01 - Ayah dan Ibu

206 6 0
                                    

Manusia berkembang melalui seri-seri kejadian di kehidupannya, seperti vortex, kumpulan garis yang meliuk-lingkar menuju sebuah lubang hitam yang kelam.

Aku akan memulai cerita ini dengan sebuah ingatan yang masih melekat di kepalaku saat aku berumur sepuluh tahun, tentang bagaimana terang dan gelap yang masih memeluk garis-garis ingatanku, bersama suasana melankolis yang menemani perjalananku kembali ke waktu itu.

Bingkai foto tua yang tergantung di salah satu sisi dinding datar sebuah ruangan dengan cat berwarna putih adalah foto seorang laki-laki muda, seorang wanita cantik dan anak perempuan kecil, laki-laki yang mengenakan jas hitam dan dasi merah tuanya, seorang wanita berambut pendek dengan kebaya hijaunya, dan anak perempuan dengan dress kuning selututnya adalah Almarhum Ayah dan Ibu, serta aku sewaktu berumur sepuluh tahun. Tepat dihadapan bingkai foto yang tergantung itu, aku duduk, memandanginya dengan mata berkaca-kaca, pikiranku pun terseret gelombang yang membuatku terombang-ambing ke sebuah jurang yang curam, hitam, dan kelam.

Suara grand-piano terdengar dari salah satu ruangan di rumahku, ruangan tempat seorang lelaki gagah duduk dan membaca, atau sekedar menghisap rokoknya ditemani musik kesukaannya. Hari itu lagu klasik, Liszt; Benediction De Dieu Dans La Solitude terdengar samar-samar dari ruangan itu, aku yang sedang bermain dengan boneka mainanku pun terdistraksi dan mendekati ruangan itu, semakin mendekat, aku mendengar suara tawa perempuan dan langkah kaki yang bergantian. Pintu ruangan yang tidak tertutup rapat membuat aku bisa melihat apa yang terjadi, ada seorang lelaki gagah dan seorang wanita cantik sedang berdansa ria di ruangan itu, sontak saja aku berkata; "Ibu" lalu mereka berdua menoleh ke arahku "Loh ngapain kamu di situ?, Sini sama Ibu dan Ayah" ujar Ibuku. Ibuku berjalan menghampiriku, lalu menuntunku masuk ke dalam ruangan. Di ruangan itu aku merasakan kehatangan yang begitu mendalam, di bumbui oleh suara tawa Ayahku yang mencoba bercanda kepadaku.

Teng, Teng, Teng! suara lonceng berbunyi. "Ah! Sudah waktunya makan" pikirku.
Akupun berbalik meninggalkan sisi dinding itu, bersama ingatan-ingatan yang akan membawaku kesebuah lompatan waktu, bertemu garis-garis yang saling berkumpul menuju satu tujuan.

Merayakan KekalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang