Bab 7

48 8 4
                                    

"Ayah, aku mau kue itu," tunjuk anak itu ke arah kue rasa stroberi yang terpampang di etalase.

"Lain kali ya, Nak, ayah sedang tidak punya uang," ucap ayahnya sembari mengusap kepala sang anak.

"Tapi aku maunya itu. Aku janji gak minta apa-apa lagi ke ayah setelah ini," rengek sang anak, meminta ayahnya tetap membelikannya kue.

"Sabar ya, Nak. Kalau ayah punya uang, pasti ayah belikan," balas sang ayah dengan senyum terpaksa.

Tara, yang memperhatikan mereka sedari tadi, hanya terdiam melamun seakan sedang memikirkan sesuatu.

Dari penampilannya, sang ayah sepertinya seorang tukang rongsokan yang terlihat lelah setelah seharian bekerja, sementara anak perempuan kecilnya dengan penuh harap terus menerus menatap etalase kue di depan toko. Anak itu berulang kali menelan ludah, menandakan betapa inginnya dia mencicipi salah satu kue di dalam toko tersebut.

Setelah memantapkan hati, Tara berinisiatif membelikan kue yang diinginkan anak itu. Dia memilih kue dengan hati-hati, berharap bisa membuat anak itu bahagia. Setelah membayar kue tersebut di meja kasir, Tara perlahan keluar dari pintu toko dan menghampiri anak perempuan itu. Dengan senyum lembut di wajahnya, Tara berjongkok agar sejajar dengan anak kecil tersebut.

"Ini untukmu, ambillah," ujar Tara dengan senyum lembut di wajahnya.

"Tidak perlu, Tuan. Anda tidak punya alasan untuk membelikan kami kue ini," ucap sang ayah yang merasa tidak enak.

"Sewaktu kecil, aku pernah menginginkan kue seperti ini. Saat itu, aku dan nenekku hendak pulang setelah seharian pergi memulung. Dari kaca toko, aku melihat sebuah kue yang terlihat sangat lezat dan yang pasti harganya sangat mahal. Aku tahu nenekku tidak punya uang pada saat itu, tapi nenekku iorang yang sangat baik. Dia rela bekerja keras hingga malam hari hanya untuk bisa membelikan kue yang aku inginkan," ungkap Tara, menjelaskan tentang masa lalunya.

"Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik, termasuk yang dilakukan nenek Tuan," ujar sang ayah anak tersebut.

"Tentu saja," ucap Tara singkat.

"Kalau begitu, saya ucapkan terima kasih banyak. Apa boleh saya minta alamat rumah Tuan? Mungkin suatu saat saya bisa mengganti uang tuan." ucap orang tua anak itu, yang semakin merasa tidak enak kepada Tara.

"Kalau Bapak menginginkan alamat saya, akan saya berikan. Tapi sebelum itu saya ingin berbicara sesuatu dengan anak Bapak, boleh?" pinta Tara pada orang tua anak tersebut.

"Oh, silakan."

Tara kembali berjongkok untuk berbicara sesuatu pada anak tersebut.

"Adik kecil, kamu mau berjanji sesuatu untukku?" ucap Tara dengan senyum manis di wajahnya.

Anak perempuan itu hanya mengangguk setuju.

"Jika suatu saat kamu mempunyai kesempatan untuk membantu seseorang, apakah kamu mau membantunya?" tanya Tara lagi.

"Iya, aku mau," jawab sang anak polos.

"Baiklah, janji ya. Kalau begitu, ambillah ini." Tara kemudian mengambil kantung kecil yang berisi banyak biji bunga matahari dan memberi anak tersebut satu.

"Ini untuk apa, Kakak?" dengan ekspresi polosnya, anak perempuan tersebut bertanya.

"Kamu akan mengerti nanti."

"Tapi kenapa harus bunga matahari?" tanya sang anak lagi.

"Dulu nenek Kakak pernah memberitahu bahwa bunga matahari melambangkan kehangatan, cinta, dan kasih sayang. Selama kita memberikannya kepada orang yang kita percaya dan kita anggap penting, maka selamanya kita tidak akan pernah saling melupakan, walaupun terpisah jarak dan waktu," ujar Tara sembari memegang kepala anak perempuan tersebut.

"Iya, aku akan menjaganya. Aku berjanji," anak itu tersenyum menerima bibit bunga matahari yang diberikan Tara.

"Kalau begitu, saya pamit dulu," ucap Tara lagi kepada orang tua anak itu.

"Maaf, Tuan muda. Anda masih belum memberi alamat Tuan. Kalau nanti saya sudah punya uang, pasti nanti saya ganti," sahut orang tua anak itu sembari menyodorkan kertas.

Tara pun menulis sesuatu di kertas tersebut, namun ia tidak memberikan alamat tempat tinggalnya, melainkan sebuah kata-kata yang Tara ingat sesaat setelah neneknya membelikannya kue: "Sebuah kebaikan seperti menanam satu bibit, dan bibit tersebut akan menciptakan akar-akar yang kokoh untuk tetap berdiri."

Setelah memberikan kertas itu, Tara kemudian berlalu pamit, dan masuk ke dalam mobil yang sedari tadi terparkir di depan toko kue tersebut.

Melihat Tara yang seakan-akan membuang waktu berharganya membuat Renita bereaksi.

"Maaf kalau saya lancang, tapi Anda tidak bisa menolong semua orang yang ada di dunia ini," ucap Renita yang menganggap Tara sebagai pahlawan kesiangan.

"Aku memang tidak bisa menolong semua orang. Tapi dengan menolong mereka, sudah cukup membuat hatiku merasa bahagia," ucap Tara yang kemudian memalingkan wajahnya.

"Tapi gara-gara itu, pertemuan penting kita selanjutnya jadi terhambat," ujar Renita yang seakan menceramahi Tara.

"Kau pernah merasakan di posisi seperti mereka? Jika tidak, tutup mulutmu," tegas Tara yang dibuat kesal oleh Renita.

Tara kemudian melamun memandang jauh di depan kaca mobilnya. Dalam lamunannya, ia teringat saat dirinya masih kecil.

Dalam ingatannya, Tara pernah menginginkan sebuah kue yang dilihatnya di toko roti sehabis pulang memulung. Namun, Tara tahu bahwa neneknya kala itu sedang tidak memiliki uang. Tara kecil paham betul kesulitan yang dihadapi neneknya tersebut, sedangkan neneknya tidak ingin mengecewakan cucunya.

Dengan tekad kuat, Nenek Sari memulung dari pagi hingga malam hari selama beberapa hari untuk mengumpulkan uang. Meskipun lelah, ia tidak pernah mengeluh. Hanya satu hal yang ada di pikirannya: membahagiakan Tara dengan kue yang diidam-idamkannya.

Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya Nenek Sari berhasil mengumpulkan cukup uang. Dengan senyum hangat dan mata berbinar, ia memberikan kue yang diinginkan Tara. Sebelum menyerahkan kue itu, Nenek Sari meminta Tara untuk mengambil satu biji bunga matahari dan berjanji sesuatu kepadanya. Nenek Sari berharap, jika suatu saat Tara mampu menolong orang lain, maka Tara harus menolongnya, hal tersebutlah yang terus Tara ingat hingga saat ini.

Sambil menyerahkan kue yang diinginkan Tara, Nenek Sari menaruh secarik kertas dengan tulisan tangan di dalamnya yang tertulis: "Sebuah kebaikan seperti menanam satu bibit, dan bibit tersebut akan menciptakan akar-akar yang kokoh untuk tetap berdiri."

Kata-kata itu terus terngiang dalam ingatan Tara, mengingatkannya akan pengorbanan dan cinta kasih neneknya.

"Ya sudah kalau begitu, saya cuma berusaha mengingatkan bahwa kita juga punya kepentingan," ujar Renita dengan raut wajah yang terlihat kesal.

"Tara, apa kita bisa lanjut ke restoran untuk membahas bisnis kuliner dengan Pak Hedian?" tanya Ratna yang mencoba memastikan.

"Iya," balas Tara singkat.

*******

Next bab 8

Janji Bunga MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang