Ujung Telunjuk antara Azan dan Iqomah

51 3 0
                                    

Malam ini adalah malam ke dua puluh sembilan Ramadhan. Malam yang menjadi malam untukku shalat tarawih terakhir di bulan Ramadhan ini. Saking terasa keistimewaanya, berapapun bilangan rakaatnya aku akan jalani tak kan kulewati setiap rakaat demi rakaatnya biar pun lutut kian tak berdaya. Semua ini dijalani dengan niat tulus dan ikhlas. Malu dengan teman atau tetangga? Itu sudah sirna. 


Semua itu memang terasa berbeda setelah dua hari lalu. Malam yang terasa penuh arti bagiku menjadi malam perjumpaan kami berdua di tiap doaku kini. Gelak tawa kami bersenda gurau melengkapi hidangan berbuka puasa kami berdua kala itu. Sejenak melupakan kesendirian kami tanpa sosok ayah sebagai kepala rumah tangga di keluarga kami. Aku pun sudah terbiasa membiasakan diri tanpa seorang ayah di sampingku di setiap apapun kesempatan itu. Hal ini karena ibuku pun mampu melakukan hal yang sama. Hampir dua tahun ini kami tak mengetahui keberadaan ayah setelah ayah. Entahlah tanpa kata apa pun, keteguhan ibuku membungkam tanyaku dimana kah ayah sekarang? Hari-hari tanpa ayah sudah ibu haturkan di setiap doa-nya. Mungkin kekuatan doa dan istiqomah itu yang menguatkan langkahnya hingga kini.

Sesekali ibu menutup mulut dengan tangannya sembari menahan tawa mendengar ceritaku tentang teman-temanku di sekolah. Tak ada kesedihan yang membendung bahagia kami berdua. Seketika suara azan Isya' pun akhirnya mengakhiri berbuka puasa malam itu.

"Kamu mau tarawih dimana, Le?"

"Di Masjid depan lah, Bu. Emang kenapa?"

"Ya tidak apa-apa. Pilihlah masjid/mushola yang 20 rakaat biar dapat pahala banyak ya Nak," senyum ramah di wajahnya sembari tangannya memakaikanku peci hitam. Hangat tangannya menyentuh hingga pipiku mendaratkan telunjuk lembut di ujung hidungku.

"Iya deh," meski waktu itu kata iya merupakan bentuk penghindaranku saja dari kenakalanku yang tidak ingin ditanya lagi dan lagi.

"Segera pulang ya, Le."

"Iya...," tak biasanya ibu minta aku segera pulang karena beliau tahu jarang sekali aku main setelah masuk asrama. Tapi, aku merasa berbeda sekali dengan kalimat permohonan tersebut.

Itulah percakapanku yang disambut rintik gerimis. Ibu memang sudah lama memilih sholat di rumah jika hujan membasuh bumi. Sembari kucium tangannya tangan kiriku menyelipkan ponsel di balik gulungan sarung. Ku berlari menyelinap antara gerimis takut basah dan malah tidak jadi ikut shalat di mesjid atau lebih tepatnya ngobrol bareng teman sekitar rumah di sela-sela tarawih berlangsung.

Bagiku kala itu, shalat Tarawih adalah hal yang melelahkan lagian "Halah, hanya sekadar sunah kog". Maka dari itu, di saat jeda antara tarawih dan witir biasa keluar masjid untuk bermain, bersenda gurau, atau sekadar melihat notifikasi media social di ponsel genggam yang mereka balut dalam sarung tadi. Atau pula, sesekali pula aku memilih duduk meregangkan kaki di baris belakang di sela pergantian shalat tarawih. Bayangkan jika ibuku mengetahui pasti tamatlah riwayatku. Ibu selalu bilang kalau ibadah sunnah di bulan Ramadhan adalah amalan tambahan yang harus diutamakan. Amalan sunnah di bulan Ramadhan harus dilakukan sebagai tambahan pahala yang tiada berulang di bulan yang lain.

Setibanya di masjid entah kenapa kuperhatikan teman sekampungku absen entah kemana? Tidak seperti biasa kami menjadi penggembira atau bahkan menjadi perusuh suasana shalat berjamaah. Saat ku amati di shof belakang dari dua shof yang ada, diriku menjadi terheran. Sudah selesai sholat Isya' belum juga mereka terlihat. Tidak ada satu pun anak-anak seumuranku yang ikut berjamaah Isya' dan tarawih di masjid.

"Lebaran di sini saja ya, Le?"

"Iya, Lek."

Pertanyaan Lek Haji Samsuri memecah lamunan di sela mataku mencari gelagat temanku berada dimana. Lek Haji Samsuri adalah satu-satunya adik ibuku yang biasa ke rumah menengok ibuku, kakak perempuan satu-satunya. Saat itu, sedang kusisir semua barisan dari depan ke belakang, dari paling kanan ke paling kiri tiada satupun kulihat batang hidung mereka. Di mana mereka? Pertanyaan itu tetiba membuatku sadar bahwa kemungkinan besar mereka sudah mudik ke kampung halaman mereka masing-masing bersama orang tua mereka. Biasanya tanpa sholat bakdiah mereka sudah berkelebat meninggalkan barisan tanpa wirid shalat berjamaah. Begitu salam shalat ke kanan dan ke kiri, seketika itu pula balik kanan pergi meninggalkan shaf menuju serambi masjid untuk kogkow.

Ujung Telunjuk antara Azan dan IqomahWhere stories live. Discover now