10. The Castle

17 1 0
                                    

Deg.

Rahang David mengetat, tangannya mencengkeram jantung yang berdentum keras. Detak jantung sangat jarang dialami kaum vampir. Hal ini pertanda bahwa sesuatu buruk sedang terjadi.

Melihat wajah pria itu tegang menahan sakit, Alexa mengerutkan alis. "Kau kenapa, Dave?"

"Hal tidak baik. Aku harus kembali ke kastel. Kau ikutlah denganku."

"Aku, tidak." Alexa menolak sambil memalingkan muka. Belum juga bertindak apa-apa, sudah kembali begitu saja? Ia takkan pulang sebelum membawa wanita itu. Namun ia sedikit khawatir dengan keadaan David.

"Dengar, di sini tidak lebih aman dari cermin tua itu—arrgh!"

Jantungnya berdentum lagi. Dua kali lebih keras. Membuat David mengerang kesakitan. Alexa mendengarnya pun tambah tidak tenang. "Va-vampir tidak selemah ini, kan? Membohongiku dengan pura-pura sakit agar bisa mengajakku pulang, huh, jangan bercanda! Apa kau pikir bisa mengelabuiku dengan mudah? Kau sudah berjanji."

David pun menatap manik hitam di depannya cukup lama. Mereka berdua saling menatap, namun Aexa segera memutuskan pandangannya karena iris David perlahan-lahan berubah warna.

"Dasar pria kejam! Kau mencoba menghipnotisku, kan?" Alexa dengan cepat menutup mata dan memutar tubuhnya. Hampir, jika menatap lebih lama sedikit saja, Alexa hampir terkena kekuatan mata emas tersebut. Ia tidak ingin dikendalikan oleh siapa pun.

"Itu karena aku peduli padamu."

"Jangan pedulikan aku!"

"Oryza?" Casa memiringkan kepala di depan temannya itu. "Kau ini bicara dengan siapa?"

Alexa menurunkan tangan Casa yang menyentuh pundaknya. Kemudian menoleh ke belakang. Ternyata David masih mengharap wanita itu untuk ikut. "Se-sejak kapan kau di sini?"

"Sejak mencarimu barusan. Bukankah ingatanmu tajam? Tunjukkan laki-laki yang mengurusku waktu itu. Aku tidak melihat satu pun pengunjung yang membaca buku tentang tanaman."

Alexa memutar mata. Ia tahu jelas laki-laki yang dimaksud adalah manusia yang dikendalikan oleh pria tegap di belakangnya. Meski Alexa tidak tahu mengapa David menggagalkan rencana kemarin sampai merahasiakan hal ini darinya, sebaiknya ia tetap tutup mulut. Penolong rekayasa waktu itu tentu saja sudah mati.

"Kurasa dia tidak datang hari ini. Astaga, hadiahnya pasti berat bukan? Taruh saja di sini." Alexa mengambil pot bawaan Casa, lalu meletakkannya di dekat kaki David. "Untuk 'pengurusku', benar-benar hadiah manis yang unik."

David mendengar bisikan itu hanya bisa mengembuskan napas. Dirinya setengah jongkok guna menyamakan posisinya dengan Alexa. "Kau tidak dapat menjalankan rencana 'itu' tanpaku."

"Dave, tolong jangan membuatku ketergantungan," gumamnya pelan.

"Oryza, bukankah terlalu sembarangan? Di sini tidak ada penjaga keamanan. Aku takut potnya diambil orang lain." Casa menengok kanan dan kiri. Jalanan sepi pengendara, rumah padat jarang penghuni, dan tempat yang parkir kosong melompong. Matanya menyipit sebab motor Kai tidak berada di tempatnya. "Kai ... apa dia meninggalkanku?"

Alexa berdiri kaku, menghindari kontak mata sang pangeran. "Emm, ya. Dia bilang ada urusan mendadak dengan adiknya."

Casa mengepalkan tangan, sampai buku-buku jarinya tampak memutih. Kai pergi tanpa pamit, padahal pria itu mengatakan akan menemaninya seharian ini. Adik–kakak seperti mereka sungguh memiliki hubungan luar biasa.

"Apa kau sedang marah? Beritahu aku kenapa?" tanya Alexa sambil memiringkan kepala. Pasalnya Casa menarik dan membuang napas berulang-ulang. Saat marah, tindakan semacam itu juga tanpa sadar ia lakukan.

Casa tersenyum tipis. "Seharusnya tidak ada kesempatan untuk marah, kan? Seharusnya kami saling mengerti dan menghindari kesalahpahaman. Oryza, kau tahu aku benar-benar benci salah paham."

"Hah, aku ...." Sebenarnya Casa bicara apa, Alexa sama sekali tidak paham. Akan tetapi, ia juga membenci salah paham. Sebagian besar masalah disebabkan karena salah paham. Keretakan suatu hubungan juga sering terjadi akibat kesalahpahaman. Bahkan kehancuran klan ... seharusnya ada kesempatan untuk marah dan balas dendam. Alexa diam-diam mengepalkan tangan.

Langit masih terik, namun air deras menghujam atap tempat mereka bernaung. Beberapa tetes mengenai sisi samping. Casa merasakan dingin pada area bahu, ia langsung menarik lengan Oryza tanpa memikirkan pot bunga lagi. Tidak ada orang normal yang ingin memakai baju basah. "Cepat masuk!"

David menarik tudung kepala hingga menutupi seluruh wajahnya. Di bawah hujan serta sengatan matahari, dia masih gesit menerjang hutan yang cukup lebat. Manik hitam itu melebar setiap kali merasakan dentuman keras.

"Katakan!" David mengamati ekspresi gelisah dari para pelayan begitu sampai di depan istana. Gertakan itu tidak membuka mulut mereka. "Heh, apa kalian bisu?"

Gerbang masuk terbelah. Seorang pemuda menghampiri, memberinya hormat. "Lapor, Pangeran. Putri Dessy ... sakit."

Raut cemas tak lagi bisa David netralkan. Tanpa menunggu kelanjutan kalimat tangan kanannya, ia langsung melesat ke kamar sang adik.

Prang!

Iris abu Devon menatap kepingan keramik yang tercecer di halaman dengan jijik. Barang dari dunia manusia?

"Jangan diam saja! Cepat bersihkan!"

"Baik, Tuan."

Devon lalu tersenyum pada langit kelam abadi. Embusan napasnya menghasilkan titik-titik air. Di luar selalu dingin, tetapi di dalam Istana hanya tersisa sedikit kehangatan.

"Tuan—ini, bukankah ini tanaman yang Anda cari?" tanya pelayan wanita tersebut sambil mengangkat akar bunga roh.

Devon mengalihkan atensi pada bunga merah tersebut. "Berikan padaku."

"Benar, Tuan. Merah terang, tangkainya berongga, lalu—"

Devon memotongnya dengan pandangan tajam. "Lalu pelayan sepertimu, bicara tanpa diperintah dan berani-beraninya menguping. Hmm, hukuman apa yang kau inginkan?"

Wanita di depannya membatu. Keselamatan Putri Kecil memang penting, tetapi bagaimanapun ia sudah melanggar peraturan. Diam-diam ia mencari bunga yang dimaksud. "Saya bukan sengaja!"

Devon tersenyum. Fakta mengerikannya adalah seseorang yang mendapat senyuman itu, pasti akan mati. "Tenang saja. Kau sangat berani demi menyelamatkan Putri, maka keluargamu akan hidup makmur setelah mendapat surat duka dari Istana."

"Tolong ampuni saya, Tuan! Saya tahu saya lancang, saya terpaksa mencuri dengar. Saya mengaku salah!"

Senyum Devon tidak luput dari wajahnya. Konsep pelayan ini tidak tulus, terselubung niat menaikkan jabatan supaya mendapat bayaran yang lebih besar. "Heh, vampir rendahan, selamanya tetap rendahan."

"Ahaha! Heh, apa kalian tidak merasa lucu? Manusia hina, atas dasar apa kau memerintah kami—para vampir?!" Dua pelayan di sekitar mulai sibuk menahan pergerakan sosok wanita yang kini berubah fisik, taringnya menjadi lebih panjang. "Lepaskan! Dari dulu aku ingin sekali menggigit lehernya."

.

.

.

Special CrusherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang