5 - Hujan

20 4 1
                                    

"Selain melodi kolaborasi antara tetesan hujan dan denting piano Bunda, nggak ada hal menarik dari hujan."

Ranggara Raviv Halayuda

***

Hujan turun begitu deras tanpa peduli apa saja yang dihantam oleh setiap tetesannya. Petir sesekali menyambar disertai kilat yang terlihat seperti flashlight kamera super besar yang tengah memotret bumi.

Raviv menghela napasnya untuk yang kesekian kali, pandangannya lurus keluar jendela yang menampilkan fenomena alam yang selalu membawa mereka pada sebentuk kenangan yang entah penting atau tidak. Dihirupnya dalam-dalam aroma pretikor yang menjadi aroma khas saat hujan turun, aroma yang juga selalu menjadi kesukaan Bundanya.

"Bunda suka ya kalo hujan?" Raviv kecil bertanya kala ia dan sang Bunda sedang duduk ditempat duduk—yang memang dibuat Ayah pada kusen jendela ruang keluarga, kata Ayah spesial untuk Bunda yang suka nongkrong waktu hujan. Dia selalu bingung ketika melihat Bunda yang sering duduk seperti ini setiap hujan turun sambil memejamkan matanya, terlihat begitu menikmati suasana.

Bunda menoleh begitu mendengar pertanyaan polos dari Raviv. "Iya," sahut Bunda langsung disertai senyum lembut.

"Kenapa?"

Bunda masih tersenyum, lantas menatap putra kecilnya. "Bunda pernah baca hujan itu 1% genangan, 99% kenangan, sayang. Bunda suka aroma khas setiap hujan turun. Aroma rumput basah, tanah basah, aroma segar, semuanya membaur menjadi aroma yang menenangkan." tangan Bunda terulur mengusap kepala putranya, "sekarang mungkin kamu belum paham maksud Bunda, tapi nanti kalau kamu udah besar kamu bakalan ngerti."

Sekelebat ingatan masa kecil menghampiri Raviv tanpa permisi. Hujan selalu berhasil mengingatkan Raviv pada sosok Bunda yang sangat menyukainya momennya.

"Apa hebatnya sih Bun, hujan gini?" Raviv berbisik kecil ditengah lamunannya.

Tak lama kemudian, sebuah tangan terulur memberikan secangkir teh hangat. Raviv dibuat menoleh untuk mendapati Kakaknya yang tengah tersenyum sembari menyeruput cangkir teh lainnya.

"Ambil nih, pegel tangan gue." Ujar Sandra, Kakak Raviv.

"Makasih, Kak" Jawab Raviv singkat, kemudian menyesap sedikit. Kehangatan segera menjalar dalam tenggorokan hingga perutnya.

"Ngapain ngelamun?"

"Nggak apa-apa." Raviv menjawab seadanya.

"Galau apa gila lo, Dek?" Ujar Sandra enteng dengan wajah tanpa dosa, ia kembali menyesap teh pada cangkirnya.

Raviv dibuat melotot tak terima atas pertanyaan Kakaknya, sejak kapan dia gila???

Raviv mencebikkan bibirnya, tidak terlalu ketara. "Kakak kali yang gila." Ujarnya sewot.

Sandra dibuat tertawa karena Raviv, adiknya tidak berubah, Raviv tetap Raviv yang Sandra kenal. Diam-diam ada sedikit kelegaan dalam hatinya karena ternyata selama ini Raviv masih baik-baik saja. Walau kadang Sandra kerap menemukan Raviv tengah melamun, Sandra tau persis apa yang dipikirkan Raviv, apalagi saat hujan begini.

"Cie besok jadi anak baru." Goda Sandra dengan senyum yang terkesan meledek, mengalihkan pembicaraan.

Usia Sandra dan Raviv terpaut 3 tahun. Sejak meninggalnya almarhum Bunda, Raviv memilih tinggal bersama Pakdhe mereka di Jogja, Ayah pun tidak bisa menolak karena dia mengerti bagaimana perasaan Putranya kala itu. Ayah dan Sandra selalu mengunjungi Raviv di Jogja, entah saat liburan atau bahkan saat akhir pekan. Minggu lalu entah ada angin apa, Raviv bilang ingin kembali tinggal bersama Ayah juga Kakaknya. Tentu saja Ayah sangat senang mendengar hal itu, Sandra pun sama excitednya. Ayah langsung mengurus surat kepindahan sekolah Raviv, ketika ditanya Raviv ingin masuk SMA mana dia menjawab terserah Ayah. Jadilah Ayahnya menempatkan Raviv di salah satu SMA negeri yang paling dekat dengan lokasi rumah mereka, dengan alasan supaya nggak repot juga kalau Raviv ingin bolos pulang kan dekat. Raviv pun tidak keberatan. Hari Sabtu kemarin Raviv baru tiba dirumah, dan seperti yang bisa ditebak Ayah yang paling heboh membantu Raviv membawa barang-barangnya.

Flower is Nothing, Without RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang