1

8K 551 12
                                    

Kupandangi diriku melalui pantulan cermin besar yang berada tepat di hadapanku. Gaun seputih susu membungkus tubuhku, menonjolkan lekukan-lekukan yang menjadi kelebihan dari seorang Cherrie Perkins. Gaun itu jatuh hingga ke mata kaki, namun memiliki ekor yang memanjang di bagian belakang hingga menyentuh lantai. Ah, benar-benar gaun yang indah, gaun yang dirancang  oleh desainer ternama di kota London dalam sekejap mampu mengubahku menjadi seorang putri kerajaan.

Seharusnya aku merasa bahagia karena berhasil mendapatkan gaun impian ini untuk hari pernikahanku. Tapi mengapa perasaanku hampa? Aku diselimuti oleh keraguan yang begitu besar terhadap keputusanku untuk menikah. Andy, calon suamiku, adalah pria yang baik, dan terkutuklah aku jika mengatakan kalau dia tidak setia. Dia berhasil menjadi konsultan keuangan yang sukses di usia mudanya, tak tanggung-tanggung dia juga merupakan dosen di salah satu universitas ternama. Aku tidak tahu apa yang membuatku merasa ragu di detik-detik terakhir kami akan menikah, mungkin karena kami baru saling mengenal selama enam bulan saja atau karena aku hanyalah gadis payah yang belum siap untuk berumah tangga.

"Sudah selesai?" kemunculan Andy menarik kesadaranku kembali. Lelaki itu menghampiriku setelah ia mencoba setelannya di ruang ganti pria, dan seperti biasa dia tampak tergesa-gesa, "Aku harus kembali ke kantor sekarang juga, apakah kau keberatan jika aku tinggal?"

Aku mengangkat kedua bahuku bersamaan, "Tidak masalah, aku bisa pulang bersama Mom"

"Bagus" sahut Andy. Tubuhnya yang jangkung membuat dia harus menunduk untuk mengecup bibirku.

Setelah meninggalkan kecupan yang singkat itu Andy segera pergi dan tak beberapa lama kemudian Margareth Perkins, ibuku, muncul dengan raut wajah yang takjub melihat penampilanku, "Kau memilih gaun yang indah, Cherrie sayang" ucapnya, "Sangat cocok dikenakan oleh calon pengantin yang siap untuk memulai lembaran baru dan melupakan masa lalunya"

Oh.

Berbalik, diam-diam aku memutar mata sambil berkata, "Mom, apa kataku soal jangan membicarakan masa lalu?"

Mom mengangkat kedua bahunya acuh kemudian melangkah mendekat padaku. Dia menatapku dengan penuh haru, yeah mungkin ia masih belum menyangka kalau pada akhirnya putrinya yang hampir menginjak usia dua puluh delapan tahun akan menikah.

"Oh, Cherrie" aku kesulitan bernafas bukan karena Mom yang menyerangku dengan pelukannya yang erat, tapi karena ikatan korsetku yang terlalu ketat. Memanggil pegawai, aku meminta bantuannya untuk melepaskan gaun pengantin ini dari tubuhku sebelum aku benar-benar mati dengan paru-paru yang mengempis.

Aku keluar dari ruang ganti dengan jaket dan celana pendekku lalu menghampiri Mom yang sedang sibuk membicarakan sesuatu mengenai pernikahan kami bersama Portia, ibunya Andy.

"Cherrie, Portia mengusulkan untuk memperpanjang acaranya hingga pukul 7 malam karena kita memiliki daftar tamu yang cukup panjang, bagaimana menurutmu?"

"Apapun itu asal yang terbaik aku setuju saja" kataku. Mereka kembali membahas tentang persiapan pernikahanku dan Andy bersama dua orang perwakilan dari perusahaan EO yang kami pakai jasanya.

Aku tidak berkomentar apa pun tentang pilihan mereka sebab aku tidak ingin terjun untuk mengurus semua persiapan yang merepotkan ini, begitu pula dengan Andy yang sibuk dengan pekerjaannya. Kami menyerahkan semua persiapan pernikahan kami kepada orang tua kami.

Saat kesibukan ibuku dan Portia masih berlangsung, aku termenung dan berkutat dengan isi kepalaku sendiri. Keraguanku tumbuh semakin besar untuk menikah. Hatiku seakan tak menginginkannya sebab aku belum siap untuk terikat dengan pria yang tidak benar-benar kucintai. Tapi aku membutuhkan komitmen, aku butuh seseorang yang dapat menarikku dari masa lalu yang tak ingin kuingat lagi.

Aku tahu ini tidak adil bagi Andy tapi aku mencoba sepanjang waktu untuk belajar mencintainya dan menerima kehadirannya mengisi hatiku. Hingga sampai di titik ini aku menjadi sangat ragu dengan keputusan yang kubuat sendiri, aku ragu pada pernikahan kami. Apakah ini adalah keputusan yang tepat untuk bebas dari bayang-bayang masa lalu? Akankah pernikahan ini berhasil? Bagaimana jika kelak aku menyesalinya saat kami sudah memiliki anak? Maka anak itu akan menjadi korban dari keegoisan ibunya sendiri. Oh, aku tidak bisa membiarkan itu terjadi!

Aku berkendara menuju ke rumah bersama ibuku. Di sepanjang perjalanan Mom bercerita panjang lebar mengenai persiapan pernikahan yang sebenarnya tidak terlalu menarik perhatianku. Aku fokus menyetir dan hampir mati karena merasa bosan belakangan ini, bagaimana tidak satu minggu sudah aku habiskan dengan mengikuti Mom ke sana ke mari untuk mengurus persiapan pernikahanku. Aku juga telah resign dari hotel tempatku bekerja karena Andy ingin aku duduk di rumah setelah kami menikah dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Bodohnya aku yang berpikir tidak lagi memiliki tujuan dalam hidup menuruti keinginannya begitu saja, padahal satu-satunya hal yang dapat menjernihkan pikiranku adalah dengan bekerja.

Aku berdecak sebal ketika dihadapkan oleh jalanan yang macet. Perbaikan jalan sedang dilalukan dan jalan ini adalah satu-satunya jalan yang bisa kulalui untuk sampai di rumah. Menghembuskan nafas pelan, aku menyandarkan punggungku di jok karena merasa leah. Mom sudah berhenti berbicara, dia sibuk menonton video-video acak di sosial medianya. Menurunkan kaca jendela mobil, aku berharap mendapatkan udara segar tapi tanpa sengaja aku justru melihat sebuah iklan yang ditampilkan di videotron. Itu adalah iklan pertandingan tinju. Sejenak aku terpaku memperhatikan iklan itu sampai Mom menepuk pelan pundakku dan bertanya, "Apa yang kau lihat?"

Aku buru-buru menaikkan kaca jendela mobil sambil berkata, "Tidak ada"

Kami tiba di rumah pukul 7 malam dan Mom memintaku untuk tidur lebih awal sebelum menjelang hari pernikahan agar aku tidak memiliki lingkaran hitam di bawah mata ketika menuju ke altar. Tapi calon pengantin mana yang dapat tidur dengan nyenyak menjelang hari pernikahannya? Terutama aku yang diserang oleh keraguan terhadap pernikahanku sendiri. Alhasil, aku terjaga semalaman sambil berkutat dengan keraguan yang bekerpanjangan. Aku semakin bimbang akan keputusanku untuk menempuh hidup baru bersama pacarku.

Aku hanya mendapatkan tidur yang tidak nyenyak selama tiga puluh menit sebelum aku terbangun pada pukul empat pagi untuk mengemas barang-barangku. Aku tidak tahu mengapa aku melakukan ini, bagaikan terkena serangan panik aku tidak dapat berpikir jernih. Bisikan setan terus terngiang di telingaku. Bisikan itu membujukku untuk berhenti dan mengatakan kalau seharusnya aku tidak menerima lamaran Andy. Aku khawatir kelak diriku yang tidak benar-benar siap untuk menikah malah membawa masalah yang jauh lebih besar nantinya.

Setelah selesai mengemas barang-barang penting yang kubutuhkan ke dalam satu koper kecil, aku meninggalkan sepucuk surat untuk Andy dan keluargaku. Aku mengenakan hoodie sebelum keluar dari kamar, jujur aku sama sekali tidak tahu ke mana aku akan pergi tapi aku harus menghilang sementara waktu agar aku dapat menenangkan diri.

Di surat itu aku menyampaikan permintaan maafku kepada Andy dan mengatakan kalau dia tidak perlu menunggu aku hingga kembali. Dia sebaiknya melupakanku dan mencari kebahagiaannya sendiri.

Hari masih gelap, tentu saja ini sialan masih pukul empat pagi. Aku berhasil kelaur dari rumah dengan mengendap-endap lalu setelah aku berjalan lumayan jauh, aku berhenti di persimpangan jalan yang sepi untuk menyetop taksi menuju ke stasiun kereta api. Aku akan mengambil perjalanan tercepat ke mana pun itu, ke neraka sekali pun aku tidak peduli. Namun, saat aku sibuk melihat ke kanan dan ke kiri mencari taksi, sebuah mobil range rover berwarna hitam mengkilap berhenti tepat di depanku. Kaca mobil bergerak turun dan aku mengernyit tak mengenali siapa pria yang duduk di balik kemudi.

"Permisi nona, apakah kau tahu di mana pom bensin terdekat di sekitar sini?"

"Oh, itu ada di—mphh!"

Aku berusaha menjerit saat seseorang membekap mulutku dari belakang menggunakan selembar sapu tangan. Sapu tangan itu punya bau yang sangat menyengat dan membuat kepalaku pusing dan mataku terasa berat. Di ambang kesadaran aku melihat wajah dua orang pria yang berusaha membawaku masuk ke dalam mobil range rover itu. Tidak seorang pun dari mereka dapat kukenali, mereka semua terlihat asing dan aku terus berpikir siapa pelaku sebenarnya yang merencanakan penculikan ini hingga kegelapan menelan habis kesadaranku.

— TBC —

Heyy jumpa lagi di cerita baru!! Jangan lupa untuk vote dan comment, perhatian dan dukungan sekecil apa pun dari pembaca sangat berarti untuk penulis dalam berkarya!

His Dirty Little Cherry (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang