Awal

130 15 7
                                    

Seorang gadis kecil berpakaian seragam putih biru yang ditaksir berusia 12 tahun mengayuh sepedanya dengan semangat. Sembari bersenandung ria mempertunjukkan senyuman termanis miliknya.

Ia baru saja pulang sekolah, hari ini merupakan hari yang sangat membahagiakan baginya, mengingat percakapan dirinya dan sang ayah tadi malam melalui ponsel,membuat dirinya semakin semangat mengayuh sepeda berukuran lebih besar darinya.

Pasalnya,sang ayah yang baru saja dibebas tugaskan dari misi negara berjanji pada putrinya untuk pulang pada hari ini,dan ayahnya berjanji akan tinggal lebih lama sebagai salah satu hadiah ulang tahun gadis kecilnya 3 bulan lagi.

Ia merasa menjadi gadis yang benar-benar paling bahagia dan paling beruntung. kembali mengingat janji tersebut ia tidak mau membuang-buang waktu ia menambah tenaga kayuhannya agar bisa cepat sampai dirumahnya.

Setibanya ia tepat di depan rumahnya,bukan sapaan hangat sang ayah yang ia dapati,bukan pula senyum sumringah seperti yang biasa ayahnya lakukan ketika pertama kali pulang dari tugas saat baru menemuinya.

Perlahan,senyumnya yang mengembang sepanjang perjalanan tadi hilang berganti dengan tatapan bingung.

Ada apa? Kenapa rumahnya kini dipenuhi banyak orang berpakaian serba putih? Dan, kenapa ada bendera putih yang menggantung di depan rumahnya? Semua pertanyaan-pertanyaan itu muncul begitu saja di otaknya.

Seolah kembali ditarik oleh dunia nyata ia tersadar dari lamunan pertanyaannya. Kemudian ia turun dari sepeda yang merupakan kado ulang tahun dari ayahnya tahun lalu.

Ia berjalan seperti biasa dan menghilangkan semua pikiran-pikiran buruknya tentang ini, detik ini juga ia berharap semua hanyalah mimpi.

"Kara,yang sabar ya nak. Bibi yakin kamu kuat." Itu suara bibi lidya, adik kandung ayahnya.

"Bibi,kenapa rame?kenapa bibi nangis?" Tanya gadis kecil itu keheranan.

Bukan jawaban yang di dapatnya,melainkan tangis bibi lidya yang semakin pecah. Melihat itu ntah mengapa gadis kecil itu ikut menangis.

Ia sadar,ia tak boleh seperti ini,ia tak boleh menangis,tidak. Ia menghapus air matanya kembali berdoa dengan penuh harapan lalu berlari masuk ke dalam rumah.

Disana,ia melihat ibunya menangis kencang disamping seorang yang tengah tidur tertutup kain, sebagian orang membaca surat yasin.

Ia tak melihat adanya kakak laki-laki dan adik perempuannya. Kemudian ia berjalan mendekati ibunya. Air matanya sudah luruh duluan. Tidak, jangan menangis kara! batinnya berbicara. Kemudian ia hapus lagi air mata itu dengan kasar.

"Ibun" panggilnya.

"Ibun" panggilnya lagi.

"Karaa!! Maafin ibun sayang,maafin ayah nak,maafin sayang,maafin." Rintih Melia -ibunya yang langsung memeluk gadis kecil itu dengan kuat.

Ia terdiam,belum mengerti mengapa semesta secepat ini berputar. Kemudian,air matanya tumpah dengan deras. Kini,ia tak lagi mau menghapus air matanya,biarkan saja seperti ini.

"Ibun" panggilnya di sela isakannya,kemudian sang ibu memegang kedua bahu putrinya ini menatap lurus ke mata anaknya yang masih menangis.

"Ayah pergi ya bun?" Tanyanya memberanikan diri.

Melia menunduk,meneteskan kembali air matanya. Gadis itu melihat ibunya mengangguk,ia langsung memeluk ibunya kembali.

Bertahan lama dalam pelukan sang ibu,akhirnya ia lepas pelukan tersebut lalu menghampiri sang ayah yang sudah terbaring tak bergerak.

UNDETECTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang