Matahari sudah terbit dari 3 jam yang lalu. Tapi, aku tak berniat untuk beranjak dari kasur milik Reskya. Ya, kini aku sedang ada di kamar kost-nya. Karena aku yang mengatakan bahwa tak akan pulang pada ibu membuatku harus memutar otak di mana gerangan aku akan menginap malam ini. Dan untungnya Reskya masih mau menampung aku di sini. Padahal aku keseringan banget nyusahin dia. Mulai dari minta makan gratis, dan gak tahu malunya ngeberantakin isi kamar kostan Reskya tanpa mau membereskannya kembali, dan jangan lupakan kebiasaanku yang selalu mencoba make up yang bahkan belum disentuhnya sama sekali. Ia cukup tahu kebiasaanku yang bisanya cuma nyusahin doang.
Jadi sebelum aku menginap, dia pasti akan mewanti-wanti ini itu."Woy kebo, wake up." Reskya terus menggoyangkan lenganku dengan kasar. Satu, dua kali bolehlah. Tapi, kalau terus-terusan gini kan sakit juga badan. Mana dari kemarin gak istirahat biar sedikit.
"Five minutes Ky. Gue ngantuk banget." Aku memang tak main-main dengan kata-kataku yang ini. Aku benar-benar mengantuk. Bagaimana tidak?. Tadi malam aku baru pulang dari club bersama Eky jam 3 dan baru bisa memejamkan mata ketika jam sudah menunjukkan pukul 4.30 dan bersamaan dengan di kumandangkan adzan yang tepat berada di samping kostan Reskya. Aku sih biasa aja. Orang dari sononya juga kaya gitu. Meskipun ibu sering memberitahukan agar tak pernah meninggalkan kewajiban sholat lima waktu terlebih lagi usiaku yang sudah dewasa. Tapi sanking keseringan ceramah sampai-sampai nasehat ibu tak ada yang masuk ke otakku. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Kata ibu sih kaya gitu.
"Woy balik gak?. Aku mau ke kampus. Ada kelas pagi nih. Kamu pulang sana. Nyusahin tau gak?. Ntar makanan di dapur ludes lagi gara-gara perut karetmu." Reskya, Reskya. Bosan sudah ku dengar kalimat yang selalu sama ketika terlontar dari bibir pink meronanya. Takut makanan habis. Dia kira aku rakus apa. Ya, walaupun kadang-kadang sih. Tapi kan gak setiap hari. Dia memang bukan orang asli Unaaha, tapi berasal dari Onembute. Dia itu orangnya anti pulang kampung sebelum sukses. Kembali ku ingatkan, bahwa walaupun belangsak tapi dia adalah temanku yang paling waras di antara yang lain.
"Ya udah berangkat sono. Nanti aku pulang kok. Paling jam 12." Ucapku santai masih memejamkan mata dan tak berniat beranjak dari ranjang milik Reskya. Memang sih tak empuk seperti milikku tapi bukan berarti aku akan menyia-nyiakannya.
"Ihh..Ra, tadi ibu nelpon ke HPku tau. Katanya kalau kamu udah bangun suruh cepet pulang. Dia bilang HPmu gak aktif." Reskya berujar sambil memasukkan make upnya ke dalam sling bag berwarna mocca favoritnya.
Aku langsung bangun dan terduduk mendengar ibu menelepon Reskya. Setahuku ibu tak tahu nomor Reskya.
"Ibu dapat nomormu dari mana?. Perasaan aku gak pernah ngasi dan ibu pun gak pernah minta." Tanyaku dengan suara serak khas orang bangun tidur. Masih terus sibuk mengumpulkan kesadaran yang hinggap entah kemana.
"Mbak Nadia yang minta waktu aku kerumah. Katanya dia gak tahu satu pun nomor temanmu. Gitu. Udahlah pulang sana. Dah siang ogeb. Ayahmu pun pasti udah berangkat." Berangkat yang di maksud Reskya adalah berangkat ke kebun. Jangan berharap bahwa aku terlahir menjadi anak seorang pejabat. Aku memang terlahir sebagai anak dari seorang petani. Malu sih. Tapi, ya mau gimana lagi. Tapi, aku cukup bangga dengan ayah. Karena walaupun hanya bekerja sebagai petani tapi ia masih bisa menyekolahkan anaknya sampai wisuda. Ya, kakakku satu-satunya telah menyandang gelar S.pd. di belakangnya dengan jurusan ilmu dan Sastra inggris dan kini mengabdikan profesinya di sebuah sekolah yang jaraknya cukup dekat dari kediamanku. Usiaku dan kak Nadia terpaut 7 tahun. Saat ini usiaku baru 18 tahun. Sedang dia sudah 24 tahun. Jarak yang cukup jauh. Tapi tak ayal membuat hubunganku dengannya menjadi jauh.
Aku bukannya takut pada ayah. Hanya saja jika dia yang menceramahaiku akan di sertai dengan kata-kata yang membuat hatiku remuk dan kembali patah. Bekas tamparan ayah kini masih membekas di ingatan. Secara harfiah bekasnya memang telah pudar tapi kesakitan hati yang ku rasakan sangat susah untuk di lupakan. Aku tipe orang yang mudah memaafkan tapi sulit untuk melupakan.
Dulu saat kecil, aku dan ayah bagai prangko. Lengket banget. Bahkan, aku tak bisa menjauh dari ayah sedikitpun. Setiap ayah pergi pasti aku selalu bersamanya. Tentu tidak untuk ke wc atau ke tempat privasi lainnya. Masa iya, aku mau ngikut juga?. Ntar semua rahasia ayah pun aku tahu. Aku cukup mengetahui hal-hal kecil tentangnya. Mulai dari dia yang sering banget kentut kalau lagi kedinginan atau ayah yang kadang tidur sambil menggesekkan giginya sampai kadang membuatku kesal.
Tapi, itu dulu. Sebelum pengkhianatan yang ayah lakukan pada ibu membuatku membencinya secara perlahan. Walaupun ayah selalu mengatakan bahwa saat itu ia sedang dalam mode khilaf dan memang sih waktu perselingkuhannya bisa dibilang sangat singkat. Tapi, sikapnya yang meninggalkan ibu untuk pertama kalinya terlebih waktu itu ibu baru saja di vonis oleh dokter bahwa ia mengidap penyakit kronis.
Entah bagaimana ibu bisa dengan mudahnya memaafkan manusia brengsek seperti ayah. Ya, memang terlihat tak sopan saat aku memanggilnya begitu. Tapi, ketahuilah bahwa diriku hanya terlanjur kecewa pada ayah. Tak ada yang pernah tahu bahwa aku membenci ayah. Hanya saja sikapku memang sedikit berubah padanya. Sedikit dingin dan hanya bicara seperlunya.
* * * * *
To be continue....
Part 2 udah dipublish.
Jangan sampe lupa buat comment, vote, kalau perlu follow akun Wp aku juga boleh:vKendari, 10 Januari 2020.
Salam manis penulis😘
@rgitacahyani_01
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA
Non-FictionAurora Florencia. Si biang kerok, pembuat onar. Semuanya nampak baik-baik saja. Tapi ketika hidayah datang menerpa, semua perubahan nampak percuma karena alasan utamanya telah hilang. Bersyukurlah pada Allah yang masih membuatnya bisa berpijak dibum...