Prolog

384 53 52
                                    

Ratusan tahun yang lalu, seorang penerawang berdiri di depan mimbar. Sudah menjadi tradisi, setiap keturunan raja akan diterawang sebelum kemudian dipertimbangkan apakah pantas memimpin kerajaan. Tradisi ini digelar di tengah alun-alun kota supaya seluruh warga dapat melihatnya.

Dengan bola bersinar biru pekat di tangan kanan, ia mengarahkan ujung tongkat berkepala ular menggunakan tangan kiri, memberi energi disertai mulut berkomat-kamit, membisikkan mantra-mantra yang tidak jelas didengar. Inti bola sakti tersebut berubah kuning cerah. Hanya tergambar garis-garis abstrak di dalamnya, sedangkan penerawang bersikeras membaca garis takdir Putra Mahkota.

Tangan penerawang itu bergetar seolah tengah menyaksikan fakta mengerikan. Manik hijau zamrud berkilat kepada pemuda kekar yang berdiri di depannya. "Tangan sedingin es, bara api membakar hati, dan menghanguskan seluruh jiwa murni dalam semalam."

Raja mencuramkan alis. "Apa maksudmu?"

"Yang Mulia, Putra Pertama tidak pernah segan melayangkan nyawa dengan sebilah pedang. Hatinya mudah diliput amarah yang melahirkan bibit pendendam. Jika kerajaan berada di bawah pimpinan Putra Pertama, klan penyihir akan musnah setelah-"

"Omong kosong!" Putra Pertama langsung menarik katana, lalu menodongkannya pada leher si wanita. Nyaris memotong urat nadi karena jarak mereka teramat dekat. Sungguh, pangeran hanya berniat memotong pangkal lidah wanita ini.

Sebagian orang memekik tertahan dan sebagian lagi memilih diam. Perempuan mungil mengintip dari balik kaki panjang ayahnya. Sorot kecemasan terukir melihat nyawa ibunya tidak baik-baik saja. Dia tertegun sambil membulatkan mata. Benarlah, Putra Pertama memang tidak segan pada nyawa seseorang dan mudah terpancing amarah.

Wanita berjubah hijau lumut mulai menetralkan wajah tegangnya. Tenang, ia berucap, "Pangeran, saya belum selesai."

"Lanjutkan!" titah Raja, mutlak. Putra Pertama menurunkan katana, tapi enggan mengembalikannya ke tempat semula. Ujung logam yang runcing menghujam rerumputan hingga ke akar.

"Setelah Pangeran melewati malam pertama, itulah titik awal kehancuran klan kita, Yang Mulia."

"Apa ada solusi untuk hal ini?"

Wanita itu mengangguk. "Yang Mulia, izinkan saya menerawang Putra Kedua."

Muka Putra Mahkota merah padam. "Pengkhianat!" Ia menarik senjata tajam, kemudian menyabet leher tanpa pertimbangan ulang.

Srashhh!

Tubuh wanita tadi ambruk, bola sakti menggelinding entah ke mana. Tongkat kebanggaan turut tergeletak di samping genangan anyir yang merebak.

Putra Mahkota berbalik menatap warga secara angkuh. Cairan merah terciprat di garis rahangnya yang tegas. Ia mengangkat katana, mengacungkan kepada langit berawan hitam. "Aku bersumpah! Tidak akan menjalin hubungan bersama wanita, apalagi melewati malam pertama! Negeri Penyihir akan aman di bawah kendaliku. Aku bersumpah!"

Petir menyambar usai kalimat itu terlontar. Memperjelas bekas darah masih menempel di setiap lengkung kilap katana, mengalir turun ke jari-jari Putra Mahkota. Kemudian, menetesi rumput liar. Di kursi kebesaran, Raja tersenyum puas melihat kekejaman anaknya.

Dia bangkit diikuti permaisuri, pertanda acara ini telah selesai. Cepat-cepat kerumunan tersebut bubar, terlebih gerimis. Menyisakan dua orang berjubah hitam dengan kerah merah menyala. Mereka adalah pria dewasa dan gadis kecil. Pria dewasa mengusap puncak rambut berkucir kuda, sebelum gontai menghampiri kain tanpa jasad. Ia memeluk pakaian terakhir yang dikenakan sang istri. Ah, andaikan dia bisa memeluk raga itu untuk terakhir kali.

Tak jauh dari tempatnya berlutut, si anak celingak-celinguk mencari sesuatu di tanah lapang. Seberkas cahaya redup menarik perhatiannya. Dia berlari kecil, memungut benda bulat dan menatapnya lekat-lekat. Bola sakti milik Ibu. Dendam, ya? Tidak ada yang tahu apakah wanita itu sempat mengutuk sebelum nyawa dan tubuhnya hirap.

Air mata menyatu dengan bulir hujan yang tiba-tiba berubah deras. "Moya ...!" Bahkan meneriaki nama sekeras apa pun tidak mampu mengundang siapa pun.

****

Special CrusherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang