Jangan Pacaran!

15 1 0
                                    

  
Pukul 09:10 WIB, seluruh santri PPAQ beriringan masuk ke Masjid untuk melaksanakan Shalat Dhuha berjamaah. Cuaca di luar agak terik, Aniqa dan Yunah yang sudah memakai mukena baru saja keluar dari tempat wudu perempuan. Suara peringatan dari dalam Masjid kembali terdengar untuk yang ketiga kalinya. Mereka mempercepat langkahnya.

“An, itu bukannya Akh Hamiz?” Yunah memberi kode dengan lirikan matanya.

Aniqa mengikuti arah mata Yunah. “Iya, kenapa?” tanyanya setelah melihat Hamiz yang hendak masuk ke Masjid.

“Bukannya hari ini dia harus berangkat ya?” heran Yunah.

“Iya, memangnya kenapa?” Aniqa kembali bertanya.

“Sempat-sempatnya dia Shalat Dhuha di Masjid ya,” Yunah berdecak-decak kagum.

“Ya, baguslah, Yun,” tanggap Aniqa.

“Benar-benar idaman calonmu ya, An,” Yunah kembali berdecak-decak kagum.

“Yunah..” Aniqa memelototi Yunah.

“Iya.. iya..” Yunah berhenti.

Iqamat dikumandangkan. Semua jamaah berdiri dan merapatkan saf lalu ikut mengangkat takbiratulihram setelah Imam. Shalat Dhuha kali ini terlaksana dengan tertib dan tenang tanpa ada barisan masbuk di belakang.

Assalamu’alaikum warahmatullah..” Imam memberi salam tanda Shalat sudah selesai.

Selanjutnya sebuah suara menggantikan Imam untuk memimpin  zikir  pagi dan doa setelah Shalat Dhuha. Semua jamaah mengaminkan doa-doa yang dilafalkan oleh suara itu.

“Aamiin..” Aniqa ikut mengaminkannya di dalam hati.

Selalu sejuk ketika mendengar suara itu. Bacaannya tenang dan berwibawa. Setiap doa yang dilafalkan selalu sampai di hati siapa saja yang mendengarnya. Aniqa kagum. Tapi sampai sekarang ia belum tahu siapa pemilik dari suara serak-serak basah itu. Walaupun suaranya tak seindah Akh Hamiz, bacaannya sangat fasih dan jelas. Dan Aniqa suka itu.

“An,” Yunah membuyarkan lamunannya.

“Ayo, katanya mau beli pena? Cepat! Nanti lonceng,” Yunah langsung berdiri setelah melipat mukenanya.

“Yuk!” Aniqa ikut berdiri

Di jalan, tak sengaja mereka berpapasan dengan Hamiz. Yunah yang mengerti suasana, langsung memilih duduk di teras Masjid. Sementara Aniqa terpaku di tempatnya.

“Saya tidak langsung ke Madinah. Untuk sementara saya di Jakarta dulu, mengikuti sebuah kelas di sana. Persiapan,” jelas Hamiz. Membuat perasaan Aniqa sedikit lapang. Sementara Yunah mengangguk-angguk. Tadinya mereka kira Hamiz langsung ke Madinah.

“Aniqa sudah baca bukunya?” tanya Hamiz tiba-tiba.

Aniqa tergagap. “Sud-sudah, Akh. Tapi belum semuanya,” jawabnya.

“Tidak apa-apa. Bagus. Kalau begitu, jangan lupa baca semuanya ya! Saya tinggal dulu,” pamitnya. Lalu melangkah pergi.

Tapi belum jauh dari Aniqa dan Yunah, ia kembali lagi. “Ada yang lupa, semangat belajarnya dan jangan pernah pacaran! Ok?” ia mengacungkan jempol ke arah Aniqa dan juga Yunah sembari menyampirkan serban ke bahu kanannya.

“Iya, Akh,” jawab Aniqa.

“Mantap! Kalau begitu saya pamit dulu,” ia mengucapkan salam.

“Wa’alaikumussalam..” jawab Aniqa dan Yunah. Kompak.

Hari ini berakhir sudah masa pengabdian Hamiz di PPAQ. Sekarang adalah waktu untuk memperjuangkan cita-citanya. Ia harus menghilangkan semua gundah gulana yang tertinggal di PPAQ. Harus. Demi terwujudnya sebuah mimpi, ia akan mengganti kesedihannya dengan keceriaan.

Mengapa Kau Jatuh Cinta? (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang