Gara-gara Ikan Asin

6K 186 9
                                    

SEHARUSNYA kisah ini tidak perlu ada. Jika saja, aku tidak salah pilih pria. Aku menikah dengan seorang pria berwajah biasa-biasa saja. Tapi rayuannya maut, membuat aku yang tak mudah jatuh cinta ini akhirnya terpaut.

Namun, selang beberapa bulan setelah menikah dan aku mulai mengandung Arka... seluruh keromantisannya sirna.

"Kamu kok kayak ikan koi, gembung sekali?" omelnya di suatu pagi. Hari itu, aku kepayahan menyiapkan sarapan dan secangkir kopi dengan perut membuncit. Maklum sudah masuk bulan ketujuh usia kandungan.

Aku tersenyum. Ku bilang, "Sabar mas, nanti setelah anaknya brojol aku janji akan melangsingkan diri kembali," hiburku menenangkannya.

Pada bulan kedelapan, ia mulai menyebutku dengan sebutan ikan lainnya. "Nah kan, kayak ikan paus, ngabisin tempat tidur," katanya bersungut-sungut. Ia resah. Mungkin, tubuhku yang bengkak di sana-sini mengganggu matanya.

Aku mengalah, masih ada sofa. Masih ada kamar tamu. Masih ada ranjang cadangan. Walau sebenarnya, dalam posisi hamil tua, aku sangat butuh dukungannya. Aku ingin ia memanjakanku dan anak di dalam kandungan ini. Bukankah ini buah cinta kita berdua?

Ah, aku menghela nafas pasrah sambil membelai perutku. "Sabar ya nak, nanti jika bapakmu melihat betapa lucunya kamu. Pasti dia akan jatuh hati," kataku kepada sang jabang bayi.

Namun harapanku tidak tercapai. Setelah masa nifas usai, suami mulai meraba-raba tubuhku lagi. Dan dia masih mengeluh. Katanya tubuhku lembek di sana-sini.

"Kamu kayak ikan pindang, enggak ada seger-segernya," kata dia blak-blakkan. Sakit banget rasanya.

Di saat stess melanda dengan kondisiku pasca melahirkan, justru dia selalu komplain masalah fisik. Kalau mau jujur, sebelum aku dipersunting dia aku adalah kembang desa. Banyak pemuda bahkan pria tua kaya raya yang antri mendapatkanku. Tapi aku pilih dia, pemuda sederhana dengan tampang biasa-biasa saja.

Kenapa? Karena waktu itu ku lihat cintanya menumpuk-numpuk. Matanya selalu menyorotkan sinar kagum kepadaku. Perjuangannya menaklukan hati ini, seolah Gunung Himalaya juga sanggup ia daki. Dan ternyata, itu semua hanya ilusi.

Disebut ikan pindang, aku yang masih depresi karena sakit bekas melahirkan dan kelelahan mengurus bayi sendirian mulai menangis.

Alih-alih menghapuskan air mataku dia malah berkata, "Dulu kamu cantik, menggairahkan, kenapa sekarang kayak ikan asin gini sih? Bau amis. Kalau begini bisa-bisa aku ga betah di rumah," bentaknya.

Kesabaranku pun sirna. Dengan mata membara, aku pun meluapkan berbagai kata yang aku yakin, kalian tak ingin mendengarnya. Kata-kata yang membuat bungkam mulutnya. (#NRA)

Asa Tanpa Jeda [ SUDAH DITERBITKAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang