A : Kepincut

46 5 2
                                    

Happy reading!

Matahari sedang terik-teriknya. Lapangan yang tengah diisi oleh kelas 11 IPA 2 untuk mengambil nilai lompat tinggi, terasa begitu menyiksa, karena kaki mereka tidak beralaskan sepatu. Walau sudah disiram air agar tidak terlalu panas, tetapi malah airnya menjadi hangat.

Keringat mereka mulai bercucuran, padahal baru di ketinggian 115cm untuk melompat, tetapi sudah ada saja yang gugur karena tidak mencapai angka tersebut. Memang siswa laki-laki belum ada yang gugur, tetapi siswa perempuan hanya tinggal tiga orang saja. Termasuk Aquila.

"Aca, sekarang giliran kamu." kata pak Agung, sebagai guru Olahraga.

Aca mulai berlari dengan kecepatan tinggi dari sudut pojok depan, berlari serong menuju mistar. Lalu melewatinya dengan gaya Flop, dimana punggung yang membelakangi mistar. Untung saja ia bisa meredam kecepatannya saat mendarat.

"Sekarang giliran kamu Aquila," Ucap pak Agung "jangan seperti Aca, gunakan gaya gunting." Aquila hanya mengangguk, mengiyakan.

Aca memang atlet lompat tinggi perwakilan dari sekolahnya. Padahal gaya tersebut sempat dilarang karena berbahaya, tetapi mereka tenang karena Aca bisa mengatasinya saat mendarat.

Aquila berdoa terlebih dahulu, semoga ia bisa melewatinya. Karena sewaktu dulu ia hanya bisa mencapai 1 meter, dicoba sampai 2x pun tetap sama, nihil.

Aquila mulai berlari agak menyerong dari mistar. Saat mendekat dengan mistar kakinya mulai diayunkan untuk melewati mistar tersebut, tetapi saat ingin mendarat kaki kirinya mengenai mistar, dan terjatuh, membuat usaha Aquila gagal.

Dirinya sedikit frustasi, tetapi ia coba lagi di kesempatan berikutnya. Ia duduk terlebih dahulu di dekat tiang bendera, meluruskan kakinya, dan meneguk air dari tumblernya.

Setelahnya, ia menatap teman kelasnya yang sudah berhasil mendarat tanpa menjatuhkan mistar. Lalu pandangannya teralihkan saat handuk kecil menutupi rambutnya.

Hifza dengan badannya yang menjulang tinggi, hingga menghalangi sinar matahari yang tengah menyorot dirinya.

"Elap tuh keringet, bau ntar baju lo!" ledek Hifza membuat Aquila berdecak dan memukul kaki Hifza dengan handuk yang menutupi rambutnya.

Hifza mengambil alih handuk kecil dari tangan Aquila "Dibilang elap bukannya buat pukul gw," tangannya menjulur dan mengusap dahi Aquila menggunakan handuk tadi, lalu mengusap lengan Aquila.

Aquila hanya diam melihat Hifza memperlakukannya seperti itu, jantungnya yang membuat seluruh tubuhnya ikut berhenti bergerak. Hanya sedikit mata yang melihat kejadian itu, termasuk Denis, yang sedang menunggu gilirannya.

"Nih udah." ucap Hifza menyudahi

"Makasih," ucap Aquila gugup.

"Tadi gak bisa ngelewatin mistarnya?" tanya Hifza seraya meminum botol yang tadi dibelinya. Ia bisa enak keluar seperti ini, karena dirinya memang abis pergi mengembalikan buku tugas dari kelas 11 IPS 3 yang lagi lagi disuruh Bu Retno.

"Yaa gitu."

Jauh di sana, Denis sedang mempersiapkan diri untuk melompat, ia masih memperhatikan Aquila dan Hifza. Jujur, ia iri dengan Hifza. Cowok itu bisa sedekat itu dengan Aquila, walau Aquila masih saja berperilaku dingin.

"Jangan patah semangat Qila," ucap Hifza membuat mereka saling tatap, beradu pandang. Jujur, jantung Hifza meronta meronta ingin keluar dari tempatnya. Padahal dia yang beri semangat, bukannya Aquila yang baper tapi dirinya.

Lalu tatapan mereka teralihkan saat suara mistar yang terjatuh, dan orang itu adalah Denis "masih jagoan gw berarti ya." kata Hifza sambil tersenyum miring.

AQUILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang