03 - Sosok Anak Kecil

131 4 0
                                    

Sebuah fakta ketika kita mengingat setiap inci serial kejadian di kehidupan kita, pasti kita mempunyai cara yang berbeda-beda. Perempuan ini misalnya; Ia mengingatnya tidak hanya dengan hati dan pikirannya, tapi juga dengan bercerita.

Kraaak! Kraang, krang! suara pintu kecil yang digeser, dan sebuah rantang makanan yang diletakan tepat di belakang pintu. Setiap siang seseorang mengantarkan makanan ke ruangakanku, entahlah dia siapa, tapi hal seperti ini terasa familiar untukku.

Perlahan-lahan aku mengambil rantang makanan yang terbuat dari alumanium itu, "Hari ini apa ya lauknya?" pikirku. Setelah membuka penutupnya, isinya ada; ayam yang dimasak dengan bumbu merah, telur mata sapi setengah matang, sup, nasi dan tiga potong apel. "Ah! Sudah hari kamis, semoga saja dia datang hari ini, aku sedikit merindukannya semenjak kedatangannya tiga hari yang lalu" ujarku dalam hati.

Di tempat ini sangat terbatas, untuk mengetahui hari apa hari ini saja, aku harus mengingat apa lauk makanan yang disajikan setiap harinya, karena itu cara yang paling sederhana sejak aku terbangun di perasingan ini. Tidak ada tanggal, tidak ada suara detik jam dinding. Yang ada hanya sebingkai ingatan dan bau khas campuran alkohol.

Tidak lama kemudian aku merasakan hawa yang berbeda, kulit-kulitku tiba-tiba saja menjadi lebih sensitif dari biasanya. Tepat di bawah bingkai foto tua, se sosok anak kecil sedang menunjuk-nunjuk bingkai foto tua itu. "Heeei!...! Akhirnya kamu datang juga" kataku. "Aku sedikit merindukanmu, kemana saja kamu?" seperti biasa ketika ditanyai sesuatu, ia tidak pernah menjawabnya. Sosok anak kecil itu masih menunjuk-nunjuk bingkai itu, sambil merengutkan mukanya kepada ku, "Ah! Baiklah! Aku akan menceritakannya, tapi sebelum itu berhenti berdiri di sana dan duduklah di sampingku!" ujarku sambil menepuk-nepuk kasurku.

Laki-laki yang berdiri paling sebelah kiri itu adalah Ayahku, dia laki-laki yang cerdas, pemimpin yang bersahaja dan bijaksana dimata masyarakat sekitaran daerah ku tinggal dulu. Jika kamu pernah mendengar Maharaja Sri Rajasanaga atau yang dikenal dengan nama Hayam Wuruk mungkin ialah rengkarnasinya. Ia juga sering dijadikan panutan bagi orang tua-orang tua yang memiliki anak laki-laki yang beranjak dewasa — "Jadilah seperti dia (Ayahku), maka kamu akan bahagia" kata-kata itu lah yang sering ku dengar dari mulut orang-orang.

Dan itu, wanita yang berdiri di sebelah kanan itu adalah Ibuku. Ia wanita yang anggun, sosok wanita yang melengkapi kekurangan Ayahku, wanita yang selalu menemani pasangannya ketika ia sedih ataupun senang. Wanita yang sungguh sempurna menjadi sosok seorang istri. Dan perempuan muda yang berdiri diantara mereka itu aku, perempuan yang kini kau hadapi, perempuan yang jauh berbeda dengan mereka.

Sebelum aku disini, dahulu kami keluarga yang sempurna, tapi kau tau? Di balik kesempurnaan sesuatu, selalu saja ada yang dikorbankan, entah itu besar maupun kecil. Keluargaku benar-benar sangat dihormati oleh warga sekitar, bahkan kami dianggap sebagai keluarga bangsawan, setiap kami berjalan keluar rumah, selalu ada saja orang-orang yang menyalami kami, bahkan ketika di rumah pun tidak sedikit yang bertamu dan mengirimi parsel.

Orang tuaku sangat keras perihal akademisku, benar-benar tidak ada hari tanpa buku, tulisan, baju yang rapi, bahkan retorika. Semua benar-benar harus dilakukan, jikalau tidak, aku akan di kunci di sebuah ruangan yang gelap tidak berongga. Banyangkan saja, beban seperti itu yang aku rasakan ketika aku di usia yang harusnya masih memegang boneka dan menari-nari bersama teman-teman se-bayaku.

Pernah suatu ketika aku melanggarnya, akupun di kurung di ruangan yang gelap itu, benar-benar tidak ada lampu, yang ada hanya sebatang lilin dan korek api. Seingatku itu berlangsung selama enam jam, dan semua itu, hanya karena aku pergi bermain tanpa pamit. Sungguh ketika aku berada di dalam ruangan itu, aku melihat alam yang berbeda, alam yang penuh dengan rasa ketakutan, berbau darah, penuh dengan kemisteriusan, dan orang-orang yang membunuh dirinya sendiri. Yang bisa ku lakukan hanyalah menangis, berteriak, sampai aku benar-benar lelah dan tertidur.

Kratak, brak...! tiba-tiba seseorang membuka pintu ruanganku. Sosok anak kecil itu pun seketika menghilang dari hadapanku. Pintu pun terbuka, seorang perempuan cantik berbaju kemeja putih menyapaku "Halo Anita, bagaimana keadaanmu?" suaranya halus dan menenangkan. "Halo Najma, keadaanku baik, aku baru saja bercerita bersama teman kecilku" jawabku sambil tersenyum kepadanya. Dia membawa sebuah catatan, entahlah apa yang dia catat, aku tidak pernah menanyakan ketika dia berkunjung. "Wah! Bercerita tentang apa kamu?" — "Itu" ujarku sambil menunjuk ke sebuah bingkai foto tua yang tergantung. Dia menengoknya dan terdiam, lama, mencatatkan sesuatu, lalu dia kembali berpaling dan tersenyum kepadaku.

Hal ini benar-benar tidak wajar pikirku, dengan melihat senyumnya saja, aku merasakan suatu ketenangan yang benar-benar mendalam. Mata sebelah kiriku seketika menetaskan air mata karena senyumnya. Najma berjalan menghampiriku, dan memberi sebuah pil berwarna hijau. Setelah aku meneguknya, aku merasa seperti dikendalikan oleh sesuatu yang tabu, penglihatanku tiba-tiba saja memburam, terasa sangat berat, tubuku melemah, aku merasa sedang dibawa ke alam yang sangat berbeda, alam yang membuatku hangat, bebas dan tertawa lepas.

Merayakan KekalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang