(Tujuh) Dia ibumu

15 0 0
                                        

Wanita tersebut tidak lari ketika dia diteriaki. Ditangannya ada seorang anak perempuan dengan karakteristik yang sama seperti laki-laki paruh baya itu sebutkan.

"A..aku tidak membunuhnya, sungguh aku tidak membunuhnya" dengan gemetar wanita itu berbicara. Wanita? Tidak terlalu tega menyebutnya dengan kata makhluk, terlalu indah untuk itu.

"Lantas, apa yang telah kau lakukan dengan anak ini?" tanya detektif itu sambil menodongkan revolvernya.

"Tolong, turunkan senjatamu. Aku tidak bisa berbicara dengan baik jika kau masih menodongkan benda itu" pintanya.

Segera detektif itu turunkan senjatanya.

"Berbicaralah" bentak detektif.

"Hera.. anak ini sedang tidak bahagia, dia baru saja kehilangan ibunya yang meninggal beberapa hari lalu"

"Dia tidak sengaja melihatku ketika sedang duduk di pinggir sungai ini, menganggapku sebagai ibu perinya" sambungnya lagi

"Terus apa yang sudah terjadi?"

"Dia kesepian, ayahnya hanya berdiam diri di kamar dan selalu menangisi istrinya yang sudah tiada. Hutan ini, tempat kami bertemu kemudian menjadi pengisi harinya bersamaku. Sampai suatu ketika, ia terlalu senang bermain dan tersandung di akar pohon itu"

"Kepalanya membentur batu ini?" tanya detektif sambil menyentuh batu tersebut

"Bisa kau bantu aku memberikan tubuh ini ke ayahnya?"

Detektif itu tahu raut wajah itu tidak lagi berbohong, dia berkata jujur. Wanita itu jelas merasa kehilangan.

"Baiklah, aku akan menangani hal ini" Sambil menggendong gadis kecil tersebut pria itu berjalan keluar hutan.

Sudah tidak bisa disangkal. Laki-laki paruh baya itu menangis sejadi-jadinya, teringat baru saja kehilangan istrinya beberapa hari lalu, dan hari ini ia harus menghadapi tubuh gadis kecilnya yang sudah terbaring kaku.

Pengasuh Hera juga tak kalah sedihnya. Menangis meraung memeluk gadis itu.

***

Semenjak hari itu, ayah jadi sering mengunjungi tepi sungai untuk bertemu ibumu. Dan kebetulan, setelah kehilangan orang-orang yang tersayang di rumah kayu besar itu, laki-laki paruh baya tadi menjual rumahnya dan pindah ke ibukota.

Ayah ingat, nenekmu ingin sekali memiliki rumah di daerah itu.

Harganya tidak terlalu mahal untuk rumah sebesar dan seindah itu, tetapi tetap saja, ayah bukan orang yang kaya raya bisa membeli apapun dengan mudah.

Maka setelah itu ayah bekerja keras untuk mendapatkan rumah itu, dan nenekmu memberikan warisan kakek untuk menutupi kekurangan biaya.

Akhirnya kami pindah ke rumah itu,

rumah ini, rumah tua ini. Yang sekarang kita tempati.

"Jadi semenjak itu, ayah semakin sering bertemu dengan ibu?"

Tentu saja,

cerita belum selesai.

Beberapa tahun setelah tinggal di rumah ini, nenek sudah sakit-sakitan. Ramuan dari ibumu sudah tidak bekerja lagi. Mungkin sudah ajalnya, ia meninggal pada hari itu.

Sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya, ia berpesan agar ayah cepat memiliki keluarga agar tidak perlu kesepian lagi.

Dan aku menikahi ibumu.

Singkatnya, ibumu kembali ke dunianya ketika kamu berumur 4 tahun.

Ia memberimu sebuah ramuan agar kamu melupakan kehadirannya, agar kamu tidak menyadari kalau malam itu ia terbang menerobos setiap lapisan angkasa malam yang gelap.

"Ayah.. apa dia tahu kalau aku akan seperti dia?" tanyaku

"Dia belum tahu, dia mengira sejauh ini kamu seorang manusia" jawab ayahku

"tapi dia memberiku ini" sambil menyodorkan sebuah buku

"mantra yang nanti mungkin bisa kamu gunakan. Sayapmu.. tidak mungkin kau akan membiarkan orang lain melihatnya bukan?" jelasnya lebih lanjut

"Terima kasih ayah". sambil memeluknya erat.

***

Kubenamkan mukaku di bantal, menghela nafas sesak, menerka apa yang terjadi hari ini.

Hari yang terasa seperti mimpi

Jawaban dari kebingunganku selama ini cukup melegakan

Aku bukan manusia?

Sayap ini cantik sekali walau tak seputih kapas. Walau cantik, aku tidak bisa keluar dari rumah dalam keadaan seperti ini.

Ku buka buku mantra yang ayah berikan tadi.

Cukup sulit mencari mantra dalam buku itu. Dalam hatiku tertawa, mengharapkan selembar halaman yang berisi daftar isi seperti buku-buku membosankan dari perpustakaan kampus.

Lembar demi lembar kubuka,

mantra yang kucari sudah ditemukan, kubaca dan kuucapkan perlahan. Sesuai dengan petunjuk, mantra itu dibaca tiga kali.

Sambil menutup mata,

jantung berdegup kencang. Berharap mantra ini mujarab.

Kutolehkan kepala mengarah punggungku, dimana sayap itu tadi tumbuh.

Mujarab sekali, sayap itu memudar seperti ditiup angin.

Ajaib! Teriakku keras.

Sekarang aku sudah tahu bagaimana sensasi Harry Potter ketika mantra yang ia sebutkan bekerja dengan baik.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu,

tidak.. bukan berasal dari pintu kamarku. Itu pintu rumah utama.

Tak lama dari suara ketukan tadi, dari bawah ayah berteriak menyuruhku untuk segera keluar dari kandangku yang nyaman dan gelap untuk menemui orang yang pastinya telah berdiri di depan pintu rumah kami. Dan menunggu batang hidungku muncul di depan pandangannya.

"Iya ayah! aku datang" teriakku keras.

***

Broken WingsWhere stories live. Discover now