Bab 3

80 15 6
                                    

"Pak Tara, m-maksudku, anda menurunkan saya di sini hanya demi menolong bapak ini?"
Tanya Renita dengan nada lesu.

"Tidak usah bersikap manja, kau bisa pergi mnggunakan taksi online bukan."

"Den, kalau begitu bapak tidak usah di antar, bapak tidak enak."

"Bapak tidak perlu sungkan. Ratna, apa kau mau pergi ke bersama Renita mewakilkanku di acara pameran?"
Tanya Tara pada ratna.

"Saya tidak keberatan kalau harus mengantar bapak ini terlebih dulu." Imbuh Ratna dengan sopan.

"Baiklah, kalau begitu, Renita ... wakilkan aku di acara pameran, jika ada yang menanyakanku katakan saja aku sedang sibuk."

"Dasar, seenaknya saja, mentang-mentang dia bosnya, bos yang menjengkelkan ...! "
Dalam hati Renita hanya bisa menggerutu.

"Pak hendri, kita ke pasar jaksel sekarang."

"Baik pak Tara"

Renita, yang baru hari ini memulai pekerjaannya sebagai asisten Tara, merasa jengkel dengan sikap Tara. Dalam hatinya, ia merasa aneh karena Tara lebih memilih mengantar seorang bapak pemulung daripada hadir di acara pameran yang penting. Namun, Renita tidak berani menentang bosnya dan hanya bisa mengangguk patuh. Dengan perasaan campur aduk, ia turun dari mobil dan berjalan mencari taksi menuju lokasi pameran.

Sementara itu, Tara melanjutkan perjalanannya bersama bapak tua yang ia tolong tadi. Setelah beberapa saat kemudian, mereka sampai di sebuah rumah kecil yang tampak tak terawat. Tara memperhatikan sekeliling dengan seksama; rumah itu sangat sempit, dengan atap yang bocor di beberapa tempat. Bapak tua itu hanya hidup sebatang kara, dan keseharian bapak tua tersebut dihabiskan untuk mencari barang rongsokan agar bisa bertahan hidup.

Tara diajak bapak tua itu masuk ke dalam rumahnya. Ia merasa tergerak melihat kondisi tempat tinggalnya. Meskipun sibuk dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya, Tara merasa ada hal yang jauh lebih penting daripada sekadar urusan bisnis: yaitu rasa kemanusiaan.

"Rumah bapak seperti tidak terawat, kenapa bapak tidak merenovasinya?"
Tanya Tara sembari menepikan beberapa material yang sempat jatuh dari atap.

"Bapak tidak punya biaya untuk merenovasi rumah den, terlebih lagi kalau bapak merenovasinya sendiri bapak tidak mampu dengan kondisi bapak yang sekarang ini"

Tara terus memperhatikan sekitarnya. Rumah tersebut terlihat sangat tidak layak huni. Dindingnya retak, atapnya bocor, dan halamannya penuh dengan barang-barang yang berantakan. Bapak tua itu tampak kesulitan merawat rumahnya karena kondisi fisiknya yang sudah tidak memungkinkan.

Tara yang merasa iba berusaha membantu. Ia langsung berinisiatif menelpon beberapa rekannya yang bekerja di bidang konstruksi renovasi rumah. Dengan penuh semangat, Tara menceritakan kondisi rumah bapak tua tersebut kepada mereka, lalu mengusulkan untuk merenovasi rumah itu.

"Besok rumah bapak sudah mulai direnovasi, saya sudah menghubungi rekan-rekan untuk mengurusnya. Dan satu hal lagi ... saya rasa bapak tidak perlu mengumpulkan rongsokan seperti tadi."

Bapak tua tersebut merasa seperti bermimpi di siang bolong. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, mengapa ada orang sebaik Tara yang sudi menolong pemulung tua seperti dirinya. Bapak itu merasa seolah semua ini hanya ilusi yang akan segera sirna. Namun semua ini terjadi di depan matanya dan dia sulit percaya dengan apa yang telah terjadi kepadanya.

"Besok, rumah Bapak akan segera direnovasi. Saya juga sudah berpesan kepada rekan-rekan saya untuk membuatkan Bapak warung supaya Bapak bisa berjualan di rumah. Bapak mau jualan apa, sebaiknya Bapak pikirkan dulu. Ratna, pergilah ke ATM terdekat dan cairkan uang untuku." Tara kemudian memberikan kartu ATM-nya kepada Ratna.

"Baik Tara, berapa nominal yang harus dicairkan?"

"Uang itu akan saya berikan kepada bapak ini, tolong ambilkan 10 juta saja."
Bisik Tara di telinga Ratna.

Ratna segera bergegas menuju ATM terdekat untuk mencairkan uang sesuai perintah Tara.

"Den ... kenapa aden sampai sejauh ini  membantu bapak? Apa alasan aden melakuannya?" Ucap si bapak yang mulai menitikkan air mata.

"Saya juga tidak tahu kenapa, hanya saja, ketika saya melihat orang lain menderita, rasanya ... saya seperti merasakan rasa sakit yang sama."

"Aden orang baik, semoga aden selalu dipertemukan dengan orang-orang yang sama baiknya seperti aden."

"Terima kasih banyak, sebelum saya pergi, saya ingin memberikan sesuatu yang selalu saya bawa di kantong saya. Tolong terimalah."
Ucap Tara yang mengambil sebutir biji bunga matahari dalam wadah kantung berbentuk karung mini.

"Apa ini?"
Tanya si bapak kebingungan

"Ini biji bunga matahari"
Tara memberikan bapak tua tersebut sebuah biji bunga matahari sebagai sebuah simbol.

"Biji bunga matahari? Baikah akan bapak simpan ini. Terima kasih banyak den Tara"

Tara kemudian melanjutkan perjalanannya setelah selesai membantu bapak tua tadi. Di dalam perjalanan, ia terdiam, memikirkan kenangan pertamanya saat bertemu dengan nenek angkatnya yang juga seorang pemungut barang rongsokan.

Kenangan itu membawa Tara kembali ke masa kecilnya. Saat itu, Tara merupakan anak yang entah darimana asalnya dengan luka kepala saat kali pertama ia bertemu dengan nenek angkatnya tersebut. Wajah lembut nenek itu selalu terbayang di benaknya, dengan senyum penuh kehangatan dan mata yang penuh kasih sayang.

Neneknya selalu mengajarkannya tentang nilai-nilai kepedulian dan kebaikan. Nenek sering berkata, "Hidup ini bukan hanya tentang apa yang kita miliki, tetapi tentang apa yang kita berikan kepada orang lain." Kalimat itu tertanam dalam hati Tara, menjadi prinsip yang selalu ia pegang teguh hingga saat ini.

Flashback

Hal yang tidak pernah diketahui Tara seumur hidupnya ialah, bahwa nama aslinya adalah Satria.

Satria merupakan seorang anak yang ceria dan penuh semangat, hidup dalam keluarga yang harmonis. Ayahnya, Pak Wijaya, adalah seorang calon gubernur yang kuat dan dihormati pada saat itu. Namun, tidak semua orang mendukung langkah Pak Wijaya. Saingannya, Pak Surya saat itu merasa terancam dengan popularitas Pak Wijaya dan berencana untuk menghentikannya dalam pemilihan gubernur diwaktu mendatang.

Suatu hari, ketika Satria pulang dari sekolah, pak Surya memerintahkan orang suruhanya untuk menculik Satria. Satria kemudian dibius lalu dibawa hingga ke Jakarta jauh dari rumahnya. ditengah perjalanan  Satria perlahan mulai siuman, ia yang panik berhasil melarikan diri dari mobil dan memilih melompat dari mobil penculik tersebut. Namun na'as, dalam pelariannya, ia terjatuh dan kepalanya membentur batu dengan keras. Benturan tersebut mengakibatkan Satria mengalami amnesia permanen dan tidak bisa mengingat siapa dirinya lagi sejak saat itu.

Dalam kondisi setengah sadar, Satria ditemukan oleh seorang nenek tua yang berprofesi sebagai pemulung. Nenek itu yang kemudian Satria panggil dengan Nenek Sari.

"Anak manis, apa yang sedang kamu lakukan di sini, orang tuamu di mana?"
Tanya si nenek Sari yang terlihat Iba.

"Astaga, kepalamu terluka nak? kamu habis terjatuh? Sini nenek obati."

Satria hanya diam saat di ajak bicara dan seperti orang yang sedang kebingungan.

"Kamu tinggal di mana nak?"
Tanya nenek Sari lagi, dan Satria masih saja diam.

"Anak manis, jika kamu tidak ingat siapa namamu, nenek mau memberimu nama. Mulai sekarang, namamu adalah Tara. Nama itu nenek ambil dari bunga matahari, karena nenek yakin kamu akan menjadi matahari yang menyinari kehidupan semua orang.

Satria hanya tersenyum tipis, meskipun masih ada kebingungan dalam dirinya.

Sejak saat itu Satria memulai hidup barunya bersama Nenek Sari dan memulai harinya dengan nama Tara. Mereka mencari rongsokan bersama, dan Tara merasa bahagia kala itu.

******

Next bagian 4

Janji Bunga MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang