“Wa’alaikumussalam, Abi,” jawabku di akhir sambungan.
Aku tersenyum bahagia. Karena bisa mendengar suara Umi lagi, walaupun hanya via telefon. Dan kabarnya, pagi ini Bang Alfa berangkat ke Mesir untuk melanjutkan pendidikannya di sana. Aku kembali bersedih. Karena tidak bisa ikut bersama keluarga untuk mengantarnya ke bandara. Yang membuatku tambah sedih, aku tidak bisa berjumpa dengannya lagi untuk beberapa tahun ke depan karena jarak Indonesia-Mesir yang sangat jauh. Tapi tak apa, semoga Bang Alfa sampai di sana dengan selamat. Dan semoga saja di tahun-tahun berikutnya aku juga bisa melanjutkan pendidikan di sana. Aamiin.
“Kholasti?” tanya Yunah yang meninjauku dari luar.
“Kholastu,” aku segera keluar dari ruang telefon untuk menghampiri Yunah yang sudah lama menungguku.
“Haya!” ajakku seraya menggandeng tangannya.
Usai berolah raga, sekarang saatnya untuk gotong royong sekitar asrama dan pekarangan sekolah. Aku, Ana dan beberapa anggota kamar yang lainnya mendapat tugas di lapangan. Sebelum melaksanakan tugas masing-masing, Ukh Silvy selaku ketua bagian kebersihan, menyarankan adik-adiknya untuk sarapan terlebih dahulu. Setelah perkumpulan dibubarkan, kami langsung bergegas ke kantin. Karena di kantin belum ada orang, kami mendapat antrean pertama dan bisa sarapan dengan cepat. Setelah itu kami langsung melaksanakan tugas dan tidak bertele-tele supaya cepat selesai dan bisa langsung istirahat tentunya. Tugas kami berakhir di tempat pembuangan dan pembakaran sampah.
“Eh, dibakar dulu,” seru Ana. Membuatku dan yang lainnya menghentikan langkah.
“Ada pemantiknya?” tanyaku.
“Ada,” Ana mengeluarkan sebuah macis dari dalam saku kaosnya. Lalu berusaha menghidupkan api.
Berulang kali ia coba, namun tak berhasil. Angin memadamkannya dan membuat Ana kesal.
“Plastiknya dibakar, Na!” saranku.
“Basah, An,” ujarnya.
Aku langsung turun tangan dan mencobanya. Tak lama dari itu, sebuah benda menggelinding dan hampir masuk ke pembuangan sampah. Ah, bola-bola! Membuatku terkejut saja. Kulihat seorang laki-laki berlari ke arah kami. Akh Hamiz. Aduh, sepertinya ia mau mengambil bola itu. Dan, benar. Ia mengambilnya, namun bukannya pergi ia malah terdiam di tempatnya.
“Kenapa?” tanyanya.
“Apinya tidak bisa hidup, Akh,” adu Ana. Sementara aku hanya diam.
“Karena angin ya?” tebak Akh Hamiz. Tepat.
“Iya, Akh,” sambut Fitriya.
“Ya sudah, kalau begitu sini macisnya,” Akh Hamiz mengulurkan tangannya ke arahku. Lalu kuberikan macis itu padanya.
Ia memantik macis itu beberapa kali, namun tidak ada api yang keluar dari sana. Ia mencobanya sekali lagi dan hasilnya tetap sama. “Tadi macisnya baik-baik saja, kan?” tanyanya pada kami.
“Baik-baik saja kok, Akh,” jawab Ana. Karena dialah pemilik macis itu.
“Waduh, jadi rusak,” Akh Hamiz menggarut kepalanya yang menurutku tidak gatal. Dia jadi bingung karena macis di tangannya tak kunjung menyala.
“Tunggu sebentar ya,” ia melempar bolanya ke lapangan dan langsung disambut oleh Akh Dinar.
Langkahnya menjauh dari lapangan menuju asrama putra. Tak lama ia keluar lagi dan langsung berlari arah kami. “Dicoba lagi ya,” izinnya pada kami. Lalu kembali memantik api dengan macis miliknya.
Tak berapa lama api hidup dan perlahan memakan apa saja yang ada di dekatnya. Termasuk Akh Hamiz. Eh, tidak! Aku hanya bercanda. Lucu? Ya, tidak lucu. Sama sekali tidak lucu. Hah, aku bicara apa? Astaghfirullah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Kau Jatuh Cinta? (ON GOING)
General FictionMeski tak jarang luka diterimanya, Aniqa tetap teguh memegang keyakinan bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika semuanya atas izin Allah. Jatuh cinta dengan seorang Rashfan, perlahan menumbuhkan kesabaran dan keikhlasan di hatinya. Sab...