Antrean di kantin masih panjang. Membuat aku, Ana, Yunah dan Wawa terpaksa menunggu di belakang lebih lama. Ana terlihat kepanasan, ia berkipas dengan piring plastiknya yang masih kosong. Bangunan dengan atap seng ini benar-benar membuat kami merasa dipanggang. Dikukus, mungkin lebih tepatnya. Alhamdulillah, karena wajah kami tak sampai hangus.
Ana mempercepat kipasannya. “Sabar ya,” bisikku di telinganya
Ia mengembangkan hidung, di dahinya sudah banjir dengan keringat. “Panas,” ia tak begitu menanggapi perkataanku.
“Sabar, Na. Demi sesuap nasi untuk siang ini,” sambar Wawa yang tiba-tiba pindah ke barisan kami.
“Eh, itu barisanmu diambil loh,” tunjukku.
“Oh, iya ya?” Wawa kembali lagi ke antreannya. Lalu menyengir ke arahku.
Wawa. Teman dekatku yang satu ini selalu gagal membuat lelucon. Itu sebabnya aku menyarankan dirinya untuk kembali ke tempatnya semula dari pada mendapat semburan dari Ana.
“An, setelah ini temani aku ke perpustakaan, yuk!” ajak Yunah.
“Ok,” aku mengangguk.
Setelah makan siang, aku dan Yunah langsung ke perpustakaan. Yunah ingin bertemu dengan abangnya di sana. Biasalah, untuk apalagi kalau bukan untuk meminta uang jajan. Begitulah enaknya punya saudara di pesantren apalagi saudara kandung seperti Yunah dan abangnya, Akh Wais. Kalau saja Bang Alfa masih ada di pesantren ini, mungkin sama seperti Yunah.
“Ada apa lagi?” tanya Akh Wais, melihat kedatangan adiknya.
“Biasalah, “ jawab Yunah.
“Sebentar!” pinta Akh Wais. Kemudian keluar dari perpustakaan dan memasang sandalnya.
Aku dan Yunah mengambil beberapa buku dan duduk di kursi untuk membacanya menjelang Akh Wais kembali dari asrama. Yunah mengambil Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sementara aku mengambil Ensiklopedia Kesehatan. Tak begitu paham dengan kata-kata ilmiah, aku memilih untuk melihat-lihat gambarnya saja. Halaman demi halaman kusibak, tak ada yang kumengerti sama sekali. Sampai sebuah gambar membuatku tertegun dan menarikku untuk membaca keterangannya. Gambar 5.6 Keadaan saat anak terserang gejala Reflex Anoxic Seizure. Aku berpikir sejenak. Gambar ini mengingatkanku dengan masa itu. Masa di mana aku terserang kejang-kejang ketika menangis. Apakah penyakitku sama dengan yang ada di gambar ini? Kelihatannya sama, tapi aku tidak tahu persis apa nama penyakit yang menyerangku saat itu.
Di pesantren ini tidak ada yang tahu, sewaktu SD aku sering mengalami serangan kematian itu. Namun syukurnya, penyakit itu hilang atas izin Allah dan tentunya juga berkat usaha Abi dan Umi yang membawaku ke berbagai tempat untuk berobat.
“Lihat apa, An?” tanya Yunah. Ia sudah mengembalikan buku yang dibacanya.
Aku memperlihatkan gambar yang baru saja kuperhatikan. “Ini,” tunjukku.
“Apa ini?” Yunah menariknya. Ia memperhatikannya dengan saksama. “Reflex.. Anoxic.. ejanya, membaca tulisan yang ada di bawah gambar itu.
“Aku tidak paham,” ia menyerah. Lalu berjalan ke arah pintu, menunggu kedatangan Akh Wais.
“Abangmu lama sekali, Yun,” aku ikut berjalan ke arah pintu setelah meletakkan buku itu kembali ke raknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Kau Jatuh Cinta? (ON GOING)
General FictionMeski tak jarang luka diterimanya, Aniqa tetap teguh memegang keyakinan bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika semuanya atas izin Allah. Jatuh cinta dengan seorang Rashfan, perlahan menumbuhkan kesabaran dan keikhlasan di hatinya. Sab...