16. The Silence

2 1 0
                                    

Ruangan yang aneh. Devon membawanya ke tempat dengan sedikit penerangan. Sebanyak apa pun lilin gantung yang dinyalakan, tempat seluas ini tetap temaram. Mungkin karena temboknya terbuat dari batu alam hitam, jadi terkesan seperti rumah yang telah lama ditinggalkan. Selain itu, banyak jaring laba-laba di sudut ruangan.

Hanya sebuah meja rias serta sepasang lilin mati di sisi kanan-kiri. Casa melihat pantulan wajahnya yang kelelahan. Berjarak lima meter, penglihatannya cukup baik menemukan goresan luka kecil di area pipi. Hampir semua lukanya mengering. Menciptakan bekas baretan merah kehitaman.

Casa berbalik, kemudian menyentuh bekas tembok yang seingatnya Devon bisa keluar dari sini dengan membelah tembok ini. Terdengar banyak langkah kaki di luar. Ia meraba-raba dinding, berusaha menemukan celah. Lalu sekuat tenaga menarik celah itu, tapi celahnya tidak mau bergerak. Bahkan pintu yang aneh tidak memiliki lubang kunci. Namun, jelas seseorang telah menguncinya dari luar.

"Sssh," ringisnya merasakan perih di bagian kaki. Cakaran pada betis Casa belum diobati. Begitu tiba, langsung diseret ke tempat ini.

Dasar tidak punya hati!

Casa menghela napas panjang. Kemudian tubuh itu merosot ke lantai. Tiba-tiba matanya semakin berat. Sebelum terpejam dengan sempurna, cermin di depan berubah warna menjadi lebih gelap. Kabut atau gumpalan hitam tampak keluar dari permukaan. Bukannya takut, justru rasa kantuk telah menguasai gadis itu.

Kabut tadi perlahan menjelma sebagai wanita cantik bersurai hitam. Roh Alexa menatap tubuh Casa dengan mata terbuka lebar. Salah satu sudut bibirnya tertarik, mengukir senyum kemenangan akan kembalinya raga Alexa. Tanpa menunggu lebih lama, roh Alexa langsung memasuki tubuh Casa.

Begitu bulu mata lentik terbuka, Alexa terbatuk-batuk sebab tenggorokan sangat gatal dan panas. Ia meraba leher, seperti mencekik diri sendiri, sambil menunjukkan ekspresi tersiksa.

Sebenarnya kapan terakhir kali gadis ini minum?

Dan gadis dengan rambut berantakan tersebut baru menyadari kalau pita suaranya tidak lagi berfungsi. Padahal ia berniat memanggil nama David. Seketika Alexa tahu bahwa Casa telah meminum ramuan racun pengikat nadi.

"Dave!" teriaknya dalam hati. Tentu saja David tak mendengar batin Alexa sama sekali. Alexa memukul-mukul tembok dengan frustasi. Pintu ruangan ini dikunci menggunakan formasi sihir. Hanya bisa dibuka saat seseorang mengucapkan mantra pembuka. Akan tetapi, bagaimana bisa dengan mulut ini?

Sementara itu, David sibuk mengurus sang adik yang kembali berulah. Lagi-lagi masalah boneka. Daritadi Dessy terus menjerit, meminta bonekanya agar dikembalikan.

"Kembalikan, kembalikan Dishy, kembalikan padaku! Kau pencuri berengsek!" umpatnya.

"Dari mana kau belajar kata-kata itu, hm?" Dave kehilangan sang adik yang biasanya bertingkah malu-malu dan manis. Yang ada hanyalah perubahan sikap Dessy menjadi ganas.

Dia menggigit tulang kering David ketika tidak berhasil merebut barangnya. Lantas pria berambut panjang tersebut mengulurkan tangan, mengusap rambut Dessy dengan lembut. Sekilas sosok Oryza dalam tubuh anak kecil ikut terkejut merasakan sensasi darah David.

"Yang Mulia, apa Anda baik-baik saja?" tanya Devon khawatir. "Roh jahat ini berusaha menyerap energi Anda habis-habisan!"

David menatap tajam. "Apa yang kau katakan? Aku hanya memberikan darah pada adikku yang kelaparan."

"Maaf, saya salah paham."

"Hah, itu hal wajar. Bagaimana laporannya?"

"Oh, iya. Penyihir Niel mengatakan, 'secepatnya jadikan dia vampir. Kalau tidak, dia akan mati besok karena racun pengikat nadi.' Kemudian, saya sudah mengurungnya sesuai perintah Anda."

"Hmm, kerja bagus," puji David sembari melempar boneka beruang berlumur cairan merah kental ke arah Devon. David menyuruh Devon agar membakarnya.

"Tidak!" Sontak Dessy melepas gigitan maut, beralih meraih boneka cokelat tersebut. Namun, Devon lebih dulu menangkapnya. Sang Kakak turut memberi pukulan tepat di bagian leher belakang sehingga gadis cilik itu limbung. Setelah memindahkan Dessy yang tertidur ke ranjang putri, David mendaratkan kecupan singkat dan pergi.

Alexa menunggu cukup lama sampai laki-laki yang dinanti menampakkan batang hidungnya.

"Kita bertemu lagi, Casa," sapanya sembari tersenyum miring.

Pupil Alexa menyusut drastis. "Dave, kau bodoh karena tidak mengenali jiwa yang merasuki tubuh ini!"

.

.

.

Special CrusherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang