Tik
Tok
Tik
Tok
Detik jam memenuhi ruangan, mendampingiku yang kini tengah meringkuk hampa. Surai hitamku tergerai berantakan, mencuat ke sana-kemari tanpa mengusikku sedikit pun. Netra sewarna lautku mengerling malas, menelusuri setiap sudut ruangan selama beberapa detik. Apa yang kulakukan? Entahlah. Mengisi kebosanan mungkin.
Kulempar pandanganku ke arah kalender seukuran tiga puluh senti yang tengah menggelantung di dinding. Goresan bertinta merah hampir memenuhi setiap tanggalnya, melihat itu membuatku bergumam tanpa sadar, "Seminggu lagi dan selesai. Harus menunggu." Sembari melirik jam, aku berdiri setelahnya.
Kuangkat salah satu tungkaiku untuk membuka langkah, hingga jejak penuh ketidakikhlasan pun tercipta. "Seminggu lagi," gumaman yang sama kembali meluncur, membuat salah satu sudut bibirku terangkat. Aku kemudian meraih seragam yang tergantung asal di belakang pintu, mengenakan sekenanya lalu merapikan diri.
Setelah merapikan diri, kuambil bolpoin bertinta merah di atas meja belajar-yang kugunakan tidak sesuai namanya-lalu berjalan gontai menuju kalender. Aku memandanginya untuk sesaat. Tanganku terangkat kemudian, lantas segera kusilang tanggal selanjutnya dan segera beranjak dari ruangan itu. Aku bukan pembolos handal masalahnya.
Sedikit kupercepat langkahku ke sekolah, bahkan beberapa kali aku berlari lantaran mentari sudah terlalu terik untuk bisa dikatakan pagi yang cerah menuju sekolah. Alhasil, embusan napas tak beraturan meluncur bebas dari mulutku, dan tentunya hal itu mengundang tatapan bingung hampir semua orang yang melihatku.
Ketika sampai di depan kelas, aku menghela napas sebelum memasuki ruangan itu. Entahlah, hanya terasa agak asing. Meski aku tahu, tak akan ada yang bersikap acuh.
Ah. Aku mulai muak karena terbiasa. Bagaimana bisa?
Pintu terbuka, menampilkan diriku di hadapan mereka. Sekilap, aku menjadi tontonan. Lalu seperti yang bisa ditebak, aku menjadi angin lalu yang hanya datang untuk pergi. Aku menundukkan tatapan. Lihat, 'kan? Tak ada bedanya di mana pun.
Kakiku melangkah pelan seraya memantau kursi yang agak lama kutinggalkan. Aku bukannya introvert, tapi lingkungan memaksaku demikian. Nah, tahu bagaimana tanggapan orang-orang terhadap gadis pecundang yang bahkan sering dikatakan sampah masyarakat? Cukup sederhana. Tapi sebelumnya, kalian tahu? Kekerasan hal yang umum dalam lingkungan mana pun. Terutama lingkungan pelajar. Maka karena hal umum terkadang membawa kebosanan, mereka mencari sesuatu yang baru. Ya ... seperti ini. Memelototi, lalu menyindir.
Pernah dengar pepatah, 'Mulut harimaumu.'
Kalau boleh jujur, aku berharap tak pernah mendengarnya.
Aku tersenyum kecut ke arahnya, begitu juga ke kursiku. Mau bagaimanapun, kursi itu yang menemaniku selama satu tahun terakhir. Cukup sedih rasanya. Aku berbalik, mengamati kelas yang mulai ramai. Beberapa detik kemudian, mataku terhenti pada kursi kosong di pojok kelas. Aku berjalan, lalu memandang meja yang penuh coretan dari tangan-tangan kelewat kreatif.
Sejenak terpaku, kemudian tertawa.
Setidaknya, mereka mengingat namaku. Walau aku tak begitu suka julukannya.
Aku mendudukkan diri, tak mengacuhkan bisik-bisik mereka. Kendati begitu, aku tetap mendengarnya. Hanya sekadar mendengar. Lagipula, meski dikatakan bisik-bisik, suara masing-masing dari mereka bahkan bisa didengar dari pojok ke pojok.
Waktu terasa singkat. Buktinya, bel istirahat terdengar lebih cepat dari dugaanku sebelumnya. Lantas, kelas sepi dalam waktu singkat. Menyisakanku seorang diri di sini. Aku meraih tas gendong di belakangku setelah tak sengaja melihat seorang pemuda—
—tunggu, apa?
Aku menggeleng cepat. Seingatku, tak ada satu pun meja di belakangku. Lalu bagaimana? Apa aku keliru? Ah. Anggap saja begitu.
Pemuda itu memandangiku dari netra obsidiannya. Tanpa ekspresi, membuatnya terkesan agak aneh di mataku. Surainya sewarna malam, tertata rapi tanpa satu pun helai yang mencuat. Sekilas aku berpikir bahwa dia anak baru yang penasaran denganku. Oh, atau dia pecundang baru yang akan disandingkan denganku? Siapa tahu.
Tapi, satu hal mulai membuatku agak risi dengannya. Tatapannya. Begitu dingin dan menusuk.
Aku lekas berdiri, mengabaikan berbagai tanggapan liar di kepalaku.* * *
Langit biru terpampang luas di atasku. Segumpalan awan bergerak perlahan, menaungi satu tempat ke tempat lain. Semakin kencang angin berembus, semakin cepat pula gerak awan di langit.
Aku terkekeh pelan. Merasakan angin berdesir pelan di telingaku dengan tangan menggenggam erat pagar pembatas. Sepasang irisku bergulir ke bawah, mengamati orang-orang yang tengah berlalu lalang. Semua tampak sibuk dengan urusannya masing-masing, mengabaikan kejadian-kejadian kecil yang dianggap tak berhubungan dengan diri mereka sendiri. Istilahnya, apatis.
Seperti contohnya, saat seorang nenek tua berteriak di tengah kerumunan orang. Tangannya bergerak menggapai-gapai angin kosong, mencoba meraih hal yang masih berstatus miliknya. Karena langkahnya yang agak timpang, tak butuh waktu lama hingga sosoknya terjatuh. Meraung-raung dengan tatapan terpaku pada seorang pria yang hampir ditelan kerumunan manusia di sana. Alhasil, menyisakan sang Nenek dengan beberapa tatapan antara iba sesaat, lalu kembali tak acuh.
Benar, 'kan? Apatis.
Ya ... itu kejadian kecil. Wajar saja. Kejadian besar dalam konteks mereka itu jauh lebih menantang.
"Lalu, saat aku berada di sana," tanganku bergerak, menunjuk ke bawah, "apa mereka akan memperhatikanku? Apa aku akan menjadi pusat fokus mereka?" Kakiku berjinjit, mencondongkan tubuh dari pagar pembatas itu. Mungkin tanpa pembatas, aku sudah terbang bebas di udara saat ini.
Aku mengukir seulas senyum.
"Kau akan menjadi tontonan. Tak lebih."
Kepalaku refleks menoleh, mendengar suara asing di belakangku. Sejenak mengerjap, lalu meringis masam. Kupikir, apakah aku mulai dianggap 'ada' di sini? Kabar bagus. Akan lebih bagus saat rasa peduli itu bukan darinya.
Aku bukannya mengeluh. Hanya saja, tatapan itu membuatku risi setengah mati."Oh. Hai ...." Aku menyapa, mencoba basa-basi umum yang biasa kubaca di buku.
Pemuda itu tak membalas. Dirinya hanya berdiri di sana, seakan menjaga jarak denganku. Benar juga, aku pecundang. Tak ada alasan untuknya mendekatiku. Bahkan hanya untuk sekadar kata basi seperti 'halo' atau semacamnya tak pantas untukku. Ah, aku mulai berpikir bahwa kalimat tadi bukan ditujukan untukku. Tentu saja.
Aku berbalik, kembali memandang keramaian di bawah. Jujur, memandang hal monoton berkali-kali pasti membosankan. Tapi, ada sewaktu-waktu saat hal monoton itu menunjukkan kenyataan betapa mengerikannya lahir di dunia ini. Saat itulah lahir sebuah sugesti dari sisi kemanusiaanmu. Walau terkesan tak manusiawi.
"Kau ingin mati?"
.
-To be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story Collection
Short StoryKumpulan cerita pendek bermacam-macam genre. Mungkin suatu saat akan memuat fanfiction di sini. Hanya 'mungkin'. Namun tidak menutup kemungkinan. WARNING: Cerita di sini akan lebih memuat tema dark story (15+), dan mungkin akan ada bagian bunuh-me...