2. The Guy

100 24 21
                                    

Air menyembur dari paruh patung angsa yang mendongak di tengah kolam, kemudian terjatuh seperti kembang air. Memperlihatkan punggung seseorang tertutup rambut hitam panjang yang halus.

Kai bernapas lega. Lebih tiga puluh menit, ia kira akan ditinggal sebab datang terlalu lama. "Casa!" panggilnya.

Perempuan itu menoleh sambil tersenyum canggung. "Kai? Aku baru tahu kalau adikmu—Lucia—menulis banyak cerita, dia bahkan menulis buku baru," ucapnya, lalu mengangkat buku bersampul merah darah.

"Oh, itu. Dia memang punya selera yang unik. Syukurlah bacaannya tidak membuatmu bosan. Apa aku sangat lama?"

Casa menggeleng. "Tidak terasa karena novelnya sangat seru. Aku seperti membaca karaktermu dan Lucia dengan membaca novel ini."

"Benarkah?" Kai sedikit tertawa. "Ah, aku ada sesuatu yang harus kaupakai." Dia mengeluarkan kotak hitam dan langsung membukanya. Kilau cincin perak membuat jantung Casa memompa lebih cepat.

Tangan Casa berkeringat, memikirkan bolehkah cincin pemberian Kai melekat manis di jarinya. Gadis itu mendadak gugup. "B-bukankah ini terlalu cepat?"

Casa belum memastikan dengan benar mengenai perasaannya terhadap Kai. Tentu saja pria ini baik, tetapi Casa belum cukup baik dalam mengenalnya. Meski sudah setahun berlalu, terkadang rasa merinding hadir saat Kai bertingkah seolah mengenal pacarnya secara luar dalam.

Selain itu, Casa sudah terbuka mengenai keluarga, kehidupan masa lalu, impian, sampai masalah pribadi sudah diungkap semua. Namun Kai, dia sama sekali tidak menceritakan sedikit pun tentang keluarganya yang asli. Ia hanya diberitahu tentang status hubungan Kai bersama Lucia. Casa tidak tahu apa-apa tentang identitas Kai.

Ini sudah ketiga kalinya dia menolak. Pria itu berusaha meregangkan otot leher, membuat Casa sedikit takut.

"Casa, kurasa hal ini sudah kita bicarakan tiga bulan terakhir?" ujar Kai serius. Dia benar-benar kecewa. Sampai kapan Kai harus menunggu jawaban kekasihnya?

"Benarkah?" Casa tertawa, tanpa sadar sudah meniru tingkah laku Kai beberapa detik yang lalu.

Namun Kai menangkap sorot mata yang seakan ketakutan, ia merasa bersalah. Apakah memang terlalu cepat? Kai langsung meminta maaf.

"Ah, sepertinya aku yang terburu-buru."

"Bu-bukan begitu, Kai! Aku saja yang belum siap. Tolong beri aku waktu." Casa tidak mau pria di hadapannya merasa bersalah, tapi ia lebih tidak mau menyesal karena sudah menjawab lamaran Kai.

Pria tersebut memeluk Casa dengan lembut. Ia bisa menunggu gadis ini sampai kapan pun—seumur hidupnya, tetapi Kai tidak bisa berbuat apa-apa jika takdir membawa Casa pergi. Manusia memiliki waktu yang singkat.

"Casa," panggilnya lagi usai berpelukan. "Aku akan menunggu."

Ucapan itu sukses menerbitkan senyum Casa. Kai adalah pria yang baik. Pria itu meraih tangan Casa dan menciumnya, sehingga membuat Casa terbelalak. Namun bukan karena aksi sang pacar yang tiba-tiba, melainkan apa yang lebih tepatnya Kai cium. Sebuah cincin perak sudah melingkari jari manis Casa.

Kapan Kai memasangkan cincin itu? Ia sama sekali tidak merasakan keberadaan benda asing di tangannya.

"Kenapa ini di sini?" tanya Casa sambil berusaha melepaskannya. Dia menatap Kai dengan cemas. "Ti-tidak mau lepas, Kai."

Pria itu menghentikan Casa agar berhenti menarik benda tersebut. "Tolong jangan merasa terbebani. Anggap saja hadiah biasa, hm? Cincinnya terlihat indah saat kamu yang memakainya."

Pipi Casa bersemu merah. "Ugh, tapi ini berlebihan untukku?"

"Ini sangat cocok untukmu."

"Tapi—"

"Kumohon ...." Kai memasang ekspresi memohon. Salah satu hal yang tidak bisa gadis itu lawan.

"Hah, baiklah." Casa menyerah.

***

Wanita bersepatu hak tinggi akhirnya mengetuk pulpen ke pinggir meja. "Karena jam mengajar saya sudah habis, presentasi cukup sampai sini. Kelompok berikutnya menyusul."

Seperti biasa, selesai kuliah Casa harus mengurus perpustakaan di sudut terpencil kota. Perpustakaan ini dibangun dengan mempekerjakan golongan mahasiswa. Apa lagi banyak teman-teman usia sebaya sehingga mereka paham kalau diajak mengobrol.

Contohnya seperti sekarang.

"Dia serius, Sa! Aku tak sabar menghadiri acara pernikahan kalian!" seru Oryza membuat pengunjung sedikit terusik. Netranya seakan tak mau pisah dengan bayangan kilap cincin.

Casa memukul lengan gempal teman dekatnya. Ia menempelkan jari telunjuk ke bibir. "Ssst! Pelankan sedikit suaramu."

Saat ini, mereka menata buku-buku yang dikembalikan pengunjung bukan pada tempatnya. Oryza adalah kakak tingkat Casa di kampus, tetapi dianggap teman sendiri. Wanita bertubuh berisi, namun siapa sangka pita suaranya bisa melar. Padahal, jika mulut Oryza belum terbuka, semua orang akan mengira suara dia selembut sutra.

Oriza memukul bibir. Ia berbisik, "Jadi, kapan kalian mau menikah?"

"Menikah apanya? Bertunangan saja tidak." Casa mendekati daun telinga Oryza dan ikut berbisik, "Aku selalu pintar mengelak karena tidak mau konsentrasi belajarku terpecah belah dengan adanya menikah."

"Astaga! Kau ini jahat sekali menggantung perasaan orang. Kenapa tidak menolak?"

"Tak semudah itu menolak perasaan seseorang. Bagaimana kalau dia kubutuhkan di masa mendatang? Lebih baik dijaga, dirawat, dan dilestarikan. Aku takut menyesal." Casa menggembungkan pipi dan Oryza mencubitnya.

"Astaga! Tebal riasan mukamu berapa senti sih sehingga menarik perhatian jamur?" selorohnya.

"Hm ...."

Oryza melepas cubitan maut karena salah satu pengunjung memanggilnya. Sepertinya ada yang mau meminjam buku. "Aku pergi ke sana, nanti mengobrol lagi."

Sepergian Oryza, seorang pria cantik menyita perhatian Casa. Karena rambutnya yang panjang dan diikat ke belakang, dia mirip pemeras drama Cina. Casa menyadari bahwa selama tiga hari berturut-turut, pria itu rajin berkunjung ke perpustakaan. Dia termasuk orang pertama di luar pekerja yang sering mengajaknya bicara, David.

Casa tersenyum. "Kau datang lagi."

Dia membalas senyuman Casa. "Kau mirip sahabat lamaku, namanya Alexa. Aku sangat merindukannya."

"Kau mengatakan hal yang sama seperti kemarin, kemarin lusa, dan kemarin kemarinnya lusa."

Pria tersebut mengalihkan atensi terhadap jari manis Casa yang sibuk mengeluarkan buku dari barisan, lalu menyelipkan lagi di urutan barisan yang benar. Cukup lama menatap, membuat si empu salah tingkah.

Tatapan David serasa mengintimidasi. "Cincin yang bagus."

Casa tersenyum canggung, ia menurunkan tangan berusaha menyembunyikan cincin tersebut di balik saku almamater. Tatapan David tampak berbeda.

Special CrusherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang