Student Experiment Days

30 1 1
                                    

IMTIYAZAH ANIQA. Alhamdulillah, akhirnya aku menemukan namaku di sana. Aku harus mengabarkan kabar baik ini pada Umi dan Abi. Harus. Aku segera berlari ke ruang telefon disusul Yunah dan Wawa.

Intazorna!..” teriak Wawa.

Saking bahagianya, aku tidak memedulikan mereka. Kupercepat langkahku bahkan berlari untuk sampai di Rutel. Sementara Yunah dan Wawa berlomba-lomba menyusulku. Sesampainya di Rutel, aku langsung menghubungi Umi. Sedangkan Yunah dan Wawa menunggu di luar.

“Masuk saja!” anjurku. Tak tega melihat mereka kepanasan di luar sana.

“Nanti kalau ketahuan bagaimana?” tanya Wawa.

Khusus di Rutel, tidak diperbolehkan masuk lebih dari satu orang. Kalau ketahuan akan dikenakan sangsi. Dan sekarang sedang tidak ada penjaganya.  Menurutku tidak ada salahnya mereka ikut masuk. Lagi pula aku hanya menghubungi orang tuaku. Apa salahnya mereka ikut mendengarkan?

“Kalau ketahuan tanggung jawab ya, An!” pinta Yunah.

“Iya, aman-aman,” tenangku.

Aku kembali menghubungi Umi karena belum juga mendapat jawaban. Bunyi sambungan masih terdengar di telingaku. Tapi kenapa tidak diangkat-angkat? Aku jadi kesal. Memangnya Umi dan Abi ke mana? Kenapa tidak menjawab telefonku?

“Wah, kayaknya disilent,” terka Wawa.

Aku mengangguk. “Ya sudah, kalian saja,” pasrahku. Kuletakkan gagang telefon itu kembali ke tempatnya.

Belum sempat aku duduk di sebelah Yunah, telefon itu akhirnya berbunyi. Aku langsung mengangkatnya. “Assalamu’alaikum,” ucapku dengan bahagia.

Senyumku langsung memudar ketika yang kudengar bukan suara Umi. “Ya, Bu. Ada apa, Bu?” tanyaku. “Oh, Wawa?” aku melirik Wawa. Yang dilirik menatapku penuh tanda tanya.

“Wah, kebetulan sekali, Ibu. Wawanya ada di sini, sebentar ya, Bu,” aku menutup microphone telefon dan memanggil Wawa untuk segera mendekat.

“Aku?” tanya Wawa. Tidak percaya.

“Iya, cepat!” perintahku.

Ia segera menggeser duduknya mendekatiku. Kemudian aku menyerahkan telefon itu kepadanya. Lalu dengan senyum semringah ia menerimanya. “Halo, Ma..” sapanya dengan manja. Sementara aku dan Yunah hanya bisa menyaksikannya.

“Alhamdulillah, Ma. Memangnya Mama tahu dari siapa?” Wawa mulai larut dengan obrolannya. “Oh, Ustadz itu namanya Khairi, Ma,” ujarnya sambil sesekali melirik ke arah kami.

Ah, kenapa malah Wawa yang mendapat telefon? Padahal aku sudah menunggu dari tadi. Umi ke mana memangnya? Kenapa dia tidak mengangkat telefonku? Lagi-lagi aku hanya bisa bertanya-tanya pada diri sendiri. Ya sudah, mungkin hari ini Wawa yang beruntung. Aku tidak.

“Iya, besok sudah bisa jenguk kok, Ma,” beri tahu Wawa. “Eh, iya kan?” tanyanya pada kami untuk memastikan. Aku mengangguk.

“Ok, Ma. Janji datang ya, Ma,” pinta Wawa. “Dek Maryam jangan ditinggal,” ingatnya.

Aku dan Yunah langsung berbinar mendengarnya. Maryam. Sosok yang selalu diceritakan Wawa. Adik kecilnya yang katanya cantik dan lucu itu akan datang ke PPAQ. Aku jadi tak sabar ingin melihatnya secara langsung. Seperti apakah wajahnya? Apa ada kemiripan dengan Wawa? Aku benar-benar penasaran, seperti apa keluarga Wawa.

Selama ini kami hanya mendengarkan cerita Wawa tentang keluarganya. Sama seperti aku dan yang lainnya. Kami hanya bisa bercerita tentang keluarga masing-masing tanpa memperkenalkannya secara langsung. Karena sudah menjadi peraturannya, santri eksperimen tidak boleh dijenguk oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun, sebelum waktu yang telah ditentukan. Terkecuali karena sakit. Alhamdulillah, setelah satu semester akhirnya masa eksperimen kami selesai. Semester berikutnya, kami akan bergabung dan belajar aktif bersama santri-santri seangkatan yang lainnya. Dan itu artinya, kami sudah bisa dijenguk setiap dua bulan sekali.

Mengapa Kau Jatuh Cinta? (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang