"kepada yth. gadis secantik bunga anyelir merah muda. di tempat."

12 2 0
                                    

lembayung kini berkuasa penuh atas langit mendung. seiring perginya kumulonimbus, seseorang di atas bangku taman reyot mengangkat kepala. menatap langit senja penuh puja.

ironis. meski keduanya melungguh bersampingan, tetap saja tidak ada sepatah kata yang terucap. seraya menikmati semilir angin yang menyapu wajah, si gadis perlahan menutup mata. keheningan selalu menjadi tembok besar pembatas antaranya dengan si pemuda.

menit berlalu kesekian kalinya dan jemu tidak pernah singgah barang sebentar. "aku tidak masalah meski harus berdiam selama satu hari penuh seperti ini," katanya. si pemuda tertawa renyah kala telinganya dengar tutur kata selembut sutra.

"aku juga," balasnya, turut menengadah. tatapan teduhnya pandangi langit yang sama dengan si gadis. lamat-lamat, rungunya dengar kalimat yang sarat akan emosi. "hitung-hitung latihan selagi aku pergi nanti, ya?"

senyum simpul yang mulanya terukir kini luruh bersamaan dengan debar jantung yang makin cepat. si pemuda beralih menatap entitas di sampingnya. "bicara apa, sih? kamu tidak akan pergi ke mana-mana." berusaha mengelak, maniknya justru berkaca-kaca. lagi, hanya senyum kecil yang bisa si pemuda berikan. "bukannya Tuhan lebih tahu kapan seseorang pergi?"

si gadis tidak menjawab, pertanyaan barusan ia biarkan mengawang bersama harapan. atensinya terpaku pada langit, sungkan menoleh meski kini tangannya digenggam lembut. si pemuda tidak―akan―pernah tahu, ia juga tengah menahan tangis mati-matian.

A.M

 A.MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang