Fall [Part II]

18 5 8
                                    

  Manikku terbeliak sesaat sebelum akhirnya menatap dingin pemuda itu. “Tidak juga.”

  “Menurutmu, apa itu kematian?”

  Aku terdiam. Bukannya tak ingin membalas pertanyaannya, namun kata-kata itu seakan menyindirku. Sedangkan aku tak butuh sindiran atau apapun itu yang berakhir dengan kata ‘begini lebih baik.’

  Aku menghela napas, lalu berjalan melewatinya. “Kau tak tahu. Orang yang dibenci kehidupan sepertiku menjadikan sebuah kematian sebagai penyelamat.”

  Aku lanjut melangkah, mengabaikan balasan yang meluncur dari pemuda itu. Sungguh, ia sok tahu.

  “Tentu aku tahu.”

* * *

  Suara tamparan lagi-lagi terdengar, diiringi dengan geraman dari satu pihak. Lebam kemerahan perlahan merayapi wajahku, memberi rasa ngilu sesaat, lalu tak terasa apa. Tidak, bukannya hilang mendadak atau sejenisnya. Tapi terkadang, keseringan membuatnya terkesan biasa. Kebal, mungkin begitu.

  “MATI SAJA KAU! DASAR TAK BERGUNA!” Sebuah tendangan mengakhiri kegiatan rutinku. Membuatku mendesah pelan sebelum bangkit berdiri. Aku meraba pipiku, merasakan bengkak pada permukaannya.

  Seraya beranjak pergi, aku akhirnya melempar tubuhku ke atas kasur. Membiarkan tubuhku rehat untuk sesaat. Sebenarnya, aku hampir tak tahu apa gunanya hal itu. Mengingat fisikku bosan, dan mentalku terkoyak. Mungkin ini yang dinamakan ketenangan sia-sia.

  Aku membalik tubuh, membuatku yang awalnya tengkurap menjadi telentang. Lantas terkekeh, tangan bergerak menutupi wajah. Tanpa kusadari, kekehan yang awalnya kulakukan hanya semata-mata untuk menenangkan diri menjadi sebuah isakan tertahan.

  Dan aku tak suka ini.

  Sejak dulu.

  Sungguh. Apa salahku? Aku hanya ingin dianggap. Aku hanya ingin diperlakukan seperti remaja lainnya. Aku hanya ingin orang-orang tahu bahwa eksistensiku sebagai manusia, bukan sebagai sampah. Apakah itu terdengar sulit? Apa itu terdengar egois? Oh. Ayolah. Apa salahku hingga kehidupan bahkan tak mau memberiku kebahagiaan barang sesaat?

  Kau sungguh tak adil, Tuhan.

  Aku mengusap mataku sebelum beranjak bangun. Kuambil kalender itu lalu merobeknya. Tak butuh, memuakkan. Kakiku melangkah cepat, meninggalkan ruangan itu dengan tangan terkepal. Aku bahkan menulikan telinga ketika seseorang yang selama ini kuhormati menyuruhku menjual diri. Menggantikan kehormatan seorang wanita dengan segepok kertas.

  Dia pikir aku apa? Barang yang dirawat untuk dijual? Maaf, hidupku memang tak seberharga lembaran bernilai itu. Tapi setidaknya, aku punya harga diri juga kehormatan yang wajib kujaga meski aku tak menyukainya sekalipun.

  Langkahku terhenti di tengah kendaraan yang berlalu-lalang. Bunyi klakson terdengar di mana-mana. Aku bingung, saat mereka menjadi penonton tanpa rasa peduli. Mengapa disaat-saat seperti ini mereka malah bertingkah seakan-akan mereka peduli. Apa susahnya, tinggal tabrak lalu pergi, tidakkah itu mudah? 

  Oh. Atau hanya karena perjanjian  di atas kertas, itu menjadi penghalang mereka? Benar juga. Peraturan. Norma. Undang-undang. Hukuman.

  Yang terakhir terdengar meyakinkan untuk membatasi rasa apatis seseorang.

  Pada akhirnya, mereka peduli untuk kebaikan sendiri.

  Aku beranjak pergi, beberapa omelan serta tatapan nyalang yang kentara terarah kepadaku. Aku tak peduli. Lagipula seperti yang kubilang, itu hanya sesaat sebelum akhirnya mereka kembali tak acuh. Selalu seperti itu.

* * *

  Sinar jingga terlukis pada ufuk barat. Membuat gradasi kekuningan yang memikat hati. Tetapi, karena kesannya yang biasa, banyak orang menanggapi setengah hati. Meski tak semua.

  Contohnya saja diriku. Bisa dibilang, aku menikmatinya. Sangat menikmatinya. Kalau saja aku bisa, hidup di tempat seperti ini tidaklah buruk. Bumi tempat yang nyaman. Udara yang segar, langit biru yang menyejukkan, beragam fauna dan flora yang terkesan unik, dan … bermacam manusia yang saling terikat satu sama lain.

  Aku paham. Tak selamanya kata ‘terikat’ bermakna positif.

  Namun, siapa sangka? Kehidupan yang begitu didambakan, menjadi sebuah perkara untukku.

  Aku hidup, hanya untuk mati.

  Begitu?

  Aku merentangkan tanganku, memijakkan kaki perlahan. Di sini, satu jalur. Saat aku mencondongkan tubuh ke samping, semua akan berakhir dalam hitungan detik.

  “Hidup hanya untuk mati?”

  Sepasang tungkaiku berhenti.

  “Kekanakan.”

  Aku diam. Pemuda ini, lagi-lagi pemuda ini muncul di saat aku tak mengharapkan apapun. Terlebih, dia menghinaku. Seakan yang kulakukan hanya manifestasi kelabilan semata.

  Cih. Jangan bercanda.

  “Banyak manusia di luar sana yang melakukan cara apapun untuk bertahan hidup. Walau mereka tahu, dari segi mana pun mereka tak sanggup.”

  “—Benar.” Aku menggigit bibirku, menahan diri untuk tak tersulut amarah. “Jika saja aku ditakdirkan untuk sebuah kesialan, maka akan lebih baik jika nasibku seperti itu. Merangkak demi sebutir nasi, terluka hanya karena diri sendiri, bukan luka yang ditorehkan oleh orang lain.”

  “Lalu yang kau lakukan hanya berharap pada kematian, begitu? Bahkan seekor kucing hitam masih berusaha hidup saat lingkungan tak menerimanya.”

  “Kau tahu apa!” Dengan nafas tersengal, aku berbalik. Menatap angin kosong di hadapanku.

  “Yang kutahu? Tak lebih dari mati dan mati.”

  Belum lepas dari rasa kaget, seuntai suara mengisi sekelilingku. Namun, keterkejutanku semakin menjadi kala kedua netraku tak menangkap apa-apa selain tempat ini.

  “Labil. Sentimental.”

  “Jika kau berpikir kehidupan membencimu, maka buatlah kenyataan itu hancur berkeping-keping. Kau manusia, makhluk hina yang berakal. Rendah, bodoh, menyedihkan. Saat Dia sedikit menyentilmu, kau menumbuhkan hasrat tabu yang menggelikan. Mati dan mati.”

  Kakiku terus berputar, mencari sosok yang mengisi kebisingan di sekitarku.

  Sayangnya, nihil. Tak ada apapun.

  Gelak tawa membuat bulu kudukku berdiri. Badanku gemetaran, tak lama hingga tubuhku linglung ke samping. Spontan, rasa yang dulu kuimpikan, menjadi sebuah tekanan berat kala tubuhku membelah angin.

  Pagar pembatas semakin menjauh, namun tidak dengan suara itu. Suara tawa yang mengisi telingaku, membuat keberanian yang selama ini kukumpulkan hilang tak berbekas.

  Dengan mata terbeliak, tanganku terangkat. Dan dengan bodohnya, perasaan itu muncul.

  Sebuah kesadaran … dan ketakutan.

.

-End

Author Note:

Owatta~

Tak kusangka memakan waktu lama, padahal ide mulus tanpa hambatan (ternyata, tanpa niat kubagai **k yang terombang-ambing oleh laut).

Kali ini kubagi dua part karena kepanjangan. Btw, itu judulnya hanya terancang dalam dua menit. Wajar saja kalau GAK NYAMBUNG.

Saia malas atuh ....

Sore jaa~

Jaa nee!

Peace from Akari!


 






Short Story CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang