Sebenarnya Rindu

33 2 0
                                    

Ada rasa yang menggantung di dadaku saat ini. Yaitu rindu. Ya, rindu. Rindu kepada seorang Ibu yang kupanggil Umi selama enam belas tahun ini. Sudah satu bulan lebih aku tak merasakan kehadirannya. Rasanya benar-benar kosong.

Setelah masuk ke Pondok Pesantren An-Najmul Quran, hampir setiap malam aku menangis. Selalu terbayang hal apa saja menyangkut Umi. Wajah, senyuman, kasih sayang dan semua yang kudapatkan darinya selama enam belas tahun ini. Jiwaku meronta-ronta ingin segera bertemu.

Jujur, aku tak pernah jauh dari Umi sebelumnya. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke pesantren. Sekolah di pesantren tentu saja banyak tantangannya. Pertama, rela jauh dari orang tua. Kedua, makan dengan menu seadanya. Ketiga, harus patuh dengan peraturan yang ada. Keempat, metode belajar yang jauh berbeda dengan sekolah pada umumnya. Lima? Siap-siap mendapat hukuman yang tidak biasa jika ketahuan melakukan pelanggaran.

Semua hal yang menyeramkan tentang pesantren sudah kudengar dari Bang Alfa, namun itu semua tak menggoyahkan keinginanku untuk masuk ke PPAQ. Bahkan Umi sempat melarangku dengan alasan kesehatan. Begitu juga dengan Abi yang menganjurkanku untuk masuk ke Madrasah Aliyah di dekat rumah saja. Tapi karena kuatnya keinginan serta baiknya sifatku selama di SMP, yang tidak banyak pinta seperti Bang Alfa, akhirnya Umi dan Abi mengizinkanku untuk masuk PPAQ. Dengan syarat, aku harus benar-benar menjaga kesehatanku. Karena hal itulah satu-satunya sebab yang menghalangiku selama ini.

Kututup buku yang sudah menemaniku beberapa puluh menit yang lalu. Begitu juga pulpen yang menyisip di genggaman tanganku. Aku mengembalikan barang-barang itu pada tempatnya. Kemudian bergegas ke kamar mandi.

“An..” Ana terbangun dari tidurnya.

Aku menoleh. “Li madzaa, Na?” tanyaku.

Ilaa ayn?”

Hamam,”

“Aku ikut,”

“Sst!” aku menempelkan jari telunjukku di bibir Ana, “jangan keras-keras bicaranya! Jasusah, Na,” ingatku dengan suara berbisik.

Ana bergidik, melirik ke arah Fitriya yang merupakan Jasusah minggu ini. Sudah terlelap. “Hayaa!” ajak Ana lalu berdiri dan membuka pintu kamar mandi lebih dulu.

Bi sur’ah, An!” perintah Ana setelah menyelesaikan wudunya.

Aku mempercepat gerakan sikat gigiku. “Aintazar lahza!” pintaku di sela-sela berkumur.

“Kau sedang apa tadi?” Ana memilih jongkok di tempat berdirinya.

“Baca,” jawabku. Selesai menyikat gigi, kulanjutkan dengan berwudu.

Usai aktivitas di kamar mandi, kami kembali masuk ke kamar. Ana langsung menghempaskan tubuhnya di kasur. Sementara aku memilih untuk Shalat Sunah terlebih dahulu. Kutarik mukena yang menggantung di depan lemariku dan membentangkan sajadah yang ada bersamanya.

“Shalat?” tanya Ana yang masih mengeringkan wajahnya dengan selimut.

Aku mengangguk. “Tidur saja dulu,” anjurku.

Dia balas mengangguk. Lalu menarik selimutnya sampai menutupi kepala. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sedikit aneh saja jika melihat orang tidur dengan kepala tertutup. Apa nafasnya tidak sesak? Aku bertanya sendiri. Ana. Lagi-lagi aku terheran-heran dibuatnya. Dia adalah salah satu teman dekatku saat ini setelah Yunah dan Wawa. Karena hanya dia satu-satunya teman asrama yang membuatku merasa nyaman. Sedangkan Yunah dan Wawa karena kami berada di kelas eksperimen yang sama yaitu kelas A. Sementara Ana berada di kelas B. Untuk perbedaan kedua kelas ini hanya pihak PPAQ yang bisa menjelaskannya. Para santri tidak ada hak untuk mengetahui rahasia Pondok Pesantren.

Mengapa Kau Jatuh Cinta? (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang