|10| Sudut Kenangan

293 44 27
                                    

Isi hati bukan hal yang mudah ditebak

Ia bisa saja terlihat sempurna dalam letak

Namun dalam tiap kenangan yang berpetak

Mungkin juga tersimpan kisah yang retak

👑

"Ti ...," Yorin berhenti sejenak setelah memetik kunci G di gitarnya, kemudian menggeleng. "Ti ... dak."

Akhirnya dia berhasil menemukan kunci yang pas untuk suku kata pertama, tapi ketika merambah ke suku kata kedua, gelengannya kembali terlihat. Yorin kembali mencoba kunci yang lain, berkali-kali hingga merasa cocok. Namun, ketika beranjak lagi ke kata selanjutnya, lagi-lagi tidak terasa pas.

Yorin menghela dan mengembuskan napasnya dengan kencang. Hampir saja dia membanting gitar yang ada di pangkuannya kalau tidak cepat-cepat menahan diri. Untuk menenangkan diri, dia mengempaskan punggung ke pinggiran kasur, berharap dengan begitu rasa kesalnya karena nada-nada sederhana yang ingin dibentuknya bisa sedikit berkurang. Namun nyatanya tetap gagal.

"Kenapa nemuin nada yang pas susah banget, sih?!" keluhnya pada diri sendiri.

Sebenarnya sih masalahnya bukan pada gitar atau nada. Kalau saja Yorin ahli, tentu saja tidak akan sulit menemukan deretan nada untuk memenuhi puisi yang ingin dibacakannya nanti, yang panjangnya tak seberapa. Mendadak Yorin bersyukur karena memilih puisi yang tepat. Tadinya dia ingin membacakan puisi hasil karyanya sendiri, supaya terkesan lebih menarik. Tapi kalau dengan puisi yang sudah ada saja dia kewalahan begini, apa kabar kalau harus menambah kesusahan dengan bikin puisi sendiri?

Karena merasa sesaknya belum juga hilang, Yorin memilih keluar kamar dan mengambil minum untuk sedikit menyegarkan diri. Pikiran untuk berhenti belajar gitar dan tidak jadi menampilkan pertunjukan berkelebat tanpa henti di otaknya. Sudah berulang kali, sejak awal juga sebenarnya, tapi entah kenapa dia masih saja berusaha bertahan. Padahal ini jelas-jelas hal yang cukup gila dan "nggak Yorin banget" kalau kata Gisa.

Ketika keluar kamar menuju dapur, langkahnya terhenti di ruang tamu. Di sana, ada sekian banyak foto yang berderet untuk menghiasi meja kecil di sudut. Juga ada beberapa di dinding dekat televisi. Tanpa sadar, Yorin mendekat ke sana. Matanya menjelajah di tiap foto yang terpampang. Letaknya sempurna, tapi kisahnya tidak.

Dari sederet foto itu, Yorin hanya fokus pada salah satunya. Di foto itu, keluarganya lengkap. Ayah dan ibunya duduk di sofa besar dengan senyum lebar, sedangkan dia berdiri di belakang dengan senyum yang tak kalah lebarnya. Di sana, saat itu, mereka semua tampak begitu bahagia. Memang benar, sebelum semuanya terjadi dan senyum yang dulunya selalu memenuhi rumah ini perlahan memudar.

Yorin kembali mengembuskan napas. Matanya dibuka lebar, bahunya diangkat perlahan. Tidak ada gunanya mengenang kesedihan, saatnya beranjak. Akhirnya dia memilih meninggalkan sudut kenangan di ruang keluarganya, dan berjalan menuju dapur. Namun, lagi-lagi langkahnya tertambat sebelum berhasil tiba.

Kali ini di kamar ayahnya yang sedikit terbuka. Yorin mengintip dari balik celah, ayahnya duduk menghadap jendela dengan pandangan menerawang. Satu detik ... dua detik ... bahkan hingga beberapa detik kemudian, ayahnya masih saja bergeming. Tatapannya tidak teralih, bahkan tidak terusik dengan dirinya yang mengintip di luar, padahal biasanya ayahnya itu sangat sensitif dengan suara sekecil apa pun.

Dengan semua kenangan yang dilihatnya di foto-foto yang memenuhi ruang keluarga tadi, dan melihat keadaan ayahnya yang seperti sekarang, Yorin sadar kenapa dia mengikuti permintaan gila Alard sejak awal. Kini dia tahu, apa yang sebenarnya dia perjuangkan. Dan dengan semua itu, dia tidak bisa berhenti begitu saja. Tidak boleh, bahkan. Semua yang diperjuangkannya tidak boleh sia-sia begitu saja. Dunia harus tahu, apa yang ingin ditegaskannya.

Be Your PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang