"Assalamualaikum. ..bu, ibu." Suaraku terdengar menggelegar diseluruh penjuru rumah. Badan boleh kecil, tapi suara?. Jangan diremehkan. Saat aku teriak. Satu kompleks rasa-rasanya bisa mendengar.
"Ara, jangan teriak, ini rumah bukan hutan." Suara lembut milik ibu menghampiri indera pendengaran. Kupercepat langkahku menuju kearahnya.
"Bu..besok aku izin yah. Mau ada acara sama temen kampus. Kayaknya sih aku bakalan nginep deh. Soalnya acaranya baru mulai sore. Bolehkan bu?." Biasanya semua orang akan luluh dengan pancaran mataku yang memelas dan nada manja yang kulontarkan. Minus ayah tentunya. Beliau sudah terlalu kebal dengan alasan - alasan dariku yang kadang tak masuk akal.
"Kamu perasaan tiap minggu ada acara. Acara rutin atau gimana?." Tanya Ibu sampai kerutan didahi dan sekitar matanya mulai bermunculan. Usia ibu sudah menginjak kepala 4, tapi wajahnya nampak masih awet muda. Aku kadang iri padanya. Tapi jelas lah masih cantikkan aku. Orang masih keset gini.
"Ya gitu deh bu. Boleh ya bu?." Lagi-lagi aku harus mengeluarkan rayuan super maut yang kupunya. Kuharap kali ini ibu masih memberikan izin.
"Kalo ibu sih boleh aja. Kamu minta izin aja sama ayah. Emang berani?." Ibu menaik turunkan alisnya. Ia jelas tahu kelemahanku. Aku tak ingin berhubungan dengan makhluk super menyebalkan yang pernah kukenal. Siapa lagi kalau bukan ayahku?.
"Yah ibu. Gak jadi deh kalo gitu mah." Aku langsung berbalik menuju kamar. Tak ada yang istimewa didalamnya. Persis seperti kamar tidur lainnya. Kasur sigle bed disisi kanan, meja belajar disebelahnya dan lemari jati yang nampaknya tak lagi sanggup menampung semua pakaian milikku.
Kurebahkan tubuh dan mulai bergerak secara acak. Aku memikirkan alasan yang paling logis yang tidak akan membuat ayah curiga.
'Kenapa harus bingung. Toh biasanya juga gue gak izin. Kek anak gadis aja. Eh, gue kan emang masih gadis.' Kalau ayah yang sudah kebal dengan alasan - alasan dariku, sebaliknya aku sudah tetlalu kebal dengan ocehan-ocehan yang berujung masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Selanjutnya kupejamkan mata yang mulai memberat. Rasanya aku sudah tak sanggup lagi. Mulai dari kampus, kantuk memang menyerang diriku. Tapi, berusaha kutahan karena tak ingin dikeluarkan.
Kupejamkan mataku erat. Saat aku sudah hampir melayang ditengah mimpi indah yang menyapa, semuanya harus terhenti setelah indera pendengaranku menangkap teriakan cempreng milik kakak tersayang yang sangking sayangnya sampai ingin kukubur hidup-hidup. Tak bisakah semesta berkompromi untuk membuat tidurku nyanyak kali ini saja.
"Ara...jangan coba-coba buat tidur yah." Teriak kak Nadia dari ruang tamu.
"Kakak gak usah teriak-teriak." Kali ini bukan suaraku ataupun kak Nadia namun berasal dari bibir makhluk Tuhan yang paling aku sayangi. Siapa lagi kalau ibu tersayang?. Rasanya ibu cukup frustasi karena tak bisa merubah sifat kedua anak perempuannya yang nyaris menjadikan rumah lebih mirip agaknya dengan hutan.
"Ih.. mbak orang baru mau istirahat juga, gak tahu apa kalau adiknya yang cantik ini capek seharian kuliah." Muka lesu dan rambut acak-acakan bak singa tampak saat aku mulai melangkahkan kaki keluar tempat istirahat terbaik dirumah.
"Ngeluh aja bisanya. Kamu pikir mbak gak pernah ada diposisi kamu sekarang?. Mbak yang jauh lebih berpengalaman dari pada kamu. Mbak aja dulu ngeluhnya gak kaya kamu gini" Mulai lagi deh bangga-banggain dirinya. Merasa diri paling bener sudah menjadi pribadinya.
"Iya deh yang udah tua." Aku langsung ngibrit. Takut kena amukannya. Dia kalau ngamuk serem juga.
"Mbak gak tua yah. Orang umur aja masih 24 tahun. Muka masih keset gini juga." Setelah 15 menit berlalu perlahan-lahan aku menyibakkan tirai penghubung dapur dan ruang tamu. Tebakanku benar. Tangannya masih saja meraba wajah sambil sesekali melihat cermin dan menarik kulit disudut matanya. Tak ada yang salah jika kelakuan itu dilakukan oleh Mbak Nadia. Dia orangnya perfecsionis. Semuanya harus serba sempurna.
Kadang sekelebat opini tentangnya pun mulai menghampiri. Apakah ini salah satu alasan mantan suami Mbak Nadia akhirnya meminta bercerai?. Sikap perfecsionis yang mungkin berada dipuncak. Aku sendiri pun kadang jengah dengannya. Jika nilai ujianku tak sesuai dengan standarnya maka omelannya tak akan pernah berhenti. Padahal kan semua orang punya kemampuan yang berbeda-beda. Hal ini adalah salah satu alasan mengapa aku enggan berada dirumah. Jiwaku telah lelah karena dipaksa untuk menjadi sempurna. Hanya ibu yang mengerti aku dan tak akan memaksa untuk menjadi sosok yang sempurna. Ingin rasanya mengatakan pada dunia dan mengingatkan bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Kurasa itu cukup masuk akal dan membuat semesta kalah telak.
"Ra..buruan mandi udah hampir setengah tujuh." Ibu kembali meneriaki namaku. Dengan enggan kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Retina mataku tak sengaja menangkap sepatu boot berwarna hijau army. Itu pasti milik ayah. Tapi dari tadi mengapa aku belum melihat sedikitpun batang hidungnya.
"Bu, ayah udah pulang?." Tanyaku ketika tepat berada didepan pintu kamar mandi.
"Udah..barusan selesai sholat dikamar." Walaupun aku tergolong berhati batu tapi ada secuil rasa kasihan melihat pengorbanannya yang setiap hari berangkat pagi dan baru pulang menjelang malam menyelimuti bumi.
"Ohh.." Aku hanya ber-oh ria. Tak ingin melanjutkan pembahasan yang menurutku tidak penting.
Kuputuskan untuk segera mandi agar beban ditubuhku sedikit terangkat.
Setelah setengah jam kuhabiskan untuk bersemedi dikamar mandi yang berakhir dengan gedoran yang cukup memekakan telinga yang pelakunya adalah manusia bernama lengkap Nandinindhiya Nadya.
Setelah mandi kuputuskan untuk mengisi energi dan dilanjutkan dengan kegiatan menonton drama Indonesia yang sanking dramanya episodenya tak pernah selesai dari dulu.
* * * * *
To be continue .....
Yeyy...Part 4 udah dipublish.
Jangan sampe lupa buat comment, vote, kalau perlu follow akun Wp aku juga boleh:')
Wonggeduku, 15 januari 2020
Salam manis penulis😚
@rgitacahyani_01
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA
Non-FictionAurora Florencia. Si biang kerok, pembuat onar. Semuanya nampak baik-baik saja. Tapi ketika hidayah datang menerpa, semua perubahan nampak percuma karena alasan utamanya telah hilang. Bersyukurlah pada Allah yang masih membuatnya bisa berpijak dibum...