A : Nonton

41 6 0
                                    

Happy reading!

Aquila berdiri memandangi novel yang berjajar rapih di depannya. Ia bingung harus memilih yang mana. Sejak tadi dirinya hanya berdiam diri di depan rak novel fiksi remaja di toko buku, dengan pikiran hanya membeli satu novel saja.

Sebenarnya Hifza yang mengajaknya ke salah satu mall untuk nonton, tetapi Aquila menolak dijemput, ia ingin berjalan sendiri dengan angkutan umum. Karena bosan menunggu Hifza di lobby, akhirnya ia memutuskan pergi ke toko buku.

Lamunannya tersadar ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya.
“Kenapa gak beli geez&ann aja?” ucap pria dibelakangnya.

Aquila menoleh ke belakang, dan mendapatkan Hifza sedang tersenyum menatapnya. Cowok didepannya terlihat sangat cool padahal jika di sekolah sangat tengil, tetapi hanya dengan memakai kaos putih dibalut dengan switer rajut bercorak cokelat, juga celana levis warna hitam, dan tak lupa sepatu yang terlalu keren bagi Aquila untuk seorang Hifza yang tengil, membuat dirinya sedikit melongo.

Aquila menepuk jidatnya, mengapa pikiran nya tidak membeli novel salah satu idolanya. Aquila menoleh kanan dan kiri, ia tidak menemukan novel itu sama sekali, lalu ia pergi berjalan ke salah satu rak lagi.

“Oh ini dia.” seru Aquila dengan riang, menunjuk novel berwarna biru telur asin, dan mengambilnya untuk dibawa ke kasir.

Setelah membayar, ia kembali kepada Hifza yang sedang menunggunya di depan pintu toko buku.

“Makasih sarannya Za,” ujar Aquila setelah ada di hadapan Hifza.

“Sama sama Qila,” ucapnya dengan senyum yang begitu manis.

“Kita mau nonton apa Za?” tanya Aquila sambil memperhatikan sekelilingnya yang tidak begitu ramai. Aquila tidak tahu mengapa ia menerima ajakan Hifza untuk nonton bareng. Padahal sejak awal ketemu, malas banget dekat-dekat sama cowok tengil satu ini, apalagi temenan. Tapi ia seperti termakan omongan sendiri.

“Disney, suka gak?”

“Suka suka aja sih,”

“Oh iya mau gak?” tanya Hifza sambil menyodorkan minuman buble yang sejak tadi diminumnya

Aquila sedikit terperangah, ia melihat sedotan yang tertusuk di gelas minuman bubble tersebut. Mengapa tiba tiba pikirannya melanglang buana ke lain-lain. Sebenarnya ia mau, tapi rasa malu nya muncul, karena satu sedotan itu.

“Kenapa? Gak mau? Padahal enak lho, seger seger gimana gitu.” Ledek Hifza sambil mengusap jakunnya seperti iklan minuman yang sedang kehausan.

“Yang itu aja, yang masi utuh.” Aquila menunjuk satu minuman bubble di dalam plastik yang digenggam oleh Hifza.

“Ini dulu abisin, gw kenyang, yang ini buat di dalam bioskop aja, okay?”

Akhirnya Aquila mengambil minuman tersebut, lalu menyedotnya. Tentu, Aquila merasakan sensasi yang berbeda. Aquila sebenarnya malu, karena bisa dibilang satu sedotan dengan lawan jenis itu seperti ciuman secara tidak langsung.

Sebelum masuk ke dalam bioskop, mereka memasukkan minuman bubble yang masih utuh ke dalam tas milik Aquila, agar tidak ditahan di depan pintu bioskop. Setelah memesan tiket film Maleficent. Mereka langsung berjalan menuju pintu teater dua, karena sudah dibuka dan dipersilahkan untuk masuk.

Setengah jam sudah berlalu. Selama itu juga, mereka tidak henti-hentinya menebak-nebak cerita atau bahkan debat. Hifza memang kelewat cerewet. Sampai di adegan sedih pun, mereka tetap ngobrol dan tidak menangis seperti penonton lainnya. Walaupun mereka berbicara dengan berbisik, mereka berdua tetap bercanda gurau, padahal sedang di dalam bioskop.

“Kok tangan lu dingin banget dah?” tanya Hifza ketika tangan mereka berdua tidak sengaja bersentuhan. “deg-deg an ya lu nonton sama gw.” Hifza terkekeh.

Aquila memukul lengan Hifza, “Gak mungkin lah, yang ada gw deg-deg an sama akhir ceritanya kek gimana.”

Hifza mengaduh, “Yeu gak usah cari alasan deh,” dengan pencahayaan yang sedikit minim dari layar lebar, Hifza menjulurkan tangannya di depan Aquila. “sini biar lebih hangat.”

Aquila sedikit ragu, ia belum pernah berpegangan tangan atau skinship dengan lawan jenis, selain ayahnya.

“Kenapa? Gak mau? Tangan kosong gw hangat tau, gak bakal ada yang marah kok kalo itu yang lu takutin.” Ucap Hifza meyakinkan Aquila. Kali kali modus sama gebetan.

Dengan perlahan, Aquila menjulurkan tangannya untuk di genggam oleh Hifza. Perasaan hangat mulai muncul dari tangannya lalu seperti tersengat listrik menjalar sampai ke hati dan pikirannya.

Dunianya seolah terhenti, suara yang menggema di dalam bioskop saja tidak terdengar oleh  telinga Aquila. Ia hanya mendengar suara jantungnya yang berdegup kencang, ucapan Hifza yang terngiang-ngiang di pikirannya, bahkan perutnya terasa geli seperti ada kupu-kupu yang beterbangan. Perasaan apa ini? gumam Aquila dalam hati.

“Tangan lu dingin banget La, tapi kenapa tangan gw hangat banget ya?” pertanyaan Hifza membuat Aquila hanya menggelengkan kepala, lalu kembali menatap layar jauh di depan sana, ia hanya malu dan gugup untuk menatap mata Hifza.

“Mungkin emang kita dijodohin kali yah, biar saling menghangatkan dan menyayangi.” Ucap Hifza mulai ngawur. “dari tangan aja udah keliatan, kalo gw emang orangnya hangat banget dan lu itu terkesan dingin banget.” Hifza mulai tertawa pelan.

Aquila menoleh, menatap Hifza tajam, “Enak aja, gw juga punya perasaan hangat kali.”

“Apaan hangat, yang ada galak banget kayak emak-emak.” elak Hifza mulai memancing amarahnya.

“Lu bawel kayak emak-emak.” Jawaban singkat dari Aquila membuat Hifza terdiam dan tidak berbicara lagi. Tetapi tangannya yang tergenggam dengan Aquila tidak bisa diam, mengganggu Aquila dengan menggerakkan tangannya sampai memukul pipi Aquila bekali-kali. Pipinya tidak sakit, tembok es di hatinya  mulai sedikit berjatuhan. Tangan Hifza terlalu dekat dengan wajahnya. Terkadang Hifza mencubit pipinya atau hidungnya.

“Pesek banget hidungnya, sini gw kasih hidung gw yang mancung.” Hifza mulai mengejeknya lagi, seperti tidak peduli dan tidak fokus dengan layar lebar di depannya. Padahal cowok itu sendiri yang mengajaknya untuk nonton, tetapi dia sendiri seperti tidak niat untuk menonton dan lebih memilih banyak berbicara atau berkomentar. Untung saja, barisan yang mereka duduki kosong, hanya mereka berdua yang menempatinya.

“Turunan dari keluarga mama nih, tar gw bilangin sih ke keluarga besar mama,”

Hifza menatap Aquila ngeri, ia pernah dengar kalau keluarga besar mama Aquila itu banyak. Karena nenek Aquila mempunyai anak lebih dari sepuluh.

“Nggak deh, keluarga lu kek gen halilintar, atau jangan-jangan lu gen geluduk ya?” lagi lagi Hifza ngawur, membuat Aquila tertawa pelan, agar tidak menggangu penonton yang lain.

Aquila melepaskan genggamannya dari tangan Hifza, “Bawel banget anaknya,”

“Eh Qila jangan dilepas, udah nyaman ini, janji bakal diem sampai filmnya habis deh.” Kata Hifza sambil memohon dengan menjulurkan tangannya.

Lalu tanpa pikir panjang Aquila menggenggamnya lagi, “Iya bawel.”

Jujur ia juga nyaman dengan hangatnya tangan Hifza, dan gangguan nya terhadap wajah tembam miliknya. Tapi perasaan takut kehilangannya muncul, ia menjadi takut jatuh cinta dengan Hifza. Ia tidak ingin hal itu terjadi dua kali. Ia tidak mau kalau sampai cowok di sampingnya ini juga meninggalkannya, seperti seseorang di masa lalunya.

~~~

Gw gapaham, emang bener klo ide² muncul di malam hari. Tapi ini gw kelewatan anjir:v bodoamat ahh:)

AQUILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang