, karena melihat Tara seperti bos besar yang tidak sengaja lewat di depannya.
"Tapi itu kotor pak. Apa Bapak tidak merasa jijik? Maaf, kalau boleh tahu apa yang terjadi pada kaki Bapak?"
"Saya sudah terbiasa den, memang plastik yang ada di got ini kotor, tapi insyallah rezeki yang saya dpatkan ini rezeki yang bersih. Kalau soal kaki, saya dulu pernah mengalami kecelakaan, den," Jawab pria tua tersebut dengan nada lembut.
"Kalau begitu, boleh saya membantu? Plastik-plastik di sini lumayan banyak juga kalau dikumpulkan." Balas Tara lagi.
"Waduuuh tidak usah, den. Pakaian aden mahal, aden tidak pantas masuk ke dalam got mengambil plastik-plastik di sini."
Tara yang saat itu menggunakan jas kemudian melepaskan jasnya dan menggulung celananya untuk membantu pria tua tersebut.
"Pak Tara, kita hampir terlambat ke acara pameran besar. Kenapa anda malah membantu Bapak tua itu? Kalau kita sampai terlambat, bisa-bisa banyak mitra kita yang memutuskan kerja sama," Ucap Renita yang meneriaki Tara dari dalam mobil.
"Aku tidak peduli dengan pameran itu. Kalaupun mereka tidak mau lagi bekerja sama denganku, itu bukan urusanku."
"Tapi pak Tara..."
"Sudah diam! Ayo Pak, kumpulkan semuanya di sini," ujar Tara sambil membukakan karung plastik milik pria tua tersebut.
"Aden, sampeyan punya urusan yang jauh lebih penting daripada ini. Jangan hanya karena membantu saya yang cacat ini, pekerjaan aden jadi terbengkalai."
"Sebenarnya yang cacat bukan Bapak, tapi orang yang tidak mau memperdulikan kesusahan orang lain yang layak disebut cacat."
"Maaf sudah merepotkan. Bapak hanya bisa mengucapkan banyak terima kasih."
"Tidak usah dipikirkan. Bapak pulang ke mana? Nanti saya antar."
"Tidak usah, den. Terima kasih banyak. Bapak pulang dekat pasar."
"Ya sudah, kita naik mobil saya saja. Biar karung plastiknya ditaruh di belakang."
"Tapi Bapak ini bau, Den. Celana Bapak juga basah terkena air got. Nanti jok mobilnya jadi kotor."
"Tidak usah dipikirkan. Setelah pulang ke rumah, saya bisa membersihkannya."
Tara kemudian mengajak pria tua tersebut masuk ke dalam mobilnya, sontak kehadiran pria tua tersebut membuat seisi mobil menjadi menjadi tidak nyaman. Ratna dan Renita seketika merasa mual karena mencium bau busuk dari aroma pria tua tersebut sembari menutup kedua hidung mereka.
"Pak Tara, apa yang anda fikirkan?! Anda lebih memilih untuk tidak jadi datang ke pameran besar hanya untuk mengantar Bapak ini? sekarang kita sedang diburu waktu. Lagi pula, mobil ini jadi bau," Omel Renita yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran pria tua itu.
"Kalau kau tidak suka, silakan keluar dari mobil ini. Jika pameran itu jauh lebih penting, sebaiknya kau saja yang pergi ke sana."
Next bab 3
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji Bunga Matahari
General Fiction**Janji Bunga Matahari** Janji Bunga Matahari adalah sebuah kisah tentang harapan dan perjuangan yang dipegang teguh oleh Tara dan teman-temannya, anak-anak jalanan yang hidup di bawah tekanan keras. Mereka adalah korban dari kehidupan yang penuh ke...