Voices

17 6 3
                                    

-Voices-

Hime Akari

|| Genre: MinorHorror, MinorThriller, Drama, Life. || Length: 923 words. || Rate: T to M ||

Disclaimer: All about this story is pure my own. I wish you can has been wise reader. Thanks.

.

.

.

Hoi! Dia belum bangun?”

Benarkah? Ah, malangnya dia….”

Lagi. Suara itu terdengar lagi.

“Gadis malang, sampai harus meng—”

“DIAM!!”

Cukup. Hentikan. Kumohon.

Aku mendudukkan diri perlahan, menyandarkan punggung ke kepala ranjang. Wajah pucat pasi dengan kedua tangan menutupi masing-masing indra pendengaran. Keringat bercucuran dari dahi, mengalir sampai-sampai ada yang bercampur dengan liquid bening dari netra cokelatku. Mulutku sedikit ternganga, menciptakan embusan napas tak beraturan dari sana. “Lagi. Lagi-lagi terdengar,” gumamku parau, suara yang sedikit serak membuat beberapa suku kata terputus.

“Hm, kenapa dia?”

“Gadis aneh, bertingkah seakan-akan tak tahu apa-apa.”

Kepalaku terangkat, lantas memerhatikan ruangan gelap ini dengan seksama. Hanya dalam hitungan detik hingga wajahku kembali tertunduk. Air mataku kembali mengalir, membasahi bekas yang tadi sempat mengering karena hal yang sama. Keheningan terjadi, diriku enggan membuka suara. Hanya bisik-bisik ‘mereka’ yang mengisi pendengaranku.

Ada yang berkata seakan-akan mengasihani, menyindir, mengejek, bahkan kata-kata umpatan dilontarkan oleh mereka kepadaku. Ingat, mereka hanya sekedar kumpulan suara, tidak lebih. Tak ada yang perlu ditakutkan, ‘kan? Ah … anehnya aku. Seharusnya aku tak terlalu memikirkan hal tersebut.

Lagipula … ini bukan yang pertama kalinya bagiku.

Kembali kuangkat kepalaku, disusul dengan helaan napas ringan. Tangan bergerak menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah, hampir semua helainya merekat di sana. Pasti karena air mata.

Kuseret kakiku kemudian hingga menyentuh lantai ruangan. Dingin, dan juga berdebu. Dahiku sedikit mengerut tatkala merasakan butiran-butiran debu memenuhi kedua telapak kakiku. “Berapa lama aku tak membersihkan tempat ini?” tanyaku pada diri sendiri.  

Kedua tanganku bertumpu di atas tempat tidur, berusaha berdiri dengan rasa pegal teramat sangat. Hendak melangkahkan kaki, namun keseimbanganku seakan-akan tidak mendukung. Dengan bertumpu pada meja kecil samping tempat tidur, aku segera mengalihkan pandangan ke sekitar. Ruangan ini sedikit gelap, terlebih lagi penglihatan yang masih agak mengabur benar-benar membuatku sedikit merasa frustrasi. “Sepertinya mata ini harus kumandikan dulu.”

Dengan sedikit terhuyung, aku berjalan menuju salah satu pintu dengan plat yang bertuliskan ‘toilet’ di atasnya. Lantas meraih gagang pintu, segera kusambar keran air dan menyalakannya. Percikan air terdengar setelahnya, membuatku segera menangkup benda berzat cair tersebut. Beberapa mengalir begitu saja, menetes dan pada akhirnya menimbulkan suara gemercik yang seakan beradu dengan suara mesin keran.

Tak ingin membuang banyak waktu, langsung kubasahi wajahku dengan air yang ada. Terpejam selama beberapa saat, lalu mengerjap-ngerjapkan mata hingga penglihatan terasa lebih baik. Kuangkat kepalaku menatap pantulan wajah di cermin, senyuman kecut terlukis setelahnya.

Short Story CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang